Minggu, 19 Juli 2009

Pemikiran Hadis Ibn Abi Hatim Al-Razy

Yusriandi

A. Pendahuluan

Secara kasat mata, aktivitas kritik Hadis senantiasa diarahkan kepada kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad diarahkan pada penilaian kualitas para perawi dan metode yang digunakannya. Kritik sanad bertujuan untuk melihat apakah kredibilitas para perawi diakui dan apakah instrumen penerimaan dan pemberian Hadis menunjukan otentisitas Hadis Nabi.
Disebabkan kritik sanad bertujuan memberikan penilaian terhadap kualitas para perawi, maka diperlukan seperangkat aturan dan kaidah dalam menilai kualitas para perawi. Dalam terminologi ilmu Hadis, hal-ihwal yang berkaitan dengan aktivitas memberi penilaian terhadap perawi ataupun melakukan kritik sanad populer dengan sebutan ilmu al-jar wa ta'dil.
Muhammad 'Ajjaj Al-Khatib, sebagai misal, mendefinisikan ilmu al-jar wa takdil sebagai ilmu yang membahas para perawi dari segi diterima atau tidaknya periwayatan para erawi tersebut. Membicarakan ilmu al-jarh wa takdil tentu tidak luput dari membicarakan sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi. Karena Ibn Abi Hatim, menurut penilaian ulama, dikenal sebagai salah seorang yang peletak dasar bagi disiplin keilmuan yang berkaitan dengan diri para perawi tersebut.
Makalah ini mencoba membahas sekilas tentang pemikiran Hadis Ibn Abi Hatim Al-Razi. Mengikuti pendapat Ali Syariati, sebagaimana yang dikutip Mukti Ali, untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang seorang tokoh, hal yang tidak boleh luput dari sorotan adalah membaca pikiran-pikiran sang tokoh berupa karya-karyanya atau karya-karya orang lain tentangnya dan meneliti biografi sang tokoh. Tak terkecuali sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi.

B. Biografi Ibn Abi Hatim Al-Razi

Ibn Abi Hatim memiliki nama lengkap 'Abdurrahman ibn Muhammad ibn Idris ibn Al-Munzir ibn Daud ibn Mihran Abu Muhammad ibn Abi Hatim Al-Hanzaly Al-Razi. Sedangkan menurut Eerick Dickinson, dengan mengikuti pendapat Abu Nu'aym, nama lengkap Ibn Hatim adalah Abu Muhammad 'Abdurrahman ibn Abi Hatim al-Razi.
Ibn Hatim lahir di Darb Hanzalah, Rayy, pada tahun 240 H/854 M. Rayy adalah sebuah kota tua yang letaknya berdekatan dengan Tehran. Kota Rayy, sebagaimana wilayah barat dunia Islam pada umumnya, penuh dengan intrik dan konflik politik. Persaingan antar kelompok dan antar aliran keagamaan sangat kentara terlihat. Pertikaian-pertikaian baru berakhir di Rayy dengan ditaklukannya kota tersebut oleh bala tentara Mongol pada abad ke-7 H/13 M.
Pada waktu Ibn Abi Hatim lahir, di Kota Rayy terjadi persaingan antara penduduk Hijaz dengan penduduk Kufah. Persaingan ini sejatinya mewakili pergolakan dua kutub pemikiran antara ahl hadits di satu sisi dengan ahl ra'yi di sisi yang satunya lagi. Kendati demikian, pemikiran ahl ra'yi lebih dominan dibandingkan dengan ahl hadits. Bahkan Abu Zur'ah, salah seorang ulama terkemuka pada saat itu dan juga guru Ibn Abi Hatim, pada awalnya termasuk pada kelompok ahl ra'yi. Namun, di akhir-akhir hayatnya Abu Zur'ah berbalik arah memihak dan menganut pemikiran ahl hadits. Akibatnya, Abu Zur'ah mendapat stigma negatif, dikucilkan, dipenjarakan, dan dipukuli karena dianggap berseberangan dengan pendapat mayoritas dan dituduh berkhinat terhadap kaumnya.
Ayah Ibn Abi Hatim Al-Razi, Abu Hatim Al-Razy, dikenal tegas mendidik anaknya, termasuk mendidik Ibn Abi Hatim. Abu Hatim melarang anaknya mempelajari Hadis sebelum memiliki pemahaman yang mendalam mengenai al-Qur'an. Dalam mengkaji al-Qur'an, Ibn Abi Hatim dibimbing oleh Al-Fadl ibn Syazan Al-Razi, seorang ulama yang menganut paham As'ariyah dalam bidang teologi dan sekaligus pentranmisi Hadis Syiah. Selain belajar al-Qur'an, dari tokoh ini Ibn Abi Hatim juga mempelajari Hadis.
Setelah kajian tentang al-Qur'an dirasa memadai, Ibn Abi Hatim mulai mengumpulkan Hadis dari para pentransmisi Hadis yang tinggal di Rayy dan ulama-ulama yang kebetulan singgah di Rayy. Pada saat itu, Rayy dikenal sebagai pusat kesarjanaan Hadis. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya tokoh-tokoh Hadis terkemuka di kota tersebut, seperti Abu Hatim Al-Razi, Abu Zur'ah, dan Ibn Warah. Selain itu, Kota Rayy juga menjadi salah satu kota tujuan para pelajar menuntut ilmu, terutama dalam bidang hadis.
Perihal perjalanan ilmiah Ibn Abi Hatim mencari dan mempelajari Hadis amatlah lama dan melintasi berbagai daerah di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya. Perjalanan ilmiah pertamanya dimulai pada tahun 255 H/858 M, ketika usia Ibn Abi Hatim baru menginjak 15 tahun. Perjalanan pertama ini dilakukan bersama ayahnya Setelah menunaikan ibadah haji, Ibn Abi Hatim bersama ayahnya mengunjungi Kota Bagdad, Samara, Damaskus, Wasith, dan Kufah untuk mengumpulkan Hadis dan berguru pada ulama-ulama Hadis yang berhasil mereka temui di kota-kota tersebut.
Di Bagdad, sebagai misal, Ibn Abi Hatim berserta ayahnya bertemu dengan Abdullah (213-290 H/828-903 M), salah seorang dari putra Ahmad ibn Hanbal yang memiliki peran dalam mempertahankan dan mensosialisasikan ajaran dan pemikiran ayahnya. Ibn Abi Hatim belajar tentang opini-opini Ahmad ibn Hanbal perihal 'ilal hadis dan jawaban-jawaban Ahmad ibn Hanbal perihal berbagai persoalan keagamaan. Selain itu, di kota "seribu satu malam" ini, Ibn Abi Hatim dan ayahnya juga berguru kepada Abbas ibn Muhammad Al-Duri (200-271 H/816-884 M) dan 'Ustman ibn Sa'id Al-Darimi (200-282 H/816-895 M), dimana keduanya adalah murid dari ulama hadis terkemuka di Bagdad, yaitu Yahya ibn Ma'in. Murid Yahya ibn Ma'in yang disebut terakhir dikenal sebagai salah seorang tokoh di Bagdad yang amat gencar menyerang paham Muktazilah. Setelah itu, Ibn Abi Hatim dan ayahnya kembali ke Rayy dan berguru kepada ulama yang ada di kota kelahirannya tersebut.
Pada tahun 262 H/875 M, Ibn Abi Hatim melakukan perjalanan ilmiah lagi. Perjalanan kedua ini dilakukannya tanpa ditemani sang ayah karena ia telah sewasa dan telah memiliki pengetahuan di bidang keagamaan, termasuk Hadis. Tujuannya adalah mengunjungi Mesir dan Syria. Di Mesir ia mengunjungi beberapa ulama terkemuka di Fustal dan Aleksandria. Salah seorang ulama yang didatangi Ibn Abi Hatim adalah Al-Rabi' ibn Sulaiman, salah seorang ulama garda depan yang bermastautin di Fustal dan penyebar pandangan-pandangan Imam Syafii. Guru Ibn Abi Hatim yang bernama Abu Zur'ah juga pernah belajar kepada Al-Rabi' ibn Sulaiman untuk menyalin karya-karya Imam Syafii yang dimiliki Al-Rabi'.
Selain Al-Rabi', di Mesir Ibn Abi Hatim juga berguru kepada dua orang kakak beradik, yaitu ahli fikih Muhammad ibn Abdullah ibn Al-Hakam dan sejarawan Abdurrahman ibn Abdullah ibn Al-Hakam. Keduanya adalah putra yuris Islam terkemuka di Mesir, yaitu Abdullah ibn Al-Hakam (155-214 H/772-829 M). Kemudian, Ibn Abi Hatim melanjutkan perjalanan ke Beirut dan mengambil jalan melingkar melalui Bagdad untuk menuju kota kelahirannya, Rayy.
Perjalanan ilmiah terakhir Ibn Abi Hatim dilakukannya pada tahun 264 H/877 M. Kali ini yang menjadi tujuannya adalah Kota Isfahan. Di kota ini, Ibn Abi Hatim mengunjungi Salih, salah seorang dari putra Ahmad ibn Hanbal yang menjadi qadi di Isfahan. Laiknya anak Ahmad ibn Hanbal lainnya, yaitu Abdullah yang ditemuinya ketika melakukan perjalanan ilmiah yang pertama bersama ayahnya ke Bagdad, Salih juga berperan penting dalam mewarisi ajaran-ajaran dan menyebarkan secara luas pandangan-pandangan keagamaan ayahnya, Ahmad ibn Hanbal. Dari Salih, Ibn Abi Hatim belajar dan beroleh tentang pandangan-pandangan kritik Ibn Al-Madini. Yunus ibn Hahbib Al-Isfahani dan Usayd ibn 'Ashim adalah di antara ulama lain yang dikunjungi Ibn Abi Hatim di Isfahan. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Ibn Abi Hatim kembali ke Rayy dan di sana hingga wafatnya pada bulan Muharam tahun 327 H/938 M.

C. Karya-karya Ibn Abi Hatim

Sebagai salah seorang ulama terkemuka di bidang Hadis dan pandangan-pandangannya sangat berpengaruh hingga saat ini, Ibn Abi Hatim terkenal sebagai salah seorang yang ulama produktif menulis. Mengikuti temuan Eerick Dickinson, karya-karya ulama hadis ini dapat dikatupkan ke dalam tiga kategori. Pertama, karya-karya dalam kritisisme Hadis. Di antara karya Ibn Abi Hatim di bidang ini adalah Bayan Khata' Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari fi Al-Tarikh, 'Ilal Al-Hadits, Kitab Al-Jarh wa al-Ta'dil, dan Taqdimah Al-Makrifah li Kitab Al-Jarh wa Al-Ta'dil.
Kedua, karya-karya yang berkaitan dengan teologi dan persoalan-persoalan keagamaan. Asl Al-Sunnah wa Al-'I'tiqad Al-Din, Fada'il Ahl Al-Bayt, Fawaid Al-Raziyyin, dan Fawaid Al-Kabir adalah di antara karyanya yang termasuk dalam kategori ini. Karya-karya lainnya adalah Al-Musnad, Al-Radd 'ala Al-Jahmiyyah, Kitab Al-Tafsir, Tsawab Al'Amal, dan Zuhd Al-Tsamaniyah min Al-Tabi'in.
Ketiga, karya di bidang biografi dan sejarah. Karya-karya Ibn Abi Hatim dalam kategori ini adalah Adab Al-Syafii wa Manaqibuhu, Kitab Makkah, dan Manaqib Ahmad.
Menurut sejumlah ahli, kitab Al-Jarh wa Al-T'a'dil adalah karya monumental Ibn Abi Hatim. Selain pandangan-pandangannya di bidang Hadis, di dalam kitab yang terdiri dari 4 juz ini juga terdapat sekitar 18050 biografi perawi Hadis. Setiap perawi dan penilaian di atasnya disebutkan berdasarkan sanad yang sahih. Nama perawi ditulis secara alfabetis dan dilengkapi dengan nama ayah dan gelarnya. Seperti tersurat dari nama kitabnya, yang menonjol dari kitab tersebut adalah memberikan penilaian terhadap kualitas para perawinya.
Layaknya sebuah karya, selain banyak mendapat apresiasi, karya Ibn Abi Hatim ini juga mendapat kritik dari para pengamat. Di antaranya yang menjadi sorotan adalah perihal data tentang perawi yang dinilai tidak dilengkapi dengan biografi yang memadai, penisbatan penilaian kepada kritikus sebelumnya, bahkan yang bukan semasa, tanpa menjelaskan rangkaian persambungan periwayatannya, memberikan penilaian tanpa memberikan argumen yang jelas, dan lain sebagainya.


D. Latar Kemunculan Kitab Al-Jarh wa Ta'dil

Ibn Hatim Al-Razi, sang pengarang Kitab Al-Jarh wa Takdil, hidup pada masa Bani Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdullah ibn Abbas Al-Safah ibn Muhmmad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Penamaannya dikaitkan dengan nenek moyang mereka yang bernama Abbas, salah seorang paman Nabi yang sangat peduli dengan Rasulullah Saw. Pemerintahan ini berkuasa dalam rentang waktu yang panjang, yaitu sejak tahun 750-1258 M/132-656 H.
Ibn Hatim Al-Razy hidup pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, ketika dinasti ini berada di bawah dominasi kekuasaan bangsa Turki yang terkenal kejam dan bengis. Pada periode sebelumnya, yakni periode pertama Dinasti Abbasiyah, adalah periode keemasan dinasti yang beribukota di Baghdad tersebut. Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima, dan Al-Makmun, khalifah ketujuh, adalah di antara para penguasa Dinasti Abbasiyah periode pertama. Yang pertama populer sebagai khalifah yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat, seperti membangun rumah sakit, lembaga kedokteran, farmasi, dan kesehatan masyarakat. Sedangkan yang disebut terakhir terkenal sebagai seorang khalifah yang hirau terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya berdiri Baitul Hikmah, tempat para pelajar dan mahasiswa mempelajari berbagai disiplin keilmuan dan para penerjemah memperoleh gaji yang setimpal.
Pada periode ini aliran teologi Muktazilah berkembang dengan begitu suburnya dan bahkan dijadikan mazhab resmi negara. Stabilitas politik yang kondusif dan ditunjang oleh perekonomian yang relatif baik menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apalagi, pada masa tersebut urusan negara lebih ditekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan ketimbang melakukan ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan.
Latar yang seperti itu tidak mengherankan berhasil memunculkan para ulama dan cendekiawan terkemuka dalam berbagai disiplin keilmuan. Dintaranya adalah Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Ahmad ibn Hanbal di bidang hukum, Washil ibn 'Atha', Abu Huzail, Al-Juba'i, Al-'Asyari, dan Al-Maturidi di bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustani, dan Al-Hallaj di bidang tasauf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Miskawaih di bidang filsafat, serta Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i dalam bidang Hadis.
Sementara pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Ibn Hatim Al-Razy hidup, merupakan periode mulai surutnya pamor Dinasti Abbasiyah yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dua yang signifikan di antaranya adalah bentrokan antargolongan mazhab fikih dan mazhab ilmu kalam. Pada masa ini, para ulama Hadis mengalami tantangan yang hebat dari golongan ulama fikih yang fanatik. Selain itu, ulama Hadis juga mendapat serangan dari kaum ilmu kalam, terutama kaum Muktazilah.
Namun, ketika Al-Mutawakil naik tahta, khalifah Dinasti Abbasiyah kesebelas, pamor Muktazilah mulai surut. Sebaliknya, ulama Hadis justeru mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Bahkan belakangan, paham ahli Hadis dijadikan paham resmi negara. Kondisi ini sangat mendukung bagi perkembangan Hadis dan mulai tersebar ke berbagai wilayah. Pada periode kedua ini, yaitu pada masa hidup Ibn Abi Hatim Al-Razy, merupakan periode penyempurnaan dan pemilahan terhjadap persoalan Hadis yang belum tersentuh pada masa sebelumnya, seperti al-jarh wa takdil, persambungan sanad, kritik matan, dan pemisahan antara Hadis Nabi dan fatwa Sahabat. Dengan latar yang demikian, tidak mengherankan bila kemudian Ibn Abi Hatim Al-Razy mencoba menyempurnakan apa yang belum terselesaikan pada masa sebelumnya. Dan, ia bertepatan hati memilih untuk intens dalam bidang al-jarh wa takdil, meskipun ia juga tidak menafikan aspek yang lainnya.

E. Pandangan Hadis Ibn Abi Hatim

Di sini, pandangan Hadis Ibn Abi Hatim, dititikberatkan atas pandangan Hadisnya dan pendapatnya tentang keadilan sahabat. Konsepsinya tentang yang pertama, sedikit banyaknya, berimplikasi pada pandangannya terhadap yang kedua. Dengan lain perkataan, pendapatnya tentang Hadis ikut berpengaruh pada pendapatnya tentang sahabat.
Menurut Ibn Abi Hatim, Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan segala sesuatu yang berasal dari para sahabat. Dengan demikian, bagi Ibn Abi Hatim, ruang lingkup amat luas yang tidak semata-mata bersumber dari Nabi tapi juga yang bersumber dari sahabat Nabi.
Selain itu, sahabat Nabi memperoleh tempat yang istimewa dan karena itu mendapat perhatian khusus dari Ibn Abi Hatim. Bahkan, Ibn Abi Hatim disebut-sebut sebagai orang yang melahirkan konsep kullu al-sahabah 'udul, semua sahabat bersifat adil. Baginya, generasi sahabat Nabi mendapat tempat yang istimewa disebabkan mereka menyaksikan secara langsung pewahyuan al-Qur'an, mengerti tafsir, dan memahami takwilnya. Ibn Abi Hatim menyandarkan pendapatnya ini pada ayat al-Qur'an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 143.
Menurut Ibn Abi Hatim, kata wasatah yang terdapat dalam ayat tersebut telah ditafsirkan Nabi dengan makna adil. Sehingga, menurutnya, ummatan wasatah dapat ditafsirkan sebagai 'udul al-ummah yang berkoreferensi dengan generasi awal umat Islam, yani para sahabat Nabi.
Lebih dari itu, bagi Ibn Abi Hatim, konsep kullu al-sahabah 'udul tidak hanya khusus untuk para sahabat Nabi, tapi juga mencakup generasi setelahnya, yakni para tabi'in. Baginya, generasi tabi'in merupakan generasi yang mulia karena juga mendapat jaminan dari Allah dalam surat At-Taubah ayat 100. Kata wallazinat thaba'u bi ihsanin dalam ayat ini dipahami sebagai generasi tabi'in.

F. Kesimpulan

Bercermin dari biografi dan perjalanan intelektual Ibn Abi Hatim, terlihat bahwa pemikiran Ibn Hatim bukan berasal dari ruang yang hampa, melainkan sangat erat kaitannya dengan pelbagai persoalan politik yang pikuk pada saat itu. Pandangan Ibn Abi Hatim tentang Hadis yang tidak semata-mata segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, tapi juga segala sesuatu yang berasal dari sahabat, sebagai misal, merupakan upaya pembelaan Ibn Abi Hatim terhadap eksistensi Hadis dan keberadaan para sahabat yang dipertanyakan orang pada saat itu.
Perdebatan hebat antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh ahl al-hadits di satu sisi dengan kaum rasionalis yang diwakili oleh ahl al-ra'yi di sisi yang lain juga berpengaruh pada Ibn Abi Hatim. Meskipun terlihat lebih berpihak pada ahl al-hadits, Ibn Abi Hatim berupaya keluar dari dua kutub tersebut, dengan memilih gagasan kritisisme. Salah satu buktinya yang paling otentik, meskipun mendapat sorotan dari berbagai kalangan, adalah karya monumentalnya Kitab Al-Jarh wa Ta'dil.


Bahan Pertimbangan

Ali, A. Mukti, "Metodologi Ilmu Agama Islam", dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogykarta: Tiara Wacana, 1991
Al-Khatib, Muhammad 'Ajjaj. Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah, 1963
--------------------------------------. Ushul Al-Hadis, 'Ulumuhu wa Musthlahuhu. Beirut: Dar Al-Fikr, 1975
Al-Razy, Ibn Abi Hatim. Kitab Jarh wa Ta.dil. Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyah, 1988
Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993
Dickinson, Eerick. The Development of Early Sunnite Hadith Criticism: The Taqdima Ibn Abi Hatim. Leiden: E.J. Brill, 2001
'Itr, Nuruddin. Al-Madkhal ila 'Ulum Al-Hadis. Madinah: Al-Maktabah Al-'Ilmiyah, 1972
Najwah, Nurun, "Metodologi Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta'dil", Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis, Vol. 1, No. 1, Juli 2000

Pemikiran Al-Ghazali Tentang Al-Qur'an, Tafsir, dan Takwil

Yusriandi

Sungguh aku ingin membangunkan Anda dari tidur Anda. Wahai Anda yang banyak membaca al-Qur'an, serta menyibukkan diri mempelajarinya dan mereguk beberapa makna dan kalimat lahirnya. Berapa lama lagikah Anda akan terus berkeluyuran di pantai sang samudera, sementara mata Anda tertutup dari kehebatan makna al-Qur'an?

A. Pendahuluan

Makalah berikut ini akan mencoba membahas sekilas-sepintas prisma pemikiran Imam Al-Ghazali, sang hujjatul Islam, tentang al-Qur'an, tafsir, dan takwil. Sebagaimana diketahui, Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh terkemuka dunia Islam, dimana gaung dan bahkan pengaruh pemikirannya masih terasa sampai saat ini. Tak terkecuali yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur'an.

B. Mari Berbagi: Biografi Singkat dan Karya Al-Ghazali

Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H. di Tus, sebuah kota kecil di Khurasan. Kala itu, Khurasan merupakan kota kedua di Iran setelah kota Naysaburi. Ayahnya adalah seorang sufi yang shaleh dan berprofesi sebagai pengrajin benang wol. Sebelum meninggal, ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kecil beserta saudaranya, Ahmad, pada seorang sufi supaya kelak dididik dan dibimbing bagaimana caranya menjalani kehidupan yang benar.
Al-Ghazali pertama kali memperoleh pendidikan di kota Tus. Setelah itu, ia pindah ke Jurjan dan kemudian berguru pada Imam Juwaini di Naisafur sampai gurunya tersebut meninggal pada tahun 478 H/1085 M. Sepeninggal Imam Juwaini, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Muluk di kota Mu'askar, Baghdad. Di kota ini, Al-Ghazali tinggal selama enam tahun. Pada tahun 483 H, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizham Al-Muluk. Kecuali mengajar, selama di Baghdad Al-Ghazali mulai aktif melakukan kritik dan bantahan terhadap pemikiran golongan Bathiniah, Ismailiah, filosof, dan lain sebagainya.
Meskipun Al-Ghazali meraih karir cemerlang dan kedudukan terhormat di Baghdad, namun semua itu tidak mampu menutupi kegelisahan hati Al-Ghazali mengenai pekerjaannya tersebut. Oleh sebab itu, pada tahun 484 H, ia memutuskan meninggalkan apa yang telah diraihnya itu dan kemudian pergi ke Damaskus. Di kota ini, ia mulai merenung, membaca, dan menulis dengan berketepatan hati memilih jalan sufi dalam hidupnya. Setelah dua tahun berada di Damaskus, ia kemudian pindah ke Palestina dan melakukan aktivitas merenung, membaca, dan menulis di Masjid Baitul Makdis. Setelah melakukan pengembaraan selama sepuluh tahun, Al-Ghazali kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah. Selepas menunaikan rukun Islam kelima itu, ia pulang ke tanah kelahirannya, Tus.
Pada tahun 499 H, atas desakan pemerintah, Al-Ghazali kembali mengajar di sekolah Nizham Al-Muluk. Namun, pekerjaan tersebut hanya dilakoninya selama dua tahun dan kemudian pulang lagi ke Tus. Di kota kelahirannya ini, Al-Ghazali mendirikan sekolah para yuris Islam (fuqaha') dan sebuah biara untuk kaum sufi. Pada tahun 504 H/1111 M, Al-Ghazali menghembuskan nafas terakhirnya di kota Tus, dalam usia lima puluh empat tahun.
Sang hujjatul Islam ini mewariskan banyak karya yang memaparkan prisma-prisma pemikiran Al-Ghazali yang dapat diakses oleh generasi sekarang. Karya-karya tersebut berupaya memadukan secara baik antara berbagai disiplin keilmuan, seperti fikih, tasauf, filsafat, dan teologi yang banyak dikagumi oleh mereka yang tinggal di belahan dunia barat dan timur. Menurut Dr. Abdurrahman Badawi, karya-karya Al-Ghazali mencapai 457 buah. Ihya' 'Ulumuddin, Al-Arba'in fi Ushuluddin, Tahafut Al-Falasifah, AlMunqid minal Dhalal, dan Al-Mustasyfa adalah di antara karyanya yang populer.

C. Pemikiran Al-Ghazali tentang al-Qur'an

Sebagaimana diketahui, perhatian Al-Ghazali secara intens terhadap studi al-Qur'an dimulai ketika ia telah meninggalkan segala kemewahan yang telah diraihnya di kota Baghdad. Oleh sebab itu, bila ingin menelusuri pemikiran Al-Ghazali tentang al-Qur'an, hal yang pertama kali perlu diperhatikan adalah membaca karya-karyanya pasca uzlahnya. Pandangan Al-Ghazali tentang al-Qur'an terdapat dalam "Kitab Adab Tilawah al-Qur'an" yang dimuat dalam karya magnum opus-nya, Ihya' 'Ulumuddin. Karyanya ini dimaksudkan oleh Al-Ghazali dalam rangka untuk menjaga, melestarikan, dan mengaktualkan al-Qur'an dalam berbagai situasi dan sepanjang zaman.
Pandangan Al-Ghazali tentang al-Qur'an terdapat dalam pengantar Kitab Adabu Tilawah al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an diturunkan tidak sedikit pun mengandung sesuatu yang batil. Al-Qur'an bersumber dari Sang Maha Bijak lagi Terpuji. Oleh sebab itu kebenaran al-Qur'an, seturut Al-Ghazali, adalah kebenaran substansial. Kisah-kisah dalam al-Qur'an merupakan sumber inspirasi bagi para cendekiawan, sementara hukum-hukum atau aturan-aturan yang termuat di dalamnya merupakan kebijakan tertinggi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi tata aturan kehidupan manusia. Karenanya, Al-Ghazali mengibaratkan al-Qur'an sebagai cahaya yang menyinari.
Berdasarkan hal ini, maka bagi Al-Ghazali, al-Qur'an memuat petunjuk bagi umat terdahulu, kini, dan masa mendatang. Pandangan Al-Ghazali mengenai al-Qur'an terangkum dalam ungkapannya, bahwa al-Qur'an laksana samudera luas, dan darinya tumbuh ilmu-ilmu klasik dan ilmu-ilmu modern. Pandangan tersebut kemudian dipertegasnya kembali tatkala membicarakan esensi al-Qur'an.
Menurut Al-Ghazali, Kalam Allah adalah Esa. Keesaan-Nya meliputi semua makna Kalam, sebagaimana ilmu-Nya adalah Esa, meliputi yang terdapat di langit dan di bumi. Bagi Al-Ghazali, esensi al-Qur'an adalah Kalam Allah dan sekaligus Ilmu Allah. Sebagai Kalam Allah, al-Qur'an memuat dan mencakup seluruh makna kalam-Nya. Dikarenakan Kalam Allah juga merupakan Ilmu Allah, maka berarti al-Qur'an, seturut Al-Ghazali, mencakup seluruh Ilmu Allah. Oleh sebab itu, al-Qur'an juga berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Peran al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan, didasarkan pada peran ilmu pengetahuan bagi aktivitas dan kreativitas manusia sebagai potensi kehidupan dan penghidupan. Berdasarkan hal ini, maka nilai kebenaran al-Qur'an yang menjadi sumber segala kebenaran mesti dijaga autentitasnya, sebagaimana yang telah dijamin oleh Allah dalam al-Qur'an. Di samping kajian terhadap al-Qur'an yang ditegakkan di atas etika dan prinsip-prinsipnya, terpeliharanya nilai al-Qur'an menurut Al-Ghazali juga didukung oleh tradisi hapalan, tulisan, dan pembacaan mushaf.
Persfektif Al-Ghazali yang sedemikian rupa kemudian membawa kita tentang pembahasan Al-Ghazali mengenai nilai dan keutamaan al-Qur'an, serta juga para ahlinya, yaitu para penghapal, pembaca, dan penafsir al-Qur'an. Pandangannya tersebut berdasarkan pada beberapa hadis Nabi dan atsar Sahabat. Disebabkan ketinggian dan kekudusan al-Qur'an, di samping juga para ahlinya itu, maka Al-Ghazali memberi titik tekan untuk mengemban tanggung jawab memelihara autentitas al-Qur'an.
Sebentuk pertanggungjawaban, para pengkaji al-Qur'an harus mentransformasikan nilai dan ajaran al-Qur'an melalui ilmu dan amalnya. Upaya tersebut kemudian terefleksikan dan berkoreferensi dengan gagasan Al-Ghazali tentang etika lahir dan sikap batin ketika membaca dan mengkaji al-Qur'an. Penekanan secara etis ini merupakan upaya Al-Ghazali untuk mengarahkan para penghapal, pembaca, dan pengkaji al-Qur'an kepada rahasia, inti, dan tujuan al-Qur'an, yaitu seruan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.
Karenanya, maka bagi Al-Ghazali, setiap upaya untuk mengkaji dan berinterkasi dengan al-Qur'an mestilah berupaya untuk mencari titik ekuilibrium makna eksoterik (zahir) dan makna esoterik (batin) al-Qur'an. Dalam konteks inilah pengklasifikasian ayat al-Qur'an yang dilakukan Al-Ghazali kepada enam kelompok, tiga asas pokok al-Qur'an dan tiga sebagai asas pelengkap, harus dipahami.
Menurutnya, ayat pokok al-Qur'an adalah ayat-ayat yang termasuk dalam kelompok transenden, ayat-ayat tasawufi, dan ayat-ayat eskatologis. Sementara ayat-ayat historis, ayat-ayat kalami, dan ayat-ayat fiqhi termasuk dalam kelompok asas pelengkap. Asas pokok al-Qur'an disebut Al-Ghazali sebagai permata al-Qur'an, berupa ilmu-ilmu al-Qur'an. Sedangkan asas pelengkap dinamainya mutiara al-Qur'an, yaitu media aplikasinya. Dari pandangan ini, terlihat konsistensi Al-Ghazali tentang keserasian antara ilmu dan amal, aqidah dan syariah, serta hakikat dan syariat.
Pandangan Al-Ghazali tentang al-Qur'an dan klasifikasinya, untuk menarik sebuah benang berah bahwa al-Qur'an merupakan sumber ilmu dan kebenaran. Al-Qur'an diposisikan sebagai "cahaya kebijakan" yang memberi pencerahan kepada akal secara potensial dan aktual. Dalam konteks yang seperti inilah Al-Ghazali memahami dan memaknai istilah "al-Nur" yang terdapat dalam al-Qur'an.

D. Pemikiran Al-Ghazali tentang Tafsir

Sebelum membicarakan bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang tafsir, perlu dijelaskan sekilas bagaimana perkembangan tafsir sebelum dan pada masanya. Sebab, hanya dengan mengetahui peta yang demikian itu, kita dapat menilai kekhasan tafsirnya dan kontribusi Al-Ghazali bagi perkembangan tafsir pada masa berikutnya.
Sebagaimana diketahui, sebelum Al-Ghazali perkembangan tafsir terpaku dan terpusat pada fanatisme golongan atau aliran tertentu, seperti tafsir sufi, tafsir fikih, dan tafsir falsafi. Kecendrungan tafsir seperti ini tetap bertahan hingga pada masa Al-Ghazali. Dalam amatan Al-Ghazali, model tafsir yang seperti itu memiliki sejumlah kekurangan, di samping bias dan parsial, tafsir seperti juga berbanding terbalik dengan peran al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Penafsiran seperti itu, hemat Al-Ghazali, juga berpotensi membelah-belah umat Islam ke dalam berbagai aliran dan pemikiran yang nyata-nyata kontra produktif.
Untuk mengatasi problem tersebut atau untuk menutupi kekurangan itu, Al-Ghazali menawarkan interpretasi baru yang berupaya mensintesakan antara tafsir tekstual-kontekstual, eksoterik-esoterik, dan ma'tsur-ra'yu, sebuah pola penafsiran yang konfrehensif terhadap al-Qur'an. Aneka disiplin keilmuan yang berkembang pada masanya diakomodir, berbagai sisi dan dimensi al-Qur'an juga dipertimbangkan. Kecuali itu, metode tafsir yang digagas Al-Ghazali juga dialamatkan sebagai kritik terhadap penafsiran tradisional (ma'tsur) di kalangan Sunni, penafsiran rasional (ra'yu) filosof dan mutakalimun, penafsiran tekstual (eksoterik) kalangan Hasywiyah dan fuqaha, dan penafsiran esoterik (isyari) para sufi dan Bathiniah.
Apa yang dirintis Al-Ghazali ini di kemudian hari memberi inspirasi bagi kelahiran tafsir ilmiah pada masa berikutnya, yaitu suatu pola penafsiran yang melibatkan dan menetapkan istilah-istilah ilmiah dalam ungkapan-ungkapan al-Qur'an. Dalam konteks ini, penafsiran al-Qur'an adalah berupaya menguraikan berbagai ilmu pengetahuan dan perspektif-perspektif filosofisnya.
Untuk kepentingan metode dan operasional tafsirnya, Al-Ghazali membagi ayat al-Qur'an ke dalam enam kelompok, dumana masing-masingnya diteguhkan dengan kriteria etis. Pertama, ayat-ayat tentang ketuhanan. Untuk ayat-ayat ketuhanan, Al-Ghazali merekomendasikan metode penafsiran yang menitikberatkan pada makna majazzi. Misalnya, penafsiran "istawa" yang terdapat dalam surat Fussilat ayat 11. Al-Ghazali menafsirkannya dengan "menundukkan dan menguasai".
Kedua, ayat-ayat tentang pengabdian manusia kepada Tuhan. Dalam kategori ini, penafsiran Al-Ghazali terlihat lebih dinamis. Sampelnya adalah ketika ia menafsirkan surat Al-Muzammil ayat 8. Ia terlihat menggunakan penafsiran tekstual yang berlandaskan pada sisi bahasa dan dukungan ayat-ayat lainnya (tafsir ayat bi al-ayat). Mujahadah dalam ayat tersebut dimaknainya sebagai upaya maksimal untuk merengkuh esensi makna tauhid sufistik. Menurutnya, makna tauhid harus diejawantahkan dalam pemikiran, amal, dan dalam pengetahuan.
Ketiga, ayat-ayat tentang eskatologi (kehidupan di akhirat). Untuk ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini, Al-Ghazali menghindari dan bahkan menolak metode penafsiran rasional atau takwil filosofis dan sufistis. Penafsiran rasional dan takwil dianggap bid'ah. Ulasan yang bersifat filosofis dan alegoris untuk ayat-ayat kategori ini hanyalah pelengkap. Untuk menjelaskan ayat-ayat eskatologi, Al-Ghazali merekomendasikan penjelasan yang bersumber pada al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Misalnya, ketika menafsirkan "mizan" dalam surat Al-A'raf ayat 8-19. Al-Ghazali menafsirkan kata tersebut dengan menghubungkannya dengan surat Al-Qari'ah ayat 6-11, surat Gafir ayat 17, surat Ibrahim ayat 42-44, surat Al-An'am ayat 38, dan surat Az-Zumar ayat 30-31. Setiap ayat dijelaskan dengan mengutip sejumlah Hadis Nabi yang berkaitan dengan topik tersebut.
Keempat, mengenai kisah-kisah dalam al-Qur'an. Untuk kategori ini, Al-Ghazali menggunakan metode penafsiran tekstual dan kontekstual yang terakomodasi di dalamnya pola penafsiran filosofis, alegoris, dan ilmiah.
Kelima, ayat-ayat tentang argumentasi dan logika al-Qur'an. Untuk kategori ini, Al-Ghazali menggunakan penafsiran tekstual dan alegoris. Hal ini dilakukannya untuk menyingkap alasan-alasan dan bukti-bukti kehalusan bahasa al-Qur'an. Di samping itu, juga untuk memberi kepuasan secara rasional dan spritual.
Keenam, ayat-ayat kategori hukum (fiqih). Al-Ghazali menghindari pemaknaan ayat secara esoterik, apalagi yang mengaburkan. Pemaknaan secara eksoterik digunakan dalam kerangka untuk menjembatani antara makna hakikat dan syariat. Metode rasional sebatas komplementer karena menurutnya rasio tidak mampu mengungkap makna sebagian ibadah yang ditentukan oleh syara'.

E. Pemikiran Al-Ghazali tentang Takwil

Secara sepintas dapat dikatakan bahwa takwil termasuk sesuatu yang urgen bagi Al-Ghazali. Meskipun demikian, pemikiran Al-Ghazali mengenai takwil belum tertata secara sistematis, sehingga sulit untuk dipahami. Prisma pemikirannya tentang takwil terbaca dari fungsi takwil sebagai jembatan penghubung ilmu kulit menuju ilmu inti. Kulit di sini adalah kata-kata dalam konteks bahasa. Sementara inti adalah makna batin kata yang mendalam.
Maka, untuk menembus batas-batas kulit dalam teks dan untuk masuk dalam ilmu inti harus dimulai dari tingkatan paling rendah dalam gerak menaik menuju puncak. Menyeberangi kulit menuju inti melalui takwil sepadan dengan proses mikraj imajinasi hati dari alam nyata ke alam gaib atau alam malakut. Jika transformasi dari alam nyata menuju alam malakut berlangsung dalam wilayah imajinasi, maka proses penyeberangan dari kulit teks menuju intinya juga dimungkinkan melalui imajinasi. Proses penyeberangan makna dari kulit ke intinya merupakan takwil yang pertama dalam pandangan Al-Ghazali.
Sedangkan takwil yang kedua beroperasi dari metafor ke hakikat. Bagi Al-Ghazali, al-Qur'an adalah lautan. Pantainya adalah ilmu-ilmu kulit dan cangkang. Menurutnya, mereka yang tenggelam dalam bacaannya, lebih fokus pada aspek penyampaian dan ilmu-ilmu kulit, sesungguhnya ia hanya berputar-putar di pantai tanpa memperoleh apa-apa.
Sebagaimana telah disinggung sekilas di atas, bagi Al-Ghazali ayat-ayat mengenai eskatologi atau tentang kehidupan di akhirat kelak tidak boleh ditakwilkan. Menakwilkan kehidupan di akhirat, seperti surga, neraka, timbangan amal, jembatan atau sirath, dengan pola penafsiran rasional ataupun sufistik adalah bid'ah.

F. Kesimpulan

Bagi Al-Ghazali, al-Qur'an adalah Kalam Allah dan sekaligus Ilmu Allah. Sebagai Kalam Allah, al-Qur'an memuat dan mencakup seluruh makna kalam-Nya. Dikarenakan Kalam Allah juga merupakan Ilmu Allah, maka berarti al-Qur'an, seturut Al-Ghazali, mencakup seluruh Ilmu Allah. Oleh sebab itu, al-Qur'an juga berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Dari pandangan tersebut, kemudian Al-Ghazali menyusun sebuah penafsiran yang konfrehensif yang memadukan antara berbagai disiplin keilmuan. Tujuan penafsiran al-Qur'an adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan supaya al-Qur'an benar-benar berfungsi dalam kehidupan manusia. Penafsiran yang ideal bagi Al-Ghazali adalah penafsiran demi kemaslahatan manusia yang melampaui sekat-sekat ideologis dan aneka sentimen aliran pemikiran dan anutan politik. Setiap upaya penafsiran mestilah diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keridhaan-Nya.
Sedangkan pemikiran Al-Ghazali tentang takwil diarahkan untuk menelusuri makna-makna yang berada di sebalik teks. Sebab bagi Al-Ghazali, al-Qur'an ibarat lautan yang mengandung aneka mutiara menarik. Untuk memperolehnya, harus dilakukan penakwilan. Proses penakwilan menurutnya beroperasi dari kulit teks menuju intinya dan dari metafor ke hakikat. Ayat-ayat tentang eskatologi adalah di antara ayat-ayat yang tidak boleh digunakan proses penakwilan.


Bahan Pertimbangan

Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur'an: Kritik terhadap 'Ulumul Qur'an. Yogyakarta: LKiS, 2003
Al-Ghazali, Abu Hamid. Mukhtashar Ihya' 'Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
-----------------------------. Misykat al-Anwar. Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1964
------------------------------. Ihya' 'Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikri, 1975
------------------------------. Jawahir al-Qur'an, cet. ke-1. Mesir: Maktabah Kurdistan al-Ilmiyah, 1975
------------------------------. Al-Mustasyfa min 'Ilm al-Ushul. Mesir: Dar al-Fikr, 1322 H
------------------------------. Permata al-Qur'an, penyadur Syaifullah Mahyudin, cet. ke-2. Jakarta: Rajawali Press, 1987
Az-Zahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut: Dar al-Fikr, 1982

Jumat, 20 Februari 2009

Ultah Melayu Online

Kata orang bijak, kebenaran pengalaman posisinya di atas kebenaran rasionalitas. Lahir dan populernya ungkapan “pengalaman adalah guru yang terbaik” menjadi bukti bahwa pengalaman itu sangat penting dan strategis posisinya dalam menjalani kehidupan. Sebab, apa yang dikonstruks oleh pikiran belum tentu sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Pengalaman yang dimaksudkan di sini, di samping ekuivalen dengan profesionalisme, juga berbanding lurus dengan adanya hasrat, niat, keinginan, dan tekad untuk senantiasa belajar dan memperbaiki diri.

Oleh sebab itu, kategori-kategori yang telah dipancangkan dan klasifikasi-klasifikasi yang disematkan pada person, golongan, kelompok, budaya, dan lain sebagainya, senantiasa mengalami perubahan dan pasang surut mengikuti perkembangan zaman. Dengan sendirinya, cara pandang, cara berpikir, asumsi yang dibangun, dan bahkan hasil dari apa yang telah dikerjakan selama ini, semestinya juga dibaca dalam proses ini.

Pangeran Diponegoro, misalnya, di mata orang Indonesia digadang-gadang sebagai pahlawan, sedangkan dalam pandangan penjajah Belanda ia dicap sebagai pemberontak. Itu baru dari dua perspektif. Belum lagi Pangeran Diponegoro kita baca dari perspektif dan kaca mata yang lain.

Orang bijak lain juga mengingatkan kita, “Bacalah pemikiran filosofmu secara terbalik, niscaya akan kamu temukan ihwal yang ganjil darinya”. Petuah ini mengajak dan sekaligus mengingatkan kita untuk selalu awas, kritis, dan hati-hati ketika menilai seseorang, kelompok, lembaga, dan yang lainnya. Bahkan pada seseorang yang telah kenal sekalipun. Sebab, kegetiran seringkali bersembunyi di balik topeng fairplay, kepiluan acapkali membonceng pada “ideologi” demi kebaikan bersama, dan manusia seringkali dikorbankan demi menjaga kesucian agama atau adat tertentu.

Apa yang telah dilakukan oleh Melayu Online selama ini merupakan kerja-kerja kultural dan sumbangsih intelektual yang tak terhingga nilainya. Meski baru menginjak tahun kedua, Melayu Online telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi peradaban. Dibaca dan diaksesnya Melayu Online oleh berbagai kalangan dan dari berbagai belahan dunia, bahkan oleh masyarakat yang asal negaranya sangat asing dan tidak begitu terlihat dalam peta, membuktikan bahwa Melayu Online telah mendunia dan milik siapa saja. Dengan sendirinya, pribadi-pribadi yang terlibat dan intens di dalamnya merupakan pribadi-pribadi yang telah mendedikasikan dirinya untuk tamadun dunia Melayu dan ilmu pengetahun pada umumnya.

Semoga ke depannya, Melayu Online tetap konsisten dengan visi dan misi awalnya sebagai pangkalan data terbesar tentang dunia Melayu di jagat dunia maya. Tentu saja diiringi dengan kerja-kerja yang berpegang pada “kebenaran pengalaman” dan bisa membaca “ihwal yang ganjil” dari sebuah pemikiran dan gerak zaman yang susah ditebak tapal perhentiannya.

Selamat Ulang Tahun Ke-2 Melayu Online.
Semoga tetap jaya di dunia tak berbatas...


Yusriandi Pagarah
Redaktur Sastra

Rabu, 18 Februari 2009

Saya, Tanjung Bonai Aur, dan Kabupaten Sijunjung…

Tanpa terasa, pada hari Rabu, 18 Februari 2009 ini, Kabupaten Sijunjung akan merayakan hari jadinya yang ke-60. Jelas bukan usia yang muda, untuk tidak menyebutnya sudah renta, bila dibandingkan dengan usia rata-rata manusia hidup di atas dunia.

Setiap kali memperingati Hari Jadi Kabupaten Sijunjung, tentu tidak akan lupa menyebut sebuah nagari tempat dicetuskannya pendirian Kabupaten Sijunjung, yaitu Nagari Tanjung Bonai Aur. Secara administratif, Nagari Tanjung Bonai Aur masuk dalam wilayah Kecamatan Sumpur Kudus, salah satu kecamatan penghasil “para profesor” di kabupaten yang terkenal dengan Ranah Lansek Manih ini, dan barangkali juga di Provinsi Sumatera Barat.

Saya yakin, dan barangkali Anda juga sependapat dengan saya, para pendiri kabupaten ini tentu punya alasan tersendiri mengapa nagari tersebut dipilih sebagai tempat mufakat mendirikan kabupaten baru. Pertanyaan lain yang dapat diapungkan di sini adalah mengapa kabupaten yang pernah menyandang kabupaten terluas ketiga di Sumatera Barat ini lahir dari nagari yang nyaris tak terlihat dalam peta, dan bahkan secara geografis pun berada jauh dari ibukota kabupaten, Muaro Sijunjung. Saya, dan juga Anda, tentu punya alasan sendiri-sendiri, baik berdasarkan fakta dan data di lapangan maupun berlandaskan pada pikiran yang sifatnya spekulatif belaka. Tapi itu tidak jadi soal.

Sebagai manusia yang lahir, menghabiskan masa kecil, dan bahkan sampai sekarang, meski jarang pulang dari tanah perantauan, saya masih merasa bagian dari nagari tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung ini. Perasaan tersebut lahir bukan karena leluhur saya berasal dari nagari tersebut, atau karena keluarga besar saya masih menetap di sana. Bukan. Sebab identitas bagi saya, bukan soal asal-usul leluhur, silsilah keluarga, ataupun tempat berkubur yang diinginkan bila kelak dipanggil menghadap Sang Pencipta. Dan, saya rasa, identitas yang sifatnya primordial tanpa topangan rasionalitas kosmopolit tidak akan menghasilkan apa-apa, selain kenangan yang nostalgila atau kebanggaan yang semu.

0000
Ketika duduk di Sekolah Dasar (SD), upacara bendera—untuk memperingati hari apapun—adalah momen-momen yang selalu saya nantikan. Upacara yang paling saya sukai adalah upacara 17 Agustus dan upacara hari jadi Kabupaten Sijunjung. Untuk memperingati dua momen ini, nagari tempat saya lahir itu terlihat agak berbeda dari hari-hari lainnya, untuk tidak menyebutnya terlihat sedikit lebih rancak. Apalagi bendera merah-putih meliuk-liuk ditiup angin dari pepokok karet yang berdaun rimbun.

Pada upacara 17 Agustus, Mak akan membekali saya dengan nasi bungkus dari daun pisang dan air dalam plastik ukuran seperempat, dan tentu saja uang jajan yang lebih banyak dari hari-hari biasanya. Betapa riangnya, serasa gagahnya diri ini, menghadiri upacara bendera memperingati hari proklamasi Republik Indonesia tersebut, meski pun kerap kali harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 2 jam menuju lokasi upacara yang berada di Koto Kumanis itu. Bagi saya, Koto Kumanis waktu itu adalah tempat yang wah, apalagi sebelum sampai ke lokasi tersebut akan melewati Kumanis, ibu kota Kecamatan Sumpur Kudus. Di Kumanis, terdapat pasar, rumah sakit, kantor camat, kantor Kapolsek, kantor Koramil, dan lain sebagainya. Dan tentu juga melihat Batang Sinamar yang membelah nagari saya dengan nagari ibu kota kecamatan itu. Konon, air sungai ini melewati tiga kabupaten, yaitu Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Sijunjung.

Kegembiraan saya kian menjadi-jadi ketika memasuki bulan Februari. Sebab, di bulan ini akan dihelat sebuah acara yang untuk ukuran nagari dan usia saya waktu itu, terbilang semarak dan besar. Pasalnya, upacara akan dipusatkan di Lapangan Tugu Koto Gadang, daerah paling timur di nagari saya. Untuk diketahui bapak saya, Muhammad Tahir Datuk Paduko Sinaro yang bersuku Chaniago, berasal dari Koto Gadang. Dan, di atas segalanya, rumah keluarga besar bapak saya berada di dekat Lapangan Tugu itu.

Dengan demikian, setiap memperingati hari jadi Kabupaten Sijunjung, saya tidak perlu merisaukan uang jajan dan soal makan. Karena, bila lapar mendera, saya tinggal pilih mau makan di mana di antara deretan rumah bako saya itu. Keluarga dari pihak bapak juga akan memberi saya uang jajan, terutama Nenek, Mak Wo (kakak dari bapak), Pak Etek (suami dari adik bapak), dan yang lainnya. Bahkan, uang yang didapat lebih banyak dari yang diberi Bapak dan Mak setiap hari Selasa, hari pasar di kampung saya.

0000
Selepas SD, saya meninggalkan Tanjung Bonai Aur, nagari tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung itu. Masa-masa remaja lebih banyak saya habiskan di Kabupaten Tanah Datar, tempat saya melanjutkan pendidikan tingkat pertama dan menengah atas. Masa-masa saya mencari jati diri yang kelak berpengaruh pada jalan dan pilihan hidup saya. Dengan begitu, kian jauh saja ikatan batin saya dengan Kabupaten Sijunjung dan serasa asing berada di kampung sendiri. Sejujurnya, saya tidak begitu kenal dengan berbagai tempat di kabupaten yang tertera di KTP saya tersebut. Apalagi dengan para pejabat dan tokoh berpengaruh di jajaran birokrasinya.

Barangkali karena itulah, ketika meminta surat keterangan kurang mampu, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan beasiswa di jenjang sekolah menengah atas dulu, saya tidak mendapatnya. Saya masih ingat, bagaimana saya harus bolak-balik dari kantor kepala desa—waktu itu masih berstatus desa—yang sering terkunci, menuju rumah sekretaris desa—kira-kira 500 meter di sebelah timur Simpang Ampek—katakanlah ibu kota Nagari Tanjung Bonai Aur. Dari rumah sekretaris desa, saya disuruh dulu menemui kepala desa di rumahnya, di daerah Koto Baru. Hanya untuk mendapatkan surat keterangan kere, saya harus hilir-mudik di nagari selama tiga hari.

Tapi untung tidak dapat diraih dan malang tidak dapat ditolak, apa yang saya cari tak juga saya dapatkan. Akhirnya, saya adalah satu-satunya yang tidak mengantongi “surat keterangan kere” dari sekian banyak penerima beasiswa. Tapi saya tetap bangga, karena di antara sekian penerima beasiswa, yang terkadang putri tunggal seorang kepala dinas di Kota Batusangkar, anak pengusaha sukses di Bandar Lampung, dan putra pedagang kelontong ternama dari Lintau, hanya saya yang mendapat beasiswa tanpa melampirkan “surat keterangan kere” dari tanah kelahiran saya.

Barangkali dalam konteks ini juga, ketika beberapa waktu saya mengajukan proposal beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pascasajana ke Bupati Kabupaten Sijunjung, permohonan saya dianulir. Sejujurnya, sedari awal saya tidak begitu yakin akan mendapatkan bantuan dari kabupaten yang tertera di KTP saya itu. Kata pepatah Cina, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menghidupkan pelita kecil.

Waktu itu, saya berbaik sangka saja. Pikir saya, siapa tahu akhir ceritanya tidak seperti skenario yang telah mengecambah di otak saya. Apalagi saya diterima S2 di dua perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Lagipula, saya juga menggunakan jasa “orang dalam” lingkaran elite kekuasaan di kabupaten ini, yaitu Ketua DPRD yang kebetulan teman masa kecil bapak saya dan berasal dari nagari tempat lahirnya kabupaten yang memiliki motto “Kota Pertemuan” ini. Setelah lama menunggu, saya sudah dapat menebak ending-nya. Tapi tak apa. Toh, saya terhibur dengan sebuah kata bijak, yang entah dari mana saya kutip: Tidak semua tanya perlu dijawab, tidak segala pantun mesti berbalas...

0000
Sejujurnya, di lubuk hati yang paling dalam, saya masih tetap memimpikan nagari tempat saya lahir dan juga kabupaten yang tertera di KTP saya, suatu saat nanti, entah itu kapan, menjadi nagari dan kabupaten yang maju dan mampu mensejahterahkan masyarakatnya. Dan, lebih dari itu, saya tetap bangga menjadi bagian dari nagari dan kabupaten yang berulangtahun sama dengan bulan kelahiran saya ini.

Lebaran kemaren, adalah pulang kampung saya yang terdekat, setelah empat kali puasa dan empat kali lebaran tidak mudik. Meski tidak terlalu lama di kampung halaman, saya merasa sebagian dari mimpi-mimpi masa kecil dan igauan masa puber saya, perlahan tapi pasti, telah terealisir. Pada pagi hari, terlihat anak sekolah berpakaian putih-abu-abu dan putih-biru meramaikan suasana pagi. Kalau mau, mereka tidak harus pulang sekali seminggu, atau menempuh jarak sekian kilometer, untuk memperoleh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, seperti mereka yang segenerasi dengan saya. Karena, di kampung saya, tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung itu, telah didirikan SMU dan MTs. Sekarang, di kampung saya itu juga terdapat pasar nagari setiap hari Sabtu.

Para pemuda yang melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi pun kian banyak. Rantau mereka pun tidak lagi menyadap karet ke Payakumbuh atau buruh sawit ke Jambi, tapi juga ada yang membuka photo copy, pedagang kelontong, dan warung makan di Jawa. Bahkan satu dua juga telah mampu menembus "brigadir" PNS, sebagai guru, polisi, atau tentara.

Mata saya pun berkaca-kaca, ketika membaca berita dari media online bahwa Wali Nagari Tanjung Bonai Aur terpilih mewakili Kabupaten Sijunjung dalam pemilihan kompetensi wali nagari tingkat Sumatera Barat. Baru-baru ini, Kelompok Tani Patarus (Padang Tarang Aur Serumpun) dari nagari ini juga dinobatkan sebagai peraih kedua Ketahanan Pangan Tingkat Nasional.

Demikian juga, apalagi bila kita jujur pada sejarah, sesungguhnya jejak Istana Pagaruyung yang beberapa waktu lalu terbakar itu, juga ditemukan di nagari ini. Salah satu rujukannya dapat dibaca dalam otobiografi Bapak Ahmad Syafii Maarif yang inspiratif, Titik-Titik Kisar Di Perjalananku. Bukti-buktinya pun dapat kita lihat di nagari tersebut. Tapi, hal ini tidak pernah disinggung dalam buku-buku sejarah, baik dalam konteks sejarah lokal Sumatera Barat maupun dalam konteks sejarah nasional Indonesia.

0000
Seperti yang telah disinggung di depan, Nagari Tanjung Bonai Aur adalah tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung. Pemilihan nagari tersebut tentu punya alasan. Sebagiannya telah dicoba jawab, meskipun serba sekilas-sepintas dan tak memuaskan. Bila pemerintah kabupaten ini dapat sedikit berbaik hati, dari nagari ini kelak—dan tentu juga dari nagari-nagari lainnya di kabupaten tersebut—akan lahir ide-ide dan prestasi-prestasi yang akan mengharumkan nama Kabupaten Sijunjung di ajang yang lebih prestise lagi.

Dan, saya, barangkali juga Anda, tentu mulai menemukan titik terang: Mengapa nagari ini, yang terletak berpuluh kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten, dipilih sebagai tempat pendeklarasian Hari Jadi Kabupaten Sijunjung?

Selamat Ulang Tahun Ke-60 Kabupaten Sijunjung
Semoga benar-benar bisa menjadi “Kota Pertemuan”
Amin…


Yogyakarta, Detik-Detik Jelang Hari Jadi Kabupaten Sijunjung



Yusriandi Pagarah

Jumat, 30 Januari 2009

Minggu, 26 November 2006

Sastra Koran Lokal dan Nasional, 26 November 2006

Cerpen

1. Kompas : Di Sini Dingin Sekali oleh Puthut EA
2. Surya : Terbunuhnya Buya Katidiang oleh Yusriandi Pagarah
3. Jakarta Post : Greed of Gold oleh Yundi Aditya
4. Duta Masyarakat : Sangidu oleh Prabantara Kesamawurti
5. Malang Pos : Ini juga Karena Cinta oleh Liga Alam M.
6. Republika : Dua Lembar Uang Seratus Ribuan oleh N. Mursidi
7. Suara Pembaruan : Tangisan Dira oleh Rama Dira J.
8. Sumatera Ekspres : Perahu yang Berlayar Sendirian Di Lautan oleh S.Yoga
9. Media Indonesia : Kupu-kupu Ibu oleh Komang Ira Puspitaningsih

Sajak

1. Sajak-sajak Afrizal Malna di Kompas
2. Sajak-sajak Ahmad Muchlis Amrin di Surya
3. Sajak-sajak Acep Zam-zam Noer di Duta Masyarakat
4. Sajak-sajak Geoff Fox di Republika
5. Sajak-sajak Hardi SRS di Suara Pembaruan
6. Sajak-sajak Handayani di Sumatera Ekspres

“…karena perbedaan adalah kesempurnaan…”

Lubis Grafura
www.lubisgrafura.wordpress.com
Sumber: http://lubisgrafura.wordpress.com/2006/11/

Rabu, 28 Januari 2009

DEBAT SEKITAR TAFSIR ILMIAH

YUSRIANDI PAGARAH

Kedua disiplin tersebut—agama dan sains—berbicara satu sama lain seperti dua kawan yang bekerja sama dalam suatu penelitian luas sekali yang dilaksanakan atas nama akal budi, mengenai hakikat realitas… Kitab suci itu lebih merupakan suatu kesaksian kolektif mengenai peristiwa-peristiwa dasariah dan tentang prilaku-prilaku istimewa dimana kehadiran Allah tampak dengan cemerlang. Sains dan agama sama-sama mencari fundamen rasional tentang perjalanan dunia.
--Louis Leahy--

A. Pendahuluan
Kedudukan kitab suci al-Qur’an sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Sentralitas kitab suci tersebut dapat dilihat, selain sebagai sumber pasar diskursus dan pusat wacana yang tak pernah padam dari dahulu hingga sekarang, al-Qur’an juga berfungsi sebagai pedoman ketika menjalin dan menjalani kehidupan mereka. Begitu juga, segala persoalan yang terjadi pada habitus kontemporer mestilah seiring-sejalan dengan spirit wahyu.

Oleh sebab itu, cukup alasan kiranya orang seperti Fazlur Rahman dan juga yang lainnya, menjadikan penafsiran al-Qur’an sebagai titik pusat—bahkan juga titik berangkat—bagi intelektualisme Islam. Lahirnya berbagai aliran kalam, filsafat, mazhab, tasawuf, politik, dan sekte keagamaan dalam Islam, berawal dari penafsiran terhadap al-Qur’an. Meskipun menghasilkan corak dan kecendrungan yang berbeda, semua aliran dan sekte tersebut sama-sama mendasarkan argumentasi dan mencari legitimasi pendapat mereka dari al-Qur’an, bahkan terkadang dari ayat yang sama.

Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan terberat dan menantang bagi umat Islam berkaitan dengan interaksinya dengan kitab suci al-Qur’an adalah upaya kontekstualisasi ajarannya agar tetap relevan di setiap zaman dan tempat. Dengan begitu, tugas terberat seorang mufasir dari dahulu sampai sekarang adalah mencari titik temu dan relevansi antara teks al-Qur’an dengan konteksnya. Oleh sebab itu, membangun berbagi teori pembacaan dan menggunakan berbagai perangkat keilmuan, bahkan juga mempertanyakan relevansi paradigma tafsir klasik untuk konteks kekinian dan kedisinian, merupakan sebuah keniscayaan.
Kecenderungan ini, salah satunya bersirobok dengan pendapat Muhammad Shahrur yang menyatakan bahwa al-Qur’an juga diturunkan kepada kita yang hidup di abad kedua puluh ini, seolah-olah Nabi baru saja wafat dan beliau sendiri yang menyampaikannya kepada kita. Karena itu, al-Qur’an harus dipahami dan ditafsirkan sesuai dengan episteme abad kedua puluh. Dalam perspektif inilah aksioma Islam yang relevan pada setipa waktu dan tempat semestinya dimaknai.

Munculnya tafsir ilmi dalam khazanah inteleklual Islam merupakan respons supaya ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an tetap relevan dengan perkembangan zaman itu. Selain itu, tafsir ilmi juga berupaya memperbaiki pengetahuan seseorang yang telah ada dan membuka tabir makna ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang belum mampu dipahami oleh umat sebelumnya secara baik.

B. Tipologi Hubungan Agama dan Ilmu Pengetahuan
Sebelum masuk pada pokok persoalan dan perdebatan di sekitar tafsir ilmiah, terlebih dahulu akan dipaparkan secara sepintas tentang tipologi hubungan agama dan ilmu pengetahuan yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat dekade 1990-an. Hemat penulis, hal ini penting karena setidaknya dapat memetakan berbagai pendapat ulama dan intelektual Islam berkenaan dengan tafsir ilmi.

Menurut Ian G. Barbour, terdapat empat tipologi hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Pertama, tipologi konflik. Tipologi yang dipegangi oleh kelompok materialisme agama dan literalisme kitab suci yang melihat hubungan agama dan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Dalam amatan materialisme agama, ilmu pengetahuan bersifat objektif, terbuka, terakumulasi, dan progres. Selain itu, data-datanya dapat diuji secara publik dengan menggunakan kriteria koherensi, korespondensi, atau asas pragmatis. Sedangkan tradisi kegamaan, menurut kubu ini, bersifat subjektif, tertutup, tidak kritis, dan sanagat sulit berubah. Sementara kubu literalisme kitab suci berpendapat bahwa teori ilmiah seperti teori evolusi melambungkan filsafat materialisme dan merendahkan perintah moral Tuhan.

Bila dicermati lagi, sesungguhnya pertentangan ini melanjutkan pertentangan yang terjadi antara fundamentalisme sains dengan fundamentalisme agama. Kutub fundamentalisme sains dipelopori oleh sainstis yang ateis, seperti Richard Dawkins dan Steven Weinberg, sedangkan Jhon William Draper dan Andrew Dickson mewakili kutub fundamentalisme agama.

Kedua, tipologi independensi. Pandangan ini menyatakan bahwa sains dan agama berada di ranah yang berbeda. Dengan begitu, asumsi yang dibangun, cara kerja, dan hasil yang hendak dicapai oleh masing-masing dari dua hal tersebut berbeda. Sains lebih fokus pada kajian pada alam semesta atau realitas, sedangkan agama menyorot tata cara manusia. Bentuk lain dari tipologi ini menyatakan, memang antara sains dan agama berbeda ketika melihat realitas, namun kedua perspektif itu dapat saling melengkapi dan bukannya saling meruntuhkan.

Setidaknya terdapat tiga argumen mendasar tentang tipologi kedua ini:
1. Ilmu pengetahuan mengajukan pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama mengajukan pertanyaan “mengapa”.
2. Ilmu pengetahuan melakukan prediksi kuantitatif yang dapat diuji melalui sejumlah eksperimen. Agama menggunakan bahasa simbolis dan analogis karena Tuhan bersifat transenden.
3. Terdapat dua bahasa dan dua fungsi yang berbeda. Bahasa ilmiah berfungsi untuk melakukan prediksi teori ilmiah, sementara fungsi utama bahasa agama menawarkan jalan hidup, seperangkat pedoman, dan kesetiaan pada prinsip moral tertentu.

Ketiga, tipologi dialog. Tipologi ini berupaya membandingkan kedua metodogi agama dan ilmu pengetahuan, menunjukan ada hubungan persamaan dan kemiripan di antara keduanya, di samping menunjukan titik-titik perbedaannya. Tipologi ini meyakini adanya kesejajaran konseptual antara teori ilmiah dan keyakinan teologi.

Kesamaan metodologis di antara keduanya, misalnya, ketika terdapat pandangan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah seobjektif dan agama tidaklah sesubjektif sebagaimana yang diduga banyak orang. Data ilmiah yang menjadi dasar ilmu pengetahuan melibatkan unsure-unsur subjektivitas. Hal ini misalnya terlihat pada asumsi-asumsi teoritis yang digunakan dalam prores pemilahan, laporan, dan penafsiran terhadap apa yang dianggap sebagai data. Demikian juga teori, tidak lahir dari analisis data secara logis, tetapi lahir dari tindakan imajinatif kreatif yang mengandalkan analogi dan model.

Karakter yang seperti juga dapat djumpai dalam agama. Data dalam agama meliputi pengalaman keagamaan, ritual, dan kitab suci. Data-data seperti itu lebih banyak diwarnai oleh penafsiran konseptual. Metafora dan model juga berperan penting dalam bahasa agama.

Berbeda dengan tipologi indepensi yang lebih menekankan pada titik-titik perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama, tipologi dialog titik tekannya lebih pada upaya persamaan atau perbandingan metodis dan konseptual di antara keduanya.

Keempat, tipologi integrasi. Tipologi ini berupaya mencari titik temu antara ilmu pengetahuan dan agama. Bahkan, pendukung tipologi keempat ini menyerukan perumusan ulang gagasan-gagasan teologi tradisional yang ekstensif dan sistematis bila dibandingkan dengan pendukung tipologi dialog.

Tipologi integrasi mempunyai tiga versi. Pertama, natural theology. Dalam natural theology, eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dan dibuktikan oleh desain alam semesta yang teratur. Salah tokoh penting aliran ini adalah Thomas Aquinas, yang menyatakan bahwa beberapa sifat Tuhan dapat diketahui dari informasi kitab suci, tetapi eksistensi Tuhan sendiri hanya dapat diketahui melalui nalar.

Argumen kosmologisnya, setiap peristiwa harus mempunyai ‘sebab’, sehingga kita harus mengakui ‘sebab pertama’ jika hendak menjauhi siklus yang tak berujung pangkal. Inti versi pertama ini adalah menjadikan alam semesta sebagai sarana untuk mengetahui Tuhan yang dapat dilakukan melalui sejumlah prosedur ilmu pengetahuan.

Kedua, theology of nature.Versi ini berangkat dari tradisi keagamaan yang bersumber dari pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Tesis utamanya adalah bahwa doktrin tradisional keagamaan harus dirumuskan ulang dalam sinaran ilmu pengetahuan mutakhir. Versi ini melakukan refleksi teologi dan berupaya melakukan upaya kontekstualisasi teologi. Arthur Peacocke, seorang biokimiawan dan sekaligus seorang teolog, adalah di antara pendukung theology of nature. Ia berpendapat, bahwa pengalaman keagamaan masa lalu dan mas kini dari sebuah komunitas keagamaan harus diuji dengan consensus komunitas keagamaan, serta dengan koherensi, komprehensi, dan kemanfaatan. Peacocke berupaya membuka wawasan kontekstualisasi teologi dalam entitas ilmu pengetahuan.

Ketiga, sintesis sistematis. Versi ini mensintesakan antara ilmu pengetahun dengan agama secara sistematis dengan tujuan merubah pandangan dunia ke arah yang lebih koheren. Muara versi ketiga dari tipologi integrasi ini adalah pengembangan metafisika inklusif melalui filsafat proses. Dalam tilikan filsafat proses, Tuhan adalah sumber kebaruan tatanan. Oleh sebab itu, penciptaan adalah proses panjang dan belum sempurna. Karena itu, setiap peristiwa baru merupakan produk maujud masa lalu, tindakan diri, dan aksi Tuhan. Dengan lain perkataan, Tuhan mentransedenkan dunia dan Dia juga imanen di dunia dengan cara tertentu dalam struktur setiap peristiwa.

C. Definisi Tafsir Ilmiah
Tafsir ilmi terdiri dari dua akar kata, yaitu at-tafsir dan al-‘ilm. Kata tafsir dalam al-Qur’an bermakna penjelasan atau perincian. Sedangkan kata ‘ilm dan berbagai derivasinya kerap digunakan dalam al-Qur’an dalam arti umum pengetahuan (knowledge), termasuk untuk sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan (sciences of nature and humanities). Selain itu, kata ‘ilm dalam al-Qur’an juga digunakan untuk pengetahuan yang diwahyukan (revealed) sekaligus digunakan untuk pengetahuan yang diperoleh di luar wahyu (acquired). Dengan demikian, berdasarkan pandangan al-Qur’an, terminologi ilmu tak terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, tetapi segala bentuk ilmu ilmu, baik ilmu alam, ilmu sosial, humaniora, dan ilmu lainnya yang dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia.

Setelah melihat penggunaan kedua kata tersebut dalam al-Qur’an, secara etimologis tafsir ilmi adalah penjelasan atau perincian-perincian tentang ayat-ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat tentang alam semesta dan realitas sosial.

Selain tafsir ilmi, juga digunakan istilah tafsir kauniah. Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang lebih kurang memiliki arti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Selain itu, ayat-ayat yang sepintas lalu terlihat seperti bukan ayat kauniah, sesungguhnya juga dapat dikategorikan sebagai ayat-ayat kauniah, misalnya ayat-ayat yang membicarakan sifat munafik (hyrocrisy). Ayat-ayat tersebut dapat ditafsirkan secara ilmiah dengan memandang kemunafikan sebagai penyakit jiwa.

Menurut Muhammad Quraish Shihab, tafsir ilmi atau tafsir ilmiah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu pengetahuan atau temuan-temuan baru. Namun Shihab memberi rambu-rambu, bahwa hubungan al-Qur’an bukan dinilai berdasarkan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya atau dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an, dan juga sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bukan juga dengan cara, adakah dalam al-Qur’an teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; apakah ilmu komputer tercantum dalam al-Qur’an atau tidak, tapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayat al-Qur’an yang menghalang-halangi kemajuan ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, adakah ayat al-Qur’an yang berbanding terbalik dengan hasil temuan ilmiah yang telah mapan? Dengan lain perkataan, meletakkannya pada sisi “psikologi sosial” (social psychology), bukan pada sisi “sejarah perkembangan ilmu pengetahuan” (history of scientific progress).

Sementara itu, Amin Al-Khuli mendefinisikan tafsir ilmiah sebagai tafsir yang menilai temuan-temuan ilmiah menurut ungkapan al-Qur’an. Sebuah tafsir yang berusaha menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan kefilsafatan yang dapat dicapai melalui kaidah-kaidah pemahaman terhadap ungkapan al-Qur’an yang telah ditetapkan dalam berbagai tradisi keilmuan Islam.

D. Kemunculan Tafsir Ilmiah
Sebagaimana yang diketahui, latar belakang seorang mufasir, baik pendidikan, karir profesional, afiliasi politik dan kemasyarakatan, dan juga yang lainnya, akan berpengaruh terhadap produk tafsirnya. Seorang ahli bahasa, tentu akan banyak mewarnai tafsirnya dengan teori-teori kebahasaan. Orang yang menekuni dunia filsafat, produk tafsirnya akan kental dengan nuansa filosofis. Sedangkan yang concern dengan sastra, akan banyak mempengaruhi tafsirnya dengan pendekatan-pendekatan sastra. Begitu juga dengan mereka yang memiliki basis keilmuan yang lainnya. Dengan begitu, kelahiran tafsir ilmi dalam diskursus tafsir al-Qur’an adalah suatu hal yang wajar, kalau bukannya sebuah keniscayaan sejarah.

Bila dicermati, alasan utama yang melatari seorang mufasir melahirkan tafsir ilmi adalah kenyataan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an—baik secara eksplisit maupun implisit—yang memerintahkan umat manusia, terutama umat Islam sendiri, untuk menggali ilmu pengetahuan, di samping juga keinginan untuk mengetahui dimensi kemukjizatan al-Qur’an dalam terang ilmu pengetahuan modern. Sementara itu di sisi lain, penafsiran tradisional terhadap ayat-ayat al-Qur’an dirasa kurang mampu memberikan pemahaman yang memuaskan terhadap pesan-pesan Tuhan yang bersifat saintifik dan dianggap belum memadai mempersenjatai kita untuk merespon perkembangan zaman yang sedemikian pesat. Sedangkan menurut Al-Muhtasib, kelahiran tafsir ilmi merupakan upaya rekonsiliasi antara Islam dengan kebudayaan-kebudyaan asing yang diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah, sebuah dinasti yang mampu bertahan lebih dari lima abad (750-1258). Di samping itu juga mencari legitimasi penemuan-penemuan sains murni di lingkungan umat Islam sendiri pada saat itu.

Dalam dunia Islam, Imam Al-Ghazali (w. 505 H) diyakini sebagai pelopor atau peletak dasar tafsir ilmiah secara teoritis. Al-Ghazali berpendapat bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna zhahir dan batin, serta makna yang tersurat dan tersirat. Dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, dengan mengutip pendapat Ibn Mas’ud, Al-Ghazali menyatakan, bahwa siapa saja yang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, ia harus merenungkan ayat al-Qur’an. Hal ini kembali ditegaskannya kembali dalam karyanya yang lain, yaitu Jawahir al-Qur’an. Al-Ghazali menyatakan, bahwa prinsip-prinsip ilmu yang telah disebutkan maupun yang belum disebutkan tidaklah berada di luar al-Qur’an karena semuanya berasal dari samudera makrifat Allah Swt.

Bila Al-Gazali dikenal sebagai peletak tafsir ilmi secara teoritis, Fahrur Ar-Razi merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir Al-Kabir. Kemudian, tafsir ilmi dikembangkan oleh mufasir berikutnya, seperti Muhammad ‘Abduh, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Mahmud Syukri Al-Alusi, Thantawi Jauhari, dan yang lainnya. Mereka yang disebut belakangan ini disebut sebagai mufasir di era modern.

Kemunculan dan meluasnya tafsir ilmi di era modern, mengikuti pendapat Shihab, setidaknya dilatari oleh dua faktor utama. Pertama, majunya peradaban Barat. Sebagaimana yang diketahui, sejak medio abad ke-19, umat Islam menghadapi tantangan hebat, tidak hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Di satu sisi umat Islam melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu pengetahuannya, sedangkan di sisi yang lain umat Islam mengalami kemunduran dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Kondisi ini berdampak negatif pada mayoritas umat Islam, yaitu lahirnya perasaan rendah diri atau inferiority complex di hadapan perkembangan modernitas yang tak tertanggungkan.

Berbagai reaksi diberikan umat Islam berkenaan dengan hal tersebut. Sebagian dari mereka bersifat apatis, acuh tak acuh dengan perkembangan tersebut. Ada juga yang menyerah dengan jalan mengikuti segala sesuatu yang berasal dari Barat, termasuk dalam hal-hal yang berseberangan dengan kepribadian atau adat-istiadat mereka.

Sementara yang lain mencoba menerimanya sebagai keniscayaan sejarah dan mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem yang berasal dari Barat tanpa meninggalkan kepribadian dan prinsip agama. Namun persentase yang disebut belakangan ini hanya sedikit saja dari umat Islam yang mengikutinya. Mayoritas umat Islam mengambil menjawabnya dengan mengapungkan pendapat-pendapat yang membanggakan kejayaan nenek moyangnya pada masa lalu. Misalnya, berbagai teori ilmiah dan capaian teknologi yang terdapat di Barat telah ada dalam al-Qur’an beberapa abad sebelumnya. Fenomena tersebut disebut Shihab “sastra kebanggaan dan kejayaan” atau adab al-fakhri wa al-tamjid.

Kedua, pengaruh pertentangan gereja dengan kalangan ilmuan di Eropa. Sebagaimana yang diketahui, sedari abad ke-18 terjadi pertentangan hebat antara otoritas gereja dengan kalangan ilmuan. Hal ini dipicu oleh perbedaan doktrin gereja tentang suatu hal dengan hasil temuan para ilmuan. Penafsir-penafsir Kitab Perjanjian Lama/Baru menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan kesuciannya, sehingga siapa saja yang keluar dari tafsiran tersebut dianggap murtad dan berhak mendapat kutukan. Di lain pihak, para ilmuan menghasilkan temuan ilmiah yang bertolak belakang dengan doktrin gereja.

Akibatnya, banyak di antara para ilmuan yang menjadi tumbal dari temuannya sendiri. Galileo, Arius, Bruno, Bauer, George van Paris adalah di antara nama-nama ilmuan yang menjadi korban kekejian otoritas gereja karena menghasilkan temuan yang bertolak belakang dengan para penafsir kitab suci. Peristiwa ini kian meyakinkan orang bahwa memang terjadi pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama.

Pendapat serupa juga diperikan oleh J.J.G. Jansen, seorang pakar tafsir al-Qur’an dari Leiden, Belanda. Menurutnya, kelahiran tafsir modern dalam bentuknya yang modern adalah bagian dari perdebatan besar yang berlangsung di dunia muslim sejak awal pengaruh teknologi, ilmu pengetahuan, dan politik Barat di dunia Arab. Perdebatan ini berkisar di sekitar apakah studi ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab dapat diterima di kalangan muslim.

E. Pendapat Ulama tentang Tafsir Ilmiah
Setidaknya terdapat tiga kelompok utama berkenaan dengan tafsir ilmi. Pertama, kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi. Kedua, kelompok yang menolak. Ketiga, kelompok moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang bertolakbelakang secara diametral di atas.

Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak. Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam. Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.

Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama Islam berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain sebagainya. Kelompok pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt. menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Kelompok yang pertama ini memberikan apresiasi yang berbeda terhadap penerapan tafsir limi. Ada yang menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh sang mufasir, atau fungsi tabyin. Ada yang berkeinginan membuktikan kebenaran teks al-Qur’an menurut ilmu pengetahuan mutakhir, atau fungsi I’jaz. Hal ini member stimulant kepada umat Islam dan Ilmuan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat teks-teks al-Qur’an. Terakhir, fungsi istikhraj al-‘ilm atau ta’ziz, yakni ayat-ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir.

Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.

Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan tengah di antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di atas. Bagi kelompok ini, pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu, adalah argumen yang dilebih-lebihkan. Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak terbatas, persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam al-Qur’an? Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?

Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang hidup di zaman ini tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman sahabat dan orang-orang terdahulu. Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an memerintahkan setiap muslim mempergunakan akal pikirannya serta merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua atau nenek moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat dimasukkan dalam kategori ketiga ini.

Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut ini. Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah kebahasaan. Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.

Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat). Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya. Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.

Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan. Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak. Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun. Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima. Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.

F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa poin sebagai kesimpulan di sekitar debat tentang tafsir ilmi. Pertama, kelahiran tafsir ilmi adalah upaya umat Islam untuk senantiasa mencari kemukjizatan al-Qur’an dalam terang temuan berbagai ilmu pengetahuan, di samping untuk mendialogkan al-Qur’an dengan perkembangan zaman. Apa benar ajaran Islam itu relevan di setiap ruang dan waktu.

Kedua, kemunculan tafsir ilmi dalam khazanah kesarjanaan muslim awalnya merupakan sebuah hal yang wajar, sebagai ijtihad para ulama awal untuk memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an. Pada masa-masa berikutnya, kemunculan tafsir ilmi adalah untuk merekonsiliasi berbagai ilmu pengetahuan asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan sekaligus mencari legitimasi temuan-temuan ilmiah dari internal umat Islam sendiri. Masa-masa Dinasti Abbasiyah mewakili kecendrungan ini. Pada masa berikutnya, tafsir ilmi digunakan untuk merespon perkembangan dunia Barat dalam berbagai aspek. Sementara umat Islam di sisi lain, mengalami kemunduran hampir di segala aspek dan kalah di berbagai lini kehidupan.

Di samping hal itu, keberadaan tafsir ilmi juga diniatkan untuk menghindarkan konflik antara ajaran agama dengan temuan ilmiah, yang di belahan Eropa banyak menumpahkan darah para ilmuan. Temuan dan produk limuan yang bertolak dengan doktrin gereja ditolak, dan bahkan ilmuannya dijatuhi hukuman gantung atau dipancung. Untuk menghindari hal ini, para ulama Islam berupaya mencari jalan tengah di anatra kedua kutub agama dan sains. Salah satu caranya dengan merintis tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.

Ketiga, setidaknya terdapat tiga pendapat di seputar penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an. Kelompok yang mendukung penerapan tafsir ilmi beralasan, bahwa al-Qur’an mengandung berbagai aspek yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, eksistensi tafsir ilmi sesungguhnya diakui oleh al-Qur’an sendiri. Kelompok ini dimotori oleh Imam Al-Ghazali. Kelompok yang menolak melihat, di samping terkesan apologis, alasan-alasan yang dikemukakan kelompok pertama juga terkesan mencocok-cocokkan ayat al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Bahkan, dalam banyak kasus, kelompok yang diprakarsai oleh Al-Syatibi ini melihat penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an terkesan dipaksakan.

Sedangkan kelompok ketiga mencoba mencari jalan tengah di antara dua kutub ekstrem tersebut. Kelahiran tafsir ilmi—terlepas dari apapun namanya—merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Dalam operasionalnya, di samping hanya menggunakan teori-teori ilmiah yang telah mapan, seorang mufasir mesti menguasai kaidah-kaidah kebahasaan dan memahami korelasi antar ayat (munasabat al-ayat) ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengandung sains atau isyarat-isyarat ilmiah.


Bahan Pertimbangan

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1989. Ihya ‘Ulummuddin. Kuwait: Maktabah Al-Manar
-------------------------------------------. 1982. Samudera al-Qur’an, terj. Syaifullah Mahyuddin. Jakarta: Rajawali Pers
Al-Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdiyin. Yogyakarta: Adab Press
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid. Bangil: Al-Izzah
Anwar, Rosihon. 2007. “Reformasi Paradigma Tafsir al-Qur’an dalam Era Postmodern”, Risalah, No. 2, Thn. XXXV/April
Bagir, Zainal Abidin. “Pluralisme Pemaknaan dalam Sains: Beberapa Catatan Perkembangan Mutakhir Wacana Sains dan Agama”, dalam Relief, Nomor I, Tahun 2003.
Barbour, Ian G. 2003. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad. Bandung: Mizan Pustaka
Departemen Agama RI. 1427 H. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Kudus: Menara Kudus
Haught, John F. 2004. Perjumpaan Sains dan Agama dari Konflik ke Dialog, Fransiskus Borgias. Bandung: Mizan Pustaka
Ichwan, Mohammad Nor. 2004. Tafsir Ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta: Menara Kudus
Keraf, A Sonny dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, cet. ke-4. Yogyakarta: Kanisius
Leahy, Louis. 1997. “Sains dan Agama: Suatu Dialog yang Baru Menurut John Polkinghorne”, dalam Louis Leahy (ed.), Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini. Yogyakarta: Kanisius
Rahman, Fazlur. 1995. Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka
Rosadisastra, Andi. 2007. Metode Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah
Ruskanda, S. Farid. “Tafsir Ilmiah dan Peranannya dalam Pendidikan Sains”, dalam http/www.iainsu.a.id/artikel/tafsir.htm, diakses tanggal 31 Desember 2008
Shahrur, Muhammad. 1990. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, cet. ke-2. Damaskus: al-Ahalli li a-Thaba’at wa al-Nasr wa al-Tawzi’
Shihab, Muhammad Quraish. 1992. “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyrakat. Bandung: Mizan Pustaka
Shihab, Umar. 2005. Kontekstualisasi al-Qur’an: Kajian Tematik terhadap Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Permadani
Jansen, J.J.G. 1997. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Sabtu, 10 Januari 2009

Kampus Basis Kreatif Berkesusastraan!

Oleh Abdul Wachid B.S.


Kampus dijadikan basis kreatif berkesusastraan oleh para sastrawan di Indonesia sudah sejak lama berlangsung. Hal ini sebab sastrawan dan karya sastranya merupakan produk budaya yang memiliki kepekaan terhadap realitas sosial di sekelilingnya dan mustahil terwujud tanpa dikerjakan oleh kaum intelektual.

Sementara itu, kaum intelektual pada umumnya berbasis di kampus. Apalagi jika kesadaran berkesusastraan diposisikan sejajar dengan kesadaran berilmu pengetahuan sebab karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kesadaran lain, berfilsafat, berperasaan keagamaan, bahkan beragama secara formal. Di situlah berkesusastraan memiliki relasi dengan ekspresi terhadap unsur kebudayaan lain yang dilakukan oleh kaum intelektual, seperti berideologi, berpolitik, berekonomi, bersosial, dan lainnya.Oleh karena itu, berkesusastraan ditempatkan sebagai bagian penting dari berekspresi kebudayaan. Di sinilah kampus menjadi kawah candradimuka bagi kaum kreator dalam berbagai bidang, tak terkecuali kesusastraan.

Hal di atas sebab apa? Menurut Sutan Sjahrir, apa yang disebut sebagai kaum intelektual tidak lain dan tidak bukan ialah mereka yang memiliki perhatian besar terhadap hal ikhwal kebudayaan. M. Dawam Raharjo dalam bukunya, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa (1996) juga membedakan antara intelektual dan inteligensia. Orang pandai di kalangan perguruan tinggi, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya belum mampu memberi pencerahan terhadap masyarakatnya, termasuk sekadar sebagai kaum inteligensia.

Sementara itu, mereka yang mampu melakukan pencerahan dengan keilmuannya untuk masyarakatnya, itulah kaum intelektual. Jadi, kaum intelektual, dengan meminjam istilah Kuntowijoyo, memiliki peran ”kenabian”, yaitu mampu dan mau menyebarkan ilmu walaupun hanya satu ayat. Di situlah kaum intelektual melakukan keterlibatan (emansipasi) terhadap fenomena sosial sekaligus mampu menghubungkan antara yang bumi dan yang langit secara terus-menerus (transendensi), sebab dengan begitu, akan terjadilah pembebasan dari sekadar pemberhalaan duniawi (liberasi).

Kampus memang kawah candradimuka. Oleh sebab itu, ia tak pernah sepi dari deru kreativitas siapa pun di dalamnya yang ingin mencari kesejatian diri. Ada seminar, diskusi, dialog, atau sekadar monolog sunyi di perpustakaan. Kampus bukanlah kuburan, tempat segala kehidupan berhenti hanya pada angka atau huruf nilai bagaikan nisan. Peran kampus semestinya memiliki perluasan dari peran masjid, yaitu tempat untuk melakukan hubungan sosial antarmanusia (kesalehan sosial), yang hal itu sekaligus melaksanakan nilai-nilai dalam hubungannya dengan Tuhan (kesalehan ritual).
Kita bisa melihat fenomena itu dalam hal proses kreatif kesusastraan, sebagaimana di beberapa kampus di Yogyakarta.

Di Universitas Gadjah Mada, banyak bertumbuhan forum diskusi seperti jamur di musim penghujan. Misalnya, Forum Pencinta Sastra Bulaksumur di Fakultas Budaya, yang membidani novelis Ngarto Februana dan cerpenis Kiswondo. Juga, Jama’ah Shalahuddin, dari segi kesusastraan membidani novelis-cerpenis R. Toto Sugiharto, kritikus sastra Aprinus Salam, dan banyak lainnya.

Forum di Universitas Sanata Dharma membidani sastrawan sekaligus kritikus Dorothea Rosa Herliany dan Joko Pinurbo. Universitas Sarjanawiyata, melalui Kelompok Studi Sastra Pendopo, melahirkan sastrawan-esais Indra Tranggono, jurnalis Jayadi K. Kastari, dan banyak lainnya.

Universitas Negeri Yogyakarta, melalui UNSTRAD melahirkan budayawan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, sastrawan-jurnalis Ahmadun Y. Herfanda, penyair-cerpenis Endang Susanti Rustamadji, sampai generasi termuda seperti penyair-cerpenis Hasta Indriyana.

Apalagi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, melalui Studi Apresiasi Sastra (SAS) dan Teater Eska, banyak melahirkan sastrawan seperti Ahmad Syubbanuddin Alwy, Hamdy Salad, Abidah el-Khalieqy, Ulfatin Ch., Mathori A. Elwa, Otto Soekatno Cr., Kuswaedi Syafi’ie, Edi A.H. Eyubenu, Zaenal Arifin Thoha, dan lainnya.

Tentu saja, kita bisa memperpanjang contoh tersebut. Namun, yang lebih penting bahwa kampus dalam konstelasi berkebudayaan di situ menjadi benar-benar hidup. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Hidupnya kampus disebabkan oleh tegur-sapa budaya yang mempersepsi dan memosisikan kampus sebagai pilar penyangga nalar ilmiah dan perilaku demokrasi secara terus-menerus. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ada sinergisitas yang saling memerlukan sebagai sarana berekspresi antara administrator-birokrat kampus, dosen, dan mahasiswa. Dengan begitu, kampus dijadikan tempat untuk berekspresi secara total dari setiap sisi kebudayaan, kampus menjadi miniatur berkebudayaan.

Saya mengamati, memang banyak Unit Kegiatan Mahasiswa yang terus dihidupi di dalam kampus itu, namun seberapa jauh wacana yang dilontarkan darinya bisa menjadi suatu wacana yang meng-Indonesia? Tentu hal ini memerlukan proses. Kesadaran serupa tentu tidak dapat melepas kaitannya dengan hidupnya civil society, yang ditopang oleh pilar utamanya yakni pers, demokratisasi, dan masyarakat egaliter yang senang belajar. Sekalipun kita akan selalu berdalih dengan jawaban ”proses” itu, namun hal ini wajib dimulai dengan langkah pertama untuk sampai kepada tujuan, sembari terus-menerus berproses ”menjadi” itu. Tidak perlu kita saling melemahkan untuk merealisasikan kerja kebudayaan ini, yang penting selalu memperbaiki niatan, dan memulai dengan langkah pertama. Bismillaah.

*Penulis adalah sastrawan, dan dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.