Jumat, 20 Februari 2009

Ultah Melayu Online

Kata orang bijak, kebenaran pengalaman posisinya di atas kebenaran rasionalitas. Lahir dan populernya ungkapan “pengalaman adalah guru yang terbaik” menjadi bukti bahwa pengalaman itu sangat penting dan strategis posisinya dalam menjalani kehidupan. Sebab, apa yang dikonstruks oleh pikiran belum tentu sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Pengalaman yang dimaksudkan di sini, di samping ekuivalen dengan profesionalisme, juga berbanding lurus dengan adanya hasrat, niat, keinginan, dan tekad untuk senantiasa belajar dan memperbaiki diri.

Oleh sebab itu, kategori-kategori yang telah dipancangkan dan klasifikasi-klasifikasi yang disematkan pada person, golongan, kelompok, budaya, dan lain sebagainya, senantiasa mengalami perubahan dan pasang surut mengikuti perkembangan zaman. Dengan sendirinya, cara pandang, cara berpikir, asumsi yang dibangun, dan bahkan hasil dari apa yang telah dikerjakan selama ini, semestinya juga dibaca dalam proses ini.

Pangeran Diponegoro, misalnya, di mata orang Indonesia digadang-gadang sebagai pahlawan, sedangkan dalam pandangan penjajah Belanda ia dicap sebagai pemberontak. Itu baru dari dua perspektif. Belum lagi Pangeran Diponegoro kita baca dari perspektif dan kaca mata yang lain.

Orang bijak lain juga mengingatkan kita, “Bacalah pemikiran filosofmu secara terbalik, niscaya akan kamu temukan ihwal yang ganjil darinya”. Petuah ini mengajak dan sekaligus mengingatkan kita untuk selalu awas, kritis, dan hati-hati ketika menilai seseorang, kelompok, lembaga, dan yang lainnya. Bahkan pada seseorang yang telah kenal sekalipun. Sebab, kegetiran seringkali bersembunyi di balik topeng fairplay, kepiluan acapkali membonceng pada “ideologi” demi kebaikan bersama, dan manusia seringkali dikorbankan demi menjaga kesucian agama atau adat tertentu.

Apa yang telah dilakukan oleh Melayu Online selama ini merupakan kerja-kerja kultural dan sumbangsih intelektual yang tak terhingga nilainya. Meski baru menginjak tahun kedua, Melayu Online telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi peradaban. Dibaca dan diaksesnya Melayu Online oleh berbagai kalangan dan dari berbagai belahan dunia, bahkan oleh masyarakat yang asal negaranya sangat asing dan tidak begitu terlihat dalam peta, membuktikan bahwa Melayu Online telah mendunia dan milik siapa saja. Dengan sendirinya, pribadi-pribadi yang terlibat dan intens di dalamnya merupakan pribadi-pribadi yang telah mendedikasikan dirinya untuk tamadun dunia Melayu dan ilmu pengetahun pada umumnya.

Semoga ke depannya, Melayu Online tetap konsisten dengan visi dan misi awalnya sebagai pangkalan data terbesar tentang dunia Melayu di jagat dunia maya. Tentu saja diiringi dengan kerja-kerja yang berpegang pada “kebenaran pengalaman” dan bisa membaca “ihwal yang ganjil” dari sebuah pemikiran dan gerak zaman yang susah ditebak tapal perhentiannya.

Selamat Ulang Tahun Ke-2 Melayu Online.
Semoga tetap jaya di dunia tak berbatas...


Yusriandi Pagarah
Redaktur Sastra

Rabu, 18 Februari 2009

Saya, Tanjung Bonai Aur, dan Kabupaten Sijunjung…

Tanpa terasa, pada hari Rabu, 18 Februari 2009 ini, Kabupaten Sijunjung akan merayakan hari jadinya yang ke-60. Jelas bukan usia yang muda, untuk tidak menyebutnya sudah renta, bila dibandingkan dengan usia rata-rata manusia hidup di atas dunia.

Setiap kali memperingati Hari Jadi Kabupaten Sijunjung, tentu tidak akan lupa menyebut sebuah nagari tempat dicetuskannya pendirian Kabupaten Sijunjung, yaitu Nagari Tanjung Bonai Aur. Secara administratif, Nagari Tanjung Bonai Aur masuk dalam wilayah Kecamatan Sumpur Kudus, salah satu kecamatan penghasil “para profesor” di kabupaten yang terkenal dengan Ranah Lansek Manih ini, dan barangkali juga di Provinsi Sumatera Barat.

Saya yakin, dan barangkali Anda juga sependapat dengan saya, para pendiri kabupaten ini tentu punya alasan tersendiri mengapa nagari tersebut dipilih sebagai tempat mufakat mendirikan kabupaten baru. Pertanyaan lain yang dapat diapungkan di sini adalah mengapa kabupaten yang pernah menyandang kabupaten terluas ketiga di Sumatera Barat ini lahir dari nagari yang nyaris tak terlihat dalam peta, dan bahkan secara geografis pun berada jauh dari ibukota kabupaten, Muaro Sijunjung. Saya, dan juga Anda, tentu punya alasan sendiri-sendiri, baik berdasarkan fakta dan data di lapangan maupun berlandaskan pada pikiran yang sifatnya spekulatif belaka. Tapi itu tidak jadi soal.

Sebagai manusia yang lahir, menghabiskan masa kecil, dan bahkan sampai sekarang, meski jarang pulang dari tanah perantauan, saya masih merasa bagian dari nagari tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung ini. Perasaan tersebut lahir bukan karena leluhur saya berasal dari nagari tersebut, atau karena keluarga besar saya masih menetap di sana. Bukan. Sebab identitas bagi saya, bukan soal asal-usul leluhur, silsilah keluarga, ataupun tempat berkubur yang diinginkan bila kelak dipanggil menghadap Sang Pencipta. Dan, saya rasa, identitas yang sifatnya primordial tanpa topangan rasionalitas kosmopolit tidak akan menghasilkan apa-apa, selain kenangan yang nostalgila atau kebanggaan yang semu.

0000
Ketika duduk di Sekolah Dasar (SD), upacara bendera—untuk memperingati hari apapun—adalah momen-momen yang selalu saya nantikan. Upacara yang paling saya sukai adalah upacara 17 Agustus dan upacara hari jadi Kabupaten Sijunjung. Untuk memperingati dua momen ini, nagari tempat saya lahir itu terlihat agak berbeda dari hari-hari lainnya, untuk tidak menyebutnya terlihat sedikit lebih rancak. Apalagi bendera merah-putih meliuk-liuk ditiup angin dari pepokok karet yang berdaun rimbun.

Pada upacara 17 Agustus, Mak akan membekali saya dengan nasi bungkus dari daun pisang dan air dalam plastik ukuran seperempat, dan tentu saja uang jajan yang lebih banyak dari hari-hari biasanya. Betapa riangnya, serasa gagahnya diri ini, menghadiri upacara bendera memperingati hari proklamasi Republik Indonesia tersebut, meski pun kerap kali harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 2 jam menuju lokasi upacara yang berada di Koto Kumanis itu. Bagi saya, Koto Kumanis waktu itu adalah tempat yang wah, apalagi sebelum sampai ke lokasi tersebut akan melewati Kumanis, ibu kota Kecamatan Sumpur Kudus. Di Kumanis, terdapat pasar, rumah sakit, kantor camat, kantor Kapolsek, kantor Koramil, dan lain sebagainya. Dan tentu juga melihat Batang Sinamar yang membelah nagari saya dengan nagari ibu kota kecamatan itu. Konon, air sungai ini melewati tiga kabupaten, yaitu Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Sijunjung.

Kegembiraan saya kian menjadi-jadi ketika memasuki bulan Februari. Sebab, di bulan ini akan dihelat sebuah acara yang untuk ukuran nagari dan usia saya waktu itu, terbilang semarak dan besar. Pasalnya, upacara akan dipusatkan di Lapangan Tugu Koto Gadang, daerah paling timur di nagari saya. Untuk diketahui bapak saya, Muhammad Tahir Datuk Paduko Sinaro yang bersuku Chaniago, berasal dari Koto Gadang. Dan, di atas segalanya, rumah keluarga besar bapak saya berada di dekat Lapangan Tugu itu.

Dengan demikian, setiap memperingati hari jadi Kabupaten Sijunjung, saya tidak perlu merisaukan uang jajan dan soal makan. Karena, bila lapar mendera, saya tinggal pilih mau makan di mana di antara deretan rumah bako saya itu. Keluarga dari pihak bapak juga akan memberi saya uang jajan, terutama Nenek, Mak Wo (kakak dari bapak), Pak Etek (suami dari adik bapak), dan yang lainnya. Bahkan, uang yang didapat lebih banyak dari yang diberi Bapak dan Mak setiap hari Selasa, hari pasar di kampung saya.

0000
Selepas SD, saya meninggalkan Tanjung Bonai Aur, nagari tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung itu. Masa-masa remaja lebih banyak saya habiskan di Kabupaten Tanah Datar, tempat saya melanjutkan pendidikan tingkat pertama dan menengah atas. Masa-masa saya mencari jati diri yang kelak berpengaruh pada jalan dan pilihan hidup saya. Dengan begitu, kian jauh saja ikatan batin saya dengan Kabupaten Sijunjung dan serasa asing berada di kampung sendiri. Sejujurnya, saya tidak begitu kenal dengan berbagai tempat di kabupaten yang tertera di KTP saya tersebut. Apalagi dengan para pejabat dan tokoh berpengaruh di jajaran birokrasinya.

Barangkali karena itulah, ketika meminta surat keterangan kurang mampu, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan beasiswa di jenjang sekolah menengah atas dulu, saya tidak mendapatnya. Saya masih ingat, bagaimana saya harus bolak-balik dari kantor kepala desa—waktu itu masih berstatus desa—yang sering terkunci, menuju rumah sekretaris desa—kira-kira 500 meter di sebelah timur Simpang Ampek—katakanlah ibu kota Nagari Tanjung Bonai Aur. Dari rumah sekretaris desa, saya disuruh dulu menemui kepala desa di rumahnya, di daerah Koto Baru. Hanya untuk mendapatkan surat keterangan kere, saya harus hilir-mudik di nagari selama tiga hari.

Tapi untung tidak dapat diraih dan malang tidak dapat ditolak, apa yang saya cari tak juga saya dapatkan. Akhirnya, saya adalah satu-satunya yang tidak mengantongi “surat keterangan kere” dari sekian banyak penerima beasiswa. Tapi saya tetap bangga, karena di antara sekian penerima beasiswa, yang terkadang putri tunggal seorang kepala dinas di Kota Batusangkar, anak pengusaha sukses di Bandar Lampung, dan putra pedagang kelontong ternama dari Lintau, hanya saya yang mendapat beasiswa tanpa melampirkan “surat keterangan kere” dari tanah kelahiran saya.

Barangkali dalam konteks ini juga, ketika beberapa waktu saya mengajukan proposal beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pascasajana ke Bupati Kabupaten Sijunjung, permohonan saya dianulir. Sejujurnya, sedari awal saya tidak begitu yakin akan mendapatkan bantuan dari kabupaten yang tertera di KTP saya itu. Kata pepatah Cina, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menghidupkan pelita kecil.

Waktu itu, saya berbaik sangka saja. Pikir saya, siapa tahu akhir ceritanya tidak seperti skenario yang telah mengecambah di otak saya. Apalagi saya diterima S2 di dua perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Lagipula, saya juga menggunakan jasa “orang dalam” lingkaran elite kekuasaan di kabupaten ini, yaitu Ketua DPRD yang kebetulan teman masa kecil bapak saya dan berasal dari nagari tempat lahirnya kabupaten yang memiliki motto “Kota Pertemuan” ini. Setelah lama menunggu, saya sudah dapat menebak ending-nya. Tapi tak apa. Toh, saya terhibur dengan sebuah kata bijak, yang entah dari mana saya kutip: Tidak semua tanya perlu dijawab, tidak segala pantun mesti berbalas...

0000
Sejujurnya, di lubuk hati yang paling dalam, saya masih tetap memimpikan nagari tempat saya lahir dan juga kabupaten yang tertera di KTP saya, suatu saat nanti, entah itu kapan, menjadi nagari dan kabupaten yang maju dan mampu mensejahterahkan masyarakatnya. Dan, lebih dari itu, saya tetap bangga menjadi bagian dari nagari dan kabupaten yang berulangtahun sama dengan bulan kelahiran saya ini.

Lebaran kemaren, adalah pulang kampung saya yang terdekat, setelah empat kali puasa dan empat kali lebaran tidak mudik. Meski tidak terlalu lama di kampung halaman, saya merasa sebagian dari mimpi-mimpi masa kecil dan igauan masa puber saya, perlahan tapi pasti, telah terealisir. Pada pagi hari, terlihat anak sekolah berpakaian putih-abu-abu dan putih-biru meramaikan suasana pagi. Kalau mau, mereka tidak harus pulang sekali seminggu, atau menempuh jarak sekian kilometer, untuk memperoleh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, seperti mereka yang segenerasi dengan saya. Karena, di kampung saya, tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung itu, telah didirikan SMU dan MTs. Sekarang, di kampung saya itu juga terdapat pasar nagari setiap hari Sabtu.

Para pemuda yang melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi pun kian banyak. Rantau mereka pun tidak lagi menyadap karet ke Payakumbuh atau buruh sawit ke Jambi, tapi juga ada yang membuka photo copy, pedagang kelontong, dan warung makan di Jawa. Bahkan satu dua juga telah mampu menembus "brigadir" PNS, sebagai guru, polisi, atau tentara.

Mata saya pun berkaca-kaca, ketika membaca berita dari media online bahwa Wali Nagari Tanjung Bonai Aur terpilih mewakili Kabupaten Sijunjung dalam pemilihan kompetensi wali nagari tingkat Sumatera Barat. Baru-baru ini, Kelompok Tani Patarus (Padang Tarang Aur Serumpun) dari nagari ini juga dinobatkan sebagai peraih kedua Ketahanan Pangan Tingkat Nasional.

Demikian juga, apalagi bila kita jujur pada sejarah, sesungguhnya jejak Istana Pagaruyung yang beberapa waktu lalu terbakar itu, juga ditemukan di nagari ini. Salah satu rujukannya dapat dibaca dalam otobiografi Bapak Ahmad Syafii Maarif yang inspiratif, Titik-Titik Kisar Di Perjalananku. Bukti-buktinya pun dapat kita lihat di nagari tersebut. Tapi, hal ini tidak pernah disinggung dalam buku-buku sejarah, baik dalam konteks sejarah lokal Sumatera Barat maupun dalam konteks sejarah nasional Indonesia.

0000
Seperti yang telah disinggung di depan, Nagari Tanjung Bonai Aur adalah tempat lahirnya Kabupaten Sijunjung. Pemilihan nagari tersebut tentu punya alasan. Sebagiannya telah dicoba jawab, meskipun serba sekilas-sepintas dan tak memuaskan. Bila pemerintah kabupaten ini dapat sedikit berbaik hati, dari nagari ini kelak—dan tentu juga dari nagari-nagari lainnya di kabupaten tersebut—akan lahir ide-ide dan prestasi-prestasi yang akan mengharumkan nama Kabupaten Sijunjung di ajang yang lebih prestise lagi.

Dan, saya, barangkali juga Anda, tentu mulai menemukan titik terang: Mengapa nagari ini, yang terletak berpuluh kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten, dipilih sebagai tempat pendeklarasian Hari Jadi Kabupaten Sijunjung?

Selamat Ulang Tahun Ke-60 Kabupaten Sijunjung
Semoga benar-benar bisa menjadi “Kota Pertemuan”
Amin…


Yogyakarta, Detik-Detik Jelang Hari Jadi Kabupaten Sijunjung



Yusriandi Pagarah