Minggu, 19 Juli 2009

Pemikiran Hadis Ibn Abi Hatim Al-Razy

Yusriandi

A. Pendahuluan

Secara kasat mata, aktivitas kritik Hadis senantiasa diarahkan kepada kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad diarahkan pada penilaian kualitas para perawi dan metode yang digunakannya. Kritik sanad bertujuan untuk melihat apakah kredibilitas para perawi diakui dan apakah instrumen penerimaan dan pemberian Hadis menunjukan otentisitas Hadis Nabi.
Disebabkan kritik sanad bertujuan memberikan penilaian terhadap kualitas para perawi, maka diperlukan seperangkat aturan dan kaidah dalam menilai kualitas para perawi. Dalam terminologi ilmu Hadis, hal-ihwal yang berkaitan dengan aktivitas memberi penilaian terhadap perawi ataupun melakukan kritik sanad populer dengan sebutan ilmu al-jar wa ta'dil.
Muhammad 'Ajjaj Al-Khatib, sebagai misal, mendefinisikan ilmu al-jar wa takdil sebagai ilmu yang membahas para perawi dari segi diterima atau tidaknya periwayatan para erawi tersebut. Membicarakan ilmu al-jarh wa takdil tentu tidak luput dari membicarakan sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi. Karena Ibn Abi Hatim, menurut penilaian ulama, dikenal sebagai salah seorang yang peletak dasar bagi disiplin keilmuan yang berkaitan dengan diri para perawi tersebut.
Makalah ini mencoba membahas sekilas tentang pemikiran Hadis Ibn Abi Hatim Al-Razi. Mengikuti pendapat Ali Syariati, sebagaimana yang dikutip Mukti Ali, untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang seorang tokoh, hal yang tidak boleh luput dari sorotan adalah membaca pikiran-pikiran sang tokoh berupa karya-karyanya atau karya-karya orang lain tentangnya dan meneliti biografi sang tokoh. Tak terkecuali sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi.

B. Biografi Ibn Abi Hatim Al-Razi

Ibn Abi Hatim memiliki nama lengkap 'Abdurrahman ibn Muhammad ibn Idris ibn Al-Munzir ibn Daud ibn Mihran Abu Muhammad ibn Abi Hatim Al-Hanzaly Al-Razi. Sedangkan menurut Eerick Dickinson, dengan mengikuti pendapat Abu Nu'aym, nama lengkap Ibn Hatim adalah Abu Muhammad 'Abdurrahman ibn Abi Hatim al-Razi.
Ibn Hatim lahir di Darb Hanzalah, Rayy, pada tahun 240 H/854 M. Rayy adalah sebuah kota tua yang letaknya berdekatan dengan Tehran. Kota Rayy, sebagaimana wilayah barat dunia Islam pada umumnya, penuh dengan intrik dan konflik politik. Persaingan antar kelompok dan antar aliran keagamaan sangat kentara terlihat. Pertikaian-pertikaian baru berakhir di Rayy dengan ditaklukannya kota tersebut oleh bala tentara Mongol pada abad ke-7 H/13 M.
Pada waktu Ibn Abi Hatim lahir, di Kota Rayy terjadi persaingan antara penduduk Hijaz dengan penduduk Kufah. Persaingan ini sejatinya mewakili pergolakan dua kutub pemikiran antara ahl hadits di satu sisi dengan ahl ra'yi di sisi yang satunya lagi. Kendati demikian, pemikiran ahl ra'yi lebih dominan dibandingkan dengan ahl hadits. Bahkan Abu Zur'ah, salah seorang ulama terkemuka pada saat itu dan juga guru Ibn Abi Hatim, pada awalnya termasuk pada kelompok ahl ra'yi. Namun, di akhir-akhir hayatnya Abu Zur'ah berbalik arah memihak dan menganut pemikiran ahl hadits. Akibatnya, Abu Zur'ah mendapat stigma negatif, dikucilkan, dipenjarakan, dan dipukuli karena dianggap berseberangan dengan pendapat mayoritas dan dituduh berkhinat terhadap kaumnya.
Ayah Ibn Abi Hatim Al-Razi, Abu Hatim Al-Razy, dikenal tegas mendidik anaknya, termasuk mendidik Ibn Abi Hatim. Abu Hatim melarang anaknya mempelajari Hadis sebelum memiliki pemahaman yang mendalam mengenai al-Qur'an. Dalam mengkaji al-Qur'an, Ibn Abi Hatim dibimbing oleh Al-Fadl ibn Syazan Al-Razi, seorang ulama yang menganut paham As'ariyah dalam bidang teologi dan sekaligus pentranmisi Hadis Syiah. Selain belajar al-Qur'an, dari tokoh ini Ibn Abi Hatim juga mempelajari Hadis.
Setelah kajian tentang al-Qur'an dirasa memadai, Ibn Abi Hatim mulai mengumpulkan Hadis dari para pentransmisi Hadis yang tinggal di Rayy dan ulama-ulama yang kebetulan singgah di Rayy. Pada saat itu, Rayy dikenal sebagai pusat kesarjanaan Hadis. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya tokoh-tokoh Hadis terkemuka di kota tersebut, seperti Abu Hatim Al-Razi, Abu Zur'ah, dan Ibn Warah. Selain itu, Kota Rayy juga menjadi salah satu kota tujuan para pelajar menuntut ilmu, terutama dalam bidang hadis.
Perihal perjalanan ilmiah Ibn Abi Hatim mencari dan mempelajari Hadis amatlah lama dan melintasi berbagai daerah di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya. Perjalanan ilmiah pertamanya dimulai pada tahun 255 H/858 M, ketika usia Ibn Abi Hatim baru menginjak 15 tahun. Perjalanan pertama ini dilakukan bersama ayahnya Setelah menunaikan ibadah haji, Ibn Abi Hatim bersama ayahnya mengunjungi Kota Bagdad, Samara, Damaskus, Wasith, dan Kufah untuk mengumpulkan Hadis dan berguru pada ulama-ulama Hadis yang berhasil mereka temui di kota-kota tersebut.
Di Bagdad, sebagai misal, Ibn Abi Hatim berserta ayahnya bertemu dengan Abdullah (213-290 H/828-903 M), salah seorang dari putra Ahmad ibn Hanbal yang memiliki peran dalam mempertahankan dan mensosialisasikan ajaran dan pemikiran ayahnya. Ibn Abi Hatim belajar tentang opini-opini Ahmad ibn Hanbal perihal 'ilal hadis dan jawaban-jawaban Ahmad ibn Hanbal perihal berbagai persoalan keagamaan. Selain itu, di kota "seribu satu malam" ini, Ibn Abi Hatim dan ayahnya juga berguru kepada Abbas ibn Muhammad Al-Duri (200-271 H/816-884 M) dan 'Ustman ibn Sa'id Al-Darimi (200-282 H/816-895 M), dimana keduanya adalah murid dari ulama hadis terkemuka di Bagdad, yaitu Yahya ibn Ma'in. Murid Yahya ibn Ma'in yang disebut terakhir dikenal sebagai salah seorang tokoh di Bagdad yang amat gencar menyerang paham Muktazilah. Setelah itu, Ibn Abi Hatim dan ayahnya kembali ke Rayy dan berguru kepada ulama yang ada di kota kelahirannya tersebut.
Pada tahun 262 H/875 M, Ibn Abi Hatim melakukan perjalanan ilmiah lagi. Perjalanan kedua ini dilakukannya tanpa ditemani sang ayah karena ia telah sewasa dan telah memiliki pengetahuan di bidang keagamaan, termasuk Hadis. Tujuannya adalah mengunjungi Mesir dan Syria. Di Mesir ia mengunjungi beberapa ulama terkemuka di Fustal dan Aleksandria. Salah seorang ulama yang didatangi Ibn Abi Hatim adalah Al-Rabi' ibn Sulaiman, salah seorang ulama garda depan yang bermastautin di Fustal dan penyebar pandangan-pandangan Imam Syafii. Guru Ibn Abi Hatim yang bernama Abu Zur'ah juga pernah belajar kepada Al-Rabi' ibn Sulaiman untuk menyalin karya-karya Imam Syafii yang dimiliki Al-Rabi'.
Selain Al-Rabi', di Mesir Ibn Abi Hatim juga berguru kepada dua orang kakak beradik, yaitu ahli fikih Muhammad ibn Abdullah ibn Al-Hakam dan sejarawan Abdurrahman ibn Abdullah ibn Al-Hakam. Keduanya adalah putra yuris Islam terkemuka di Mesir, yaitu Abdullah ibn Al-Hakam (155-214 H/772-829 M). Kemudian, Ibn Abi Hatim melanjutkan perjalanan ke Beirut dan mengambil jalan melingkar melalui Bagdad untuk menuju kota kelahirannya, Rayy.
Perjalanan ilmiah terakhir Ibn Abi Hatim dilakukannya pada tahun 264 H/877 M. Kali ini yang menjadi tujuannya adalah Kota Isfahan. Di kota ini, Ibn Abi Hatim mengunjungi Salih, salah seorang dari putra Ahmad ibn Hanbal yang menjadi qadi di Isfahan. Laiknya anak Ahmad ibn Hanbal lainnya, yaitu Abdullah yang ditemuinya ketika melakukan perjalanan ilmiah yang pertama bersama ayahnya ke Bagdad, Salih juga berperan penting dalam mewarisi ajaran-ajaran dan menyebarkan secara luas pandangan-pandangan keagamaan ayahnya, Ahmad ibn Hanbal. Dari Salih, Ibn Abi Hatim belajar dan beroleh tentang pandangan-pandangan kritik Ibn Al-Madini. Yunus ibn Hahbib Al-Isfahani dan Usayd ibn 'Ashim adalah di antara ulama lain yang dikunjungi Ibn Abi Hatim di Isfahan. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Ibn Abi Hatim kembali ke Rayy dan di sana hingga wafatnya pada bulan Muharam tahun 327 H/938 M.

C. Karya-karya Ibn Abi Hatim

Sebagai salah seorang ulama terkemuka di bidang Hadis dan pandangan-pandangannya sangat berpengaruh hingga saat ini, Ibn Abi Hatim terkenal sebagai salah seorang yang ulama produktif menulis. Mengikuti temuan Eerick Dickinson, karya-karya ulama hadis ini dapat dikatupkan ke dalam tiga kategori. Pertama, karya-karya dalam kritisisme Hadis. Di antara karya Ibn Abi Hatim di bidang ini adalah Bayan Khata' Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari fi Al-Tarikh, 'Ilal Al-Hadits, Kitab Al-Jarh wa al-Ta'dil, dan Taqdimah Al-Makrifah li Kitab Al-Jarh wa Al-Ta'dil.
Kedua, karya-karya yang berkaitan dengan teologi dan persoalan-persoalan keagamaan. Asl Al-Sunnah wa Al-'I'tiqad Al-Din, Fada'il Ahl Al-Bayt, Fawaid Al-Raziyyin, dan Fawaid Al-Kabir adalah di antara karyanya yang termasuk dalam kategori ini. Karya-karya lainnya adalah Al-Musnad, Al-Radd 'ala Al-Jahmiyyah, Kitab Al-Tafsir, Tsawab Al'Amal, dan Zuhd Al-Tsamaniyah min Al-Tabi'in.
Ketiga, karya di bidang biografi dan sejarah. Karya-karya Ibn Abi Hatim dalam kategori ini adalah Adab Al-Syafii wa Manaqibuhu, Kitab Makkah, dan Manaqib Ahmad.
Menurut sejumlah ahli, kitab Al-Jarh wa Al-T'a'dil adalah karya monumental Ibn Abi Hatim. Selain pandangan-pandangannya di bidang Hadis, di dalam kitab yang terdiri dari 4 juz ini juga terdapat sekitar 18050 biografi perawi Hadis. Setiap perawi dan penilaian di atasnya disebutkan berdasarkan sanad yang sahih. Nama perawi ditulis secara alfabetis dan dilengkapi dengan nama ayah dan gelarnya. Seperti tersurat dari nama kitabnya, yang menonjol dari kitab tersebut adalah memberikan penilaian terhadap kualitas para perawinya.
Layaknya sebuah karya, selain banyak mendapat apresiasi, karya Ibn Abi Hatim ini juga mendapat kritik dari para pengamat. Di antaranya yang menjadi sorotan adalah perihal data tentang perawi yang dinilai tidak dilengkapi dengan biografi yang memadai, penisbatan penilaian kepada kritikus sebelumnya, bahkan yang bukan semasa, tanpa menjelaskan rangkaian persambungan periwayatannya, memberikan penilaian tanpa memberikan argumen yang jelas, dan lain sebagainya.


D. Latar Kemunculan Kitab Al-Jarh wa Ta'dil

Ibn Hatim Al-Razi, sang pengarang Kitab Al-Jarh wa Takdil, hidup pada masa Bani Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdullah ibn Abbas Al-Safah ibn Muhmmad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Penamaannya dikaitkan dengan nenek moyang mereka yang bernama Abbas, salah seorang paman Nabi yang sangat peduli dengan Rasulullah Saw. Pemerintahan ini berkuasa dalam rentang waktu yang panjang, yaitu sejak tahun 750-1258 M/132-656 H.
Ibn Hatim Al-Razy hidup pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, ketika dinasti ini berada di bawah dominasi kekuasaan bangsa Turki yang terkenal kejam dan bengis. Pada periode sebelumnya, yakni periode pertama Dinasti Abbasiyah, adalah periode keemasan dinasti yang beribukota di Baghdad tersebut. Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima, dan Al-Makmun, khalifah ketujuh, adalah di antara para penguasa Dinasti Abbasiyah periode pertama. Yang pertama populer sebagai khalifah yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat, seperti membangun rumah sakit, lembaga kedokteran, farmasi, dan kesehatan masyarakat. Sedangkan yang disebut terakhir terkenal sebagai seorang khalifah yang hirau terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya berdiri Baitul Hikmah, tempat para pelajar dan mahasiswa mempelajari berbagai disiplin keilmuan dan para penerjemah memperoleh gaji yang setimpal.
Pada periode ini aliran teologi Muktazilah berkembang dengan begitu suburnya dan bahkan dijadikan mazhab resmi negara. Stabilitas politik yang kondusif dan ditunjang oleh perekonomian yang relatif baik menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apalagi, pada masa tersebut urusan negara lebih ditekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan ketimbang melakukan ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan.
Latar yang seperti itu tidak mengherankan berhasil memunculkan para ulama dan cendekiawan terkemuka dalam berbagai disiplin keilmuan. Dintaranya adalah Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Ahmad ibn Hanbal di bidang hukum, Washil ibn 'Atha', Abu Huzail, Al-Juba'i, Al-'Asyari, dan Al-Maturidi di bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustani, dan Al-Hallaj di bidang tasauf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Miskawaih di bidang filsafat, serta Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i dalam bidang Hadis.
Sementara pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Ibn Hatim Al-Razy hidup, merupakan periode mulai surutnya pamor Dinasti Abbasiyah yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dua yang signifikan di antaranya adalah bentrokan antargolongan mazhab fikih dan mazhab ilmu kalam. Pada masa ini, para ulama Hadis mengalami tantangan yang hebat dari golongan ulama fikih yang fanatik. Selain itu, ulama Hadis juga mendapat serangan dari kaum ilmu kalam, terutama kaum Muktazilah.
Namun, ketika Al-Mutawakil naik tahta, khalifah Dinasti Abbasiyah kesebelas, pamor Muktazilah mulai surut. Sebaliknya, ulama Hadis justeru mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Bahkan belakangan, paham ahli Hadis dijadikan paham resmi negara. Kondisi ini sangat mendukung bagi perkembangan Hadis dan mulai tersebar ke berbagai wilayah. Pada periode kedua ini, yaitu pada masa hidup Ibn Abi Hatim Al-Razy, merupakan periode penyempurnaan dan pemilahan terhjadap persoalan Hadis yang belum tersentuh pada masa sebelumnya, seperti al-jarh wa takdil, persambungan sanad, kritik matan, dan pemisahan antara Hadis Nabi dan fatwa Sahabat. Dengan latar yang demikian, tidak mengherankan bila kemudian Ibn Abi Hatim Al-Razy mencoba menyempurnakan apa yang belum terselesaikan pada masa sebelumnya. Dan, ia bertepatan hati memilih untuk intens dalam bidang al-jarh wa takdil, meskipun ia juga tidak menafikan aspek yang lainnya.

E. Pandangan Hadis Ibn Abi Hatim

Di sini, pandangan Hadis Ibn Abi Hatim, dititikberatkan atas pandangan Hadisnya dan pendapatnya tentang keadilan sahabat. Konsepsinya tentang yang pertama, sedikit banyaknya, berimplikasi pada pandangannya terhadap yang kedua. Dengan lain perkataan, pendapatnya tentang Hadis ikut berpengaruh pada pendapatnya tentang sahabat.
Menurut Ibn Abi Hatim, Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan segala sesuatu yang berasal dari para sahabat. Dengan demikian, bagi Ibn Abi Hatim, ruang lingkup amat luas yang tidak semata-mata bersumber dari Nabi tapi juga yang bersumber dari sahabat Nabi.
Selain itu, sahabat Nabi memperoleh tempat yang istimewa dan karena itu mendapat perhatian khusus dari Ibn Abi Hatim. Bahkan, Ibn Abi Hatim disebut-sebut sebagai orang yang melahirkan konsep kullu al-sahabah 'udul, semua sahabat bersifat adil. Baginya, generasi sahabat Nabi mendapat tempat yang istimewa disebabkan mereka menyaksikan secara langsung pewahyuan al-Qur'an, mengerti tafsir, dan memahami takwilnya. Ibn Abi Hatim menyandarkan pendapatnya ini pada ayat al-Qur'an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 143.
Menurut Ibn Abi Hatim, kata wasatah yang terdapat dalam ayat tersebut telah ditafsirkan Nabi dengan makna adil. Sehingga, menurutnya, ummatan wasatah dapat ditafsirkan sebagai 'udul al-ummah yang berkoreferensi dengan generasi awal umat Islam, yani para sahabat Nabi.
Lebih dari itu, bagi Ibn Abi Hatim, konsep kullu al-sahabah 'udul tidak hanya khusus untuk para sahabat Nabi, tapi juga mencakup generasi setelahnya, yakni para tabi'in. Baginya, generasi tabi'in merupakan generasi yang mulia karena juga mendapat jaminan dari Allah dalam surat At-Taubah ayat 100. Kata wallazinat thaba'u bi ihsanin dalam ayat ini dipahami sebagai generasi tabi'in.

F. Kesimpulan

Bercermin dari biografi dan perjalanan intelektual Ibn Abi Hatim, terlihat bahwa pemikiran Ibn Hatim bukan berasal dari ruang yang hampa, melainkan sangat erat kaitannya dengan pelbagai persoalan politik yang pikuk pada saat itu. Pandangan Ibn Abi Hatim tentang Hadis yang tidak semata-mata segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, tapi juga segala sesuatu yang berasal dari sahabat, sebagai misal, merupakan upaya pembelaan Ibn Abi Hatim terhadap eksistensi Hadis dan keberadaan para sahabat yang dipertanyakan orang pada saat itu.
Perdebatan hebat antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh ahl al-hadits di satu sisi dengan kaum rasionalis yang diwakili oleh ahl al-ra'yi di sisi yang lain juga berpengaruh pada Ibn Abi Hatim. Meskipun terlihat lebih berpihak pada ahl al-hadits, Ibn Abi Hatim berupaya keluar dari dua kutub tersebut, dengan memilih gagasan kritisisme. Salah satu buktinya yang paling otentik, meskipun mendapat sorotan dari berbagai kalangan, adalah karya monumentalnya Kitab Al-Jarh wa Ta'dil.


Bahan Pertimbangan

Ali, A. Mukti, "Metodologi Ilmu Agama Islam", dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogykarta: Tiara Wacana, 1991
Al-Khatib, Muhammad 'Ajjaj. Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah, 1963
--------------------------------------. Ushul Al-Hadis, 'Ulumuhu wa Musthlahuhu. Beirut: Dar Al-Fikr, 1975
Al-Razy, Ibn Abi Hatim. Kitab Jarh wa Ta.dil. Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyah, 1988
Bosworth, C.E. Dinasti-dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993
Dickinson, Eerick. The Development of Early Sunnite Hadith Criticism: The Taqdima Ibn Abi Hatim. Leiden: E.J. Brill, 2001
'Itr, Nuruddin. Al-Madkhal ila 'Ulum Al-Hadis. Madinah: Al-Maktabah Al-'Ilmiyah, 1972
Najwah, Nurun, "Metodologi Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta'dil", Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis, Vol. 1, No. 1, Juli 2000

Pemikiran Al-Ghazali Tentang Al-Qur'an, Tafsir, dan Takwil

Yusriandi

Sungguh aku ingin membangunkan Anda dari tidur Anda. Wahai Anda yang banyak membaca al-Qur'an, serta menyibukkan diri mempelajarinya dan mereguk beberapa makna dan kalimat lahirnya. Berapa lama lagikah Anda akan terus berkeluyuran di pantai sang samudera, sementara mata Anda tertutup dari kehebatan makna al-Qur'an?

A. Pendahuluan

Makalah berikut ini akan mencoba membahas sekilas-sepintas prisma pemikiran Imam Al-Ghazali, sang hujjatul Islam, tentang al-Qur'an, tafsir, dan takwil. Sebagaimana diketahui, Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh terkemuka dunia Islam, dimana gaung dan bahkan pengaruh pemikirannya masih terasa sampai saat ini. Tak terkecuali yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur'an.

B. Mari Berbagi: Biografi Singkat dan Karya Al-Ghazali

Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H. di Tus, sebuah kota kecil di Khurasan. Kala itu, Khurasan merupakan kota kedua di Iran setelah kota Naysaburi. Ayahnya adalah seorang sufi yang shaleh dan berprofesi sebagai pengrajin benang wol. Sebelum meninggal, ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kecil beserta saudaranya, Ahmad, pada seorang sufi supaya kelak dididik dan dibimbing bagaimana caranya menjalani kehidupan yang benar.
Al-Ghazali pertama kali memperoleh pendidikan di kota Tus. Setelah itu, ia pindah ke Jurjan dan kemudian berguru pada Imam Juwaini di Naisafur sampai gurunya tersebut meninggal pada tahun 478 H/1085 M. Sepeninggal Imam Juwaini, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Muluk di kota Mu'askar, Baghdad. Di kota ini, Al-Ghazali tinggal selama enam tahun. Pada tahun 483 H, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizham Al-Muluk. Kecuali mengajar, selama di Baghdad Al-Ghazali mulai aktif melakukan kritik dan bantahan terhadap pemikiran golongan Bathiniah, Ismailiah, filosof, dan lain sebagainya.
Meskipun Al-Ghazali meraih karir cemerlang dan kedudukan terhormat di Baghdad, namun semua itu tidak mampu menutupi kegelisahan hati Al-Ghazali mengenai pekerjaannya tersebut. Oleh sebab itu, pada tahun 484 H, ia memutuskan meninggalkan apa yang telah diraihnya itu dan kemudian pergi ke Damaskus. Di kota ini, ia mulai merenung, membaca, dan menulis dengan berketepatan hati memilih jalan sufi dalam hidupnya. Setelah dua tahun berada di Damaskus, ia kemudian pindah ke Palestina dan melakukan aktivitas merenung, membaca, dan menulis di Masjid Baitul Makdis. Setelah melakukan pengembaraan selama sepuluh tahun, Al-Ghazali kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah. Selepas menunaikan rukun Islam kelima itu, ia pulang ke tanah kelahirannya, Tus.
Pada tahun 499 H, atas desakan pemerintah, Al-Ghazali kembali mengajar di sekolah Nizham Al-Muluk. Namun, pekerjaan tersebut hanya dilakoninya selama dua tahun dan kemudian pulang lagi ke Tus. Di kota kelahirannya ini, Al-Ghazali mendirikan sekolah para yuris Islam (fuqaha') dan sebuah biara untuk kaum sufi. Pada tahun 504 H/1111 M, Al-Ghazali menghembuskan nafas terakhirnya di kota Tus, dalam usia lima puluh empat tahun.
Sang hujjatul Islam ini mewariskan banyak karya yang memaparkan prisma-prisma pemikiran Al-Ghazali yang dapat diakses oleh generasi sekarang. Karya-karya tersebut berupaya memadukan secara baik antara berbagai disiplin keilmuan, seperti fikih, tasauf, filsafat, dan teologi yang banyak dikagumi oleh mereka yang tinggal di belahan dunia barat dan timur. Menurut Dr. Abdurrahman Badawi, karya-karya Al-Ghazali mencapai 457 buah. Ihya' 'Ulumuddin, Al-Arba'in fi Ushuluddin, Tahafut Al-Falasifah, AlMunqid minal Dhalal, dan Al-Mustasyfa adalah di antara karyanya yang populer.

C. Pemikiran Al-Ghazali tentang al-Qur'an

Sebagaimana diketahui, perhatian Al-Ghazali secara intens terhadap studi al-Qur'an dimulai ketika ia telah meninggalkan segala kemewahan yang telah diraihnya di kota Baghdad. Oleh sebab itu, bila ingin menelusuri pemikiran Al-Ghazali tentang al-Qur'an, hal yang pertama kali perlu diperhatikan adalah membaca karya-karyanya pasca uzlahnya. Pandangan Al-Ghazali tentang al-Qur'an terdapat dalam "Kitab Adab Tilawah al-Qur'an" yang dimuat dalam karya magnum opus-nya, Ihya' 'Ulumuddin. Karyanya ini dimaksudkan oleh Al-Ghazali dalam rangka untuk menjaga, melestarikan, dan mengaktualkan al-Qur'an dalam berbagai situasi dan sepanjang zaman.
Pandangan Al-Ghazali tentang al-Qur'an terdapat dalam pengantar Kitab Adabu Tilawah al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an diturunkan tidak sedikit pun mengandung sesuatu yang batil. Al-Qur'an bersumber dari Sang Maha Bijak lagi Terpuji. Oleh sebab itu kebenaran al-Qur'an, seturut Al-Ghazali, adalah kebenaran substansial. Kisah-kisah dalam al-Qur'an merupakan sumber inspirasi bagi para cendekiawan, sementara hukum-hukum atau aturan-aturan yang termuat di dalamnya merupakan kebijakan tertinggi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi tata aturan kehidupan manusia. Karenanya, Al-Ghazali mengibaratkan al-Qur'an sebagai cahaya yang menyinari.
Berdasarkan hal ini, maka bagi Al-Ghazali, al-Qur'an memuat petunjuk bagi umat terdahulu, kini, dan masa mendatang. Pandangan Al-Ghazali mengenai al-Qur'an terangkum dalam ungkapannya, bahwa al-Qur'an laksana samudera luas, dan darinya tumbuh ilmu-ilmu klasik dan ilmu-ilmu modern. Pandangan tersebut kemudian dipertegasnya kembali tatkala membicarakan esensi al-Qur'an.
Menurut Al-Ghazali, Kalam Allah adalah Esa. Keesaan-Nya meliputi semua makna Kalam, sebagaimana ilmu-Nya adalah Esa, meliputi yang terdapat di langit dan di bumi. Bagi Al-Ghazali, esensi al-Qur'an adalah Kalam Allah dan sekaligus Ilmu Allah. Sebagai Kalam Allah, al-Qur'an memuat dan mencakup seluruh makna kalam-Nya. Dikarenakan Kalam Allah juga merupakan Ilmu Allah, maka berarti al-Qur'an, seturut Al-Ghazali, mencakup seluruh Ilmu Allah. Oleh sebab itu, al-Qur'an juga berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Peran al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan, didasarkan pada peran ilmu pengetahuan bagi aktivitas dan kreativitas manusia sebagai potensi kehidupan dan penghidupan. Berdasarkan hal ini, maka nilai kebenaran al-Qur'an yang menjadi sumber segala kebenaran mesti dijaga autentitasnya, sebagaimana yang telah dijamin oleh Allah dalam al-Qur'an. Di samping kajian terhadap al-Qur'an yang ditegakkan di atas etika dan prinsip-prinsipnya, terpeliharanya nilai al-Qur'an menurut Al-Ghazali juga didukung oleh tradisi hapalan, tulisan, dan pembacaan mushaf.
Persfektif Al-Ghazali yang sedemikian rupa kemudian membawa kita tentang pembahasan Al-Ghazali mengenai nilai dan keutamaan al-Qur'an, serta juga para ahlinya, yaitu para penghapal, pembaca, dan penafsir al-Qur'an. Pandangannya tersebut berdasarkan pada beberapa hadis Nabi dan atsar Sahabat. Disebabkan ketinggian dan kekudusan al-Qur'an, di samping juga para ahlinya itu, maka Al-Ghazali memberi titik tekan untuk mengemban tanggung jawab memelihara autentitas al-Qur'an.
Sebentuk pertanggungjawaban, para pengkaji al-Qur'an harus mentransformasikan nilai dan ajaran al-Qur'an melalui ilmu dan amalnya. Upaya tersebut kemudian terefleksikan dan berkoreferensi dengan gagasan Al-Ghazali tentang etika lahir dan sikap batin ketika membaca dan mengkaji al-Qur'an. Penekanan secara etis ini merupakan upaya Al-Ghazali untuk mengarahkan para penghapal, pembaca, dan pengkaji al-Qur'an kepada rahasia, inti, dan tujuan al-Qur'an, yaitu seruan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi.
Karenanya, maka bagi Al-Ghazali, setiap upaya untuk mengkaji dan berinterkasi dengan al-Qur'an mestilah berupaya untuk mencari titik ekuilibrium makna eksoterik (zahir) dan makna esoterik (batin) al-Qur'an. Dalam konteks inilah pengklasifikasian ayat al-Qur'an yang dilakukan Al-Ghazali kepada enam kelompok, tiga asas pokok al-Qur'an dan tiga sebagai asas pelengkap, harus dipahami.
Menurutnya, ayat pokok al-Qur'an adalah ayat-ayat yang termasuk dalam kelompok transenden, ayat-ayat tasawufi, dan ayat-ayat eskatologis. Sementara ayat-ayat historis, ayat-ayat kalami, dan ayat-ayat fiqhi termasuk dalam kelompok asas pelengkap. Asas pokok al-Qur'an disebut Al-Ghazali sebagai permata al-Qur'an, berupa ilmu-ilmu al-Qur'an. Sedangkan asas pelengkap dinamainya mutiara al-Qur'an, yaitu media aplikasinya. Dari pandangan ini, terlihat konsistensi Al-Ghazali tentang keserasian antara ilmu dan amal, aqidah dan syariah, serta hakikat dan syariat.
Pandangan Al-Ghazali tentang al-Qur'an dan klasifikasinya, untuk menarik sebuah benang berah bahwa al-Qur'an merupakan sumber ilmu dan kebenaran. Al-Qur'an diposisikan sebagai "cahaya kebijakan" yang memberi pencerahan kepada akal secara potensial dan aktual. Dalam konteks yang seperti inilah Al-Ghazali memahami dan memaknai istilah "al-Nur" yang terdapat dalam al-Qur'an.

D. Pemikiran Al-Ghazali tentang Tafsir

Sebelum membicarakan bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang tafsir, perlu dijelaskan sekilas bagaimana perkembangan tafsir sebelum dan pada masanya. Sebab, hanya dengan mengetahui peta yang demikian itu, kita dapat menilai kekhasan tafsirnya dan kontribusi Al-Ghazali bagi perkembangan tafsir pada masa berikutnya.
Sebagaimana diketahui, sebelum Al-Ghazali perkembangan tafsir terpaku dan terpusat pada fanatisme golongan atau aliran tertentu, seperti tafsir sufi, tafsir fikih, dan tafsir falsafi. Kecendrungan tafsir seperti ini tetap bertahan hingga pada masa Al-Ghazali. Dalam amatan Al-Ghazali, model tafsir yang seperti itu memiliki sejumlah kekurangan, di samping bias dan parsial, tafsir seperti juga berbanding terbalik dengan peran al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Penafsiran seperti itu, hemat Al-Ghazali, juga berpotensi membelah-belah umat Islam ke dalam berbagai aliran dan pemikiran yang nyata-nyata kontra produktif.
Untuk mengatasi problem tersebut atau untuk menutupi kekurangan itu, Al-Ghazali menawarkan interpretasi baru yang berupaya mensintesakan antara tafsir tekstual-kontekstual, eksoterik-esoterik, dan ma'tsur-ra'yu, sebuah pola penafsiran yang konfrehensif terhadap al-Qur'an. Aneka disiplin keilmuan yang berkembang pada masanya diakomodir, berbagai sisi dan dimensi al-Qur'an juga dipertimbangkan. Kecuali itu, metode tafsir yang digagas Al-Ghazali juga dialamatkan sebagai kritik terhadap penafsiran tradisional (ma'tsur) di kalangan Sunni, penafsiran rasional (ra'yu) filosof dan mutakalimun, penafsiran tekstual (eksoterik) kalangan Hasywiyah dan fuqaha, dan penafsiran esoterik (isyari) para sufi dan Bathiniah.
Apa yang dirintis Al-Ghazali ini di kemudian hari memberi inspirasi bagi kelahiran tafsir ilmiah pada masa berikutnya, yaitu suatu pola penafsiran yang melibatkan dan menetapkan istilah-istilah ilmiah dalam ungkapan-ungkapan al-Qur'an. Dalam konteks ini, penafsiran al-Qur'an adalah berupaya menguraikan berbagai ilmu pengetahuan dan perspektif-perspektif filosofisnya.
Untuk kepentingan metode dan operasional tafsirnya, Al-Ghazali membagi ayat al-Qur'an ke dalam enam kelompok, dumana masing-masingnya diteguhkan dengan kriteria etis. Pertama, ayat-ayat tentang ketuhanan. Untuk ayat-ayat ketuhanan, Al-Ghazali merekomendasikan metode penafsiran yang menitikberatkan pada makna majazzi. Misalnya, penafsiran "istawa" yang terdapat dalam surat Fussilat ayat 11. Al-Ghazali menafsirkannya dengan "menundukkan dan menguasai".
Kedua, ayat-ayat tentang pengabdian manusia kepada Tuhan. Dalam kategori ini, penafsiran Al-Ghazali terlihat lebih dinamis. Sampelnya adalah ketika ia menafsirkan surat Al-Muzammil ayat 8. Ia terlihat menggunakan penafsiran tekstual yang berlandaskan pada sisi bahasa dan dukungan ayat-ayat lainnya (tafsir ayat bi al-ayat). Mujahadah dalam ayat tersebut dimaknainya sebagai upaya maksimal untuk merengkuh esensi makna tauhid sufistik. Menurutnya, makna tauhid harus diejawantahkan dalam pemikiran, amal, dan dalam pengetahuan.
Ketiga, ayat-ayat tentang eskatologi (kehidupan di akhirat). Untuk ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini, Al-Ghazali menghindari dan bahkan menolak metode penafsiran rasional atau takwil filosofis dan sufistis. Penafsiran rasional dan takwil dianggap bid'ah. Ulasan yang bersifat filosofis dan alegoris untuk ayat-ayat kategori ini hanyalah pelengkap. Untuk menjelaskan ayat-ayat eskatologi, Al-Ghazali merekomendasikan penjelasan yang bersumber pada al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Misalnya, ketika menafsirkan "mizan" dalam surat Al-A'raf ayat 8-19. Al-Ghazali menafsirkan kata tersebut dengan menghubungkannya dengan surat Al-Qari'ah ayat 6-11, surat Gafir ayat 17, surat Ibrahim ayat 42-44, surat Al-An'am ayat 38, dan surat Az-Zumar ayat 30-31. Setiap ayat dijelaskan dengan mengutip sejumlah Hadis Nabi yang berkaitan dengan topik tersebut.
Keempat, mengenai kisah-kisah dalam al-Qur'an. Untuk kategori ini, Al-Ghazali menggunakan metode penafsiran tekstual dan kontekstual yang terakomodasi di dalamnya pola penafsiran filosofis, alegoris, dan ilmiah.
Kelima, ayat-ayat tentang argumentasi dan logika al-Qur'an. Untuk kategori ini, Al-Ghazali menggunakan penafsiran tekstual dan alegoris. Hal ini dilakukannya untuk menyingkap alasan-alasan dan bukti-bukti kehalusan bahasa al-Qur'an. Di samping itu, juga untuk memberi kepuasan secara rasional dan spritual.
Keenam, ayat-ayat kategori hukum (fiqih). Al-Ghazali menghindari pemaknaan ayat secara esoterik, apalagi yang mengaburkan. Pemaknaan secara eksoterik digunakan dalam kerangka untuk menjembatani antara makna hakikat dan syariat. Metode rasional sebatas komplementer karena menurutnya rasio tidak mampu mengungkap makna sebagian ibadah yang ditentukan oleh syara'.

E. Pemikiran Al-Ghazali tentang Takwil

Secara sepintas dapat dikatakan bahwa takwil termasuk sesuatu yang urgen bagi Al-Ghazali. Meskipun demikian, pemikiran Al-Ghazali mengenai takwil belum tertata secara sistematis, sehingga sulit untuk dipahami. Prisma pemikirannya tentang takwil terbaca dari fungsi takwil sebagai jembatan penghubung ilmu kulit menuju ilmu inti. Kulit di sini adalah kata-kata dalam konteks bahasa. Sementara inti adalah makna batin kata yang mendalam.
Maka, untuk menembus batas-batas kulit dalam teks dan untuk masuk dalam ilmu inti harus dimulai dari tingkatan paling rendah dalam gerak menaik menuju puncak. Menyeberangi kulit menuju inti melalui takwil sepadan dengan proses mikraj imajinasi hati dari alam nyata ke alam gaib atau alam malakut. Jika transformasi dari alam nyata menuju alam malakut berlangsung dalam wilayah imajinasi, maka proses penyeberangan dari kulit teks menuju intinya juga dimungkinkan melalui imajinasi. Proses penyeberangan makna dari kulit ke intinya merupakan takwil yang pertama dalam pandangan Al-Ghazali.
Sedangkan takwil yang kedua beroperasi dari metafor ke hakikat. Bagi Al-Ghazali, al-Qur'an adalah lautan. Pantainya adalah ilmu-ilmu kulit dan cangkang. Menurutnya, mereka yang tenggelam dalam bacaannya, lebih fokus pada aspek penyampaian dan ilmu-ilmu kulit, sesungguhnya ia hanya berputar-putar di pantai tanpa memperoleh apa-apa.
Sebagaimana telah disinggung sekilas di atas, bagi Al-Ghazali ayat-ayat mengenai eskatologi atau tentang kehidupan di akhirat kelak tidak boleh ditakwilkan. Menakwilkan kehidupan di akhirat, seperti surga, neraka, timbangan amal, jembatan atau sirath, dengan pola penafsiran rasional ataupun sufistik adalah bid'ah.

F. Kesimpulan

Bagi Al-Ghazali, al-Qur'an adalah Kalam Allah dan sekaligus Ilmu Allah. Sebagai Kalam Allah, al-Qur'an memuat dan mencakup seluruh makna kalam-Nya. Dikarenakan Kalam Allah juga merupakan Ilmu Allah, maka berarti al-Qur'an, seturut Al-Ghazali, mencakup seluruh Ilmu Allah. Oleh sebab itu, al-Qur'an juga berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Dari pandangan tersebut, kemudian Al-Ghazali menyusun sebuah penafsiran yang konfrehensif yang memadukan antara berbagai disiplin keilmuan. Tujuan penafsiran al-Qur'an adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan supaya al-Qur'an benar-benar berfungsi dalam kehidupan manusia. Penafsiran yang ideal bagi Al-Ghazali adalah penafsiran demi kemaslahatan manusia yang melampaui sekat-sekat ideologis dan aneka sentimen aliran pemikiran dan anutan politik. Setiap upaya penafsiran mestilah diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keridhaan-Nya.
Sedangkan pemikiran Al-Ghazali tentang takwil diarahkan untuk menelusuri makna-makna yang berada di sebalik teks. Sebab bagi Al-Ghazali, al-Qur'an ibarat lautan yang mengandung aneka mutiara menarik. Untuk memperolehnya, harus dilakukan penakwilan. Proses penakwilan menurutnya beroperasi dari kulit teks menuju intinya dan dari metafor ke hakikat. Ayat-ayat tentang eskatologi adalah di antara ayat-ayat yang tidak boleh digunakan proses penakwilan.


Bahan Pertimbangan

Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur'an: Kritik terhadap 'Ulumul Qur'an. Yogyakarta: LKiS, 2003
Al-Ghazali, Abu Hamid. Mukhtashar Ihya' 'Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
-----------------------------. Misykat al-Anwar. Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1964
------------------------------. Ihya' 'Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikri, 1975
------------------------------. Jawahir al-Qur'an, cet. ke-1. Mesir: Maktabah Kurdistan al-Ilmiyah, 1975
------------------------------. Al-Mustasyfa min 'Ilm al-Ushul. Mesir: Dar al-Fikr, 1322 H
------------------------------. Permata al-Qur'an, penyadur Syaifullah Mahyudin, cet. ke-2. Jakarta: Rajawali Press, 1987
Az-Zahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut: Dar al-Fikr, 1982