Senin, 05 Januari 2009

Apa Kabar Sekolah Internasional?

Yusriandi Pagarah

SATU tahun sudah usia sekolah internasional terhitung sejak diresmikan dan digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional tahun 2006. Yang nyata terbaca sampai saat ini wacana sekolah internasional melengkapi sejumlah kontroversi dunia pendidikan negeri ini.

Seperti UU sistem pendidikan nasional yang masih menggantung, pembatalan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang tergesa-gesa dan sepihak oleh pemerintah, wacana sertifikasi guru dan dosen dan pungutan biaya yang tinggi oleh beberapa sekolah favorit.

Pun halnya perguruan tinggi negeri/swasta nasional favorit yang membuka program khusus atau kelas bertaraf internasional yang kian melonjakkan biaya kuliah, eksklusif, berseminya kapitalisasi pengetahuan. Yang paling disayangkan semakin terdepaknya kaum miskin, yang notabene merupakan mayoritas penduduk negeri ini, untuk mengakses dan mencerap kue pendidikan.

Proyek prestisius yang bernama sekolah internasional, melengkapi dan memperlebar disparitas dalam dunia pendidikan. Bila sebelumnya terjadinya kepincangan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sekolah di kota dan sekolah di desa, sekolah umum dan sekolah berlatar agama serta sekolah kejuruan, sekolah unggulan dengan sekolah non- unggulan, kini ditambah lagi dengan sekolah nasional dan sekolah internasional.

Memutar Arah Jarum Jam

Benih-benih polemik seputar kiblat pendidikan Indonesia telah berusia lama, sekali pun dalam bentuknya yang paling minimalis. Dunia pendidikan, sekali pun belum ditaruh pada tempat yang layak dan belum menjadi barometer kemajuan bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi, namun pendidikan masih diakui sebagai tempat yang strategis untuk pengaderan dan penyemaian benih ideologi tertentu.

Akar yang kokoh sebagai polemik dimulai sejak masa kolonial. Saat itu terjadi perbedaan tajam antara sekolah milik pemerintah kolonial dan sekolah rakyat. Pemerintah kolonial dengan sejumlah jejaring koloni dan kaki tangannya membangun persekolahannya yang sangat berbeda dengan sekolah milik bumi putera.
Pemerintah kolonial memberikan subsidi penuh dan menyediakan asrama bagi pelajarnya. Disamping menanamkan ideologi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, sekolah milik kolonial juga menggunakan bahasa Belanda dalam proses belajar- mengajar. Lamat-lamat kebijakan tersebut membuahkan hasil.

Kepintaran berbahasa Belanda dan belajar di sekolah pemerintah kolonial menjadi prestise sendiri bagi pelajar bumi putera. Seolah dengan fasih berbahasa Belanda para pelajar bumi putera merasa menjadi orang istimewa dan mengidentifikasikan dirinya berdasarkan hal itu.

Sementara sekolah rakyat yang sebagian besarnya merupakan afiliasi dari organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan, seperti sekolah milik Muhammadiyah atau Ma'arif NU, perguruan Perti atau perguruan Persis dan pondok pesantren otonom lainnya, membangun sekolah secara swadaya.

Sekolah yang masuk kategori kedua ini mendidik muridnya yang rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu, dari kalangan rakyat biasa dan mereka yang tidak mendapat kesempatan menikmati sekolah milik pemerintah. Pendanaan yang kurang, kontrol pemerintah kolonial yang ketat, dan bahkan kebijakan pemerintah kolonial yang sewenang-wenang merupakan bagian yang inheren dari sekolah rakyat.

Lebih parah dari itu adalah bila pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ordonansi dengan dalih stabilitas,menutup sekolah tertentu karena ditakutkan melakukan ekstremisme dan merongrong pemerintah.

Disparitas tersebut juga terbaca amat kentalnya pada perdebatan alot dalam memilih strategi perjuangan mencapai kemerdekaan dan dalam menetapkan ideologi negara setelah Indonesia merdeka. Antara kubu nasionalis yang berlatar pendidikan dibiayai kolonial, besar dan mengenyam pendidikan di Belanda dan Eropa, dengan para pemuka agama dan tokoh masyarakat yang pendidikannya dari pendidikan tradisional yang besar dan menetap di pedesaan, atau maksimal pernah menunaikan ibadah haji dan pernah belajar beberapa tahun di Timur Tengah.

Pemandangan serupa juga dapat diinderai dari polemik panjang mengenai kiblat kebudayaan Indonesia antara kubu Sutan Takdir Alisyahbana dan pengikutnya di satu sisi, dengan kubu pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara dan mereka yang sependapat dengannya di sisi yang satunya lagi.

Penjajahan Nalar

Institusi pendidikan bagaimanapun juga dan ditilik dari sisi mana saja hari ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pasar dan tak imun dari serbuan kecenderungan global. Ada dua hal penting yang perlu diberikan catatan kaki kritis.

Pertama, perekrutan berdasarkan prestasi dan potensi yang dimiliki siswa. Selama ini sekolah unggulan, sekolah internasional atau apa pun namanya identik dengan orang tua berduit atau memiliki koneksi dengan pihak sekolah.

Selama ini sekolah unggulan juga milik eksklusif masyarakat kota yang bisa melakukan pendidikan tambahan dengan mengikuti berbagai les. Hal tersebut berbanding terbalik dengan penduduk desa yang tidak mengenal kursus bahasa asing dan apalagi kursus komputer dan pelatihan internet. Kurang adil rasanya bila dalam perekrutan sekolah internasional menerapkan hukum pukul rata tanpa mempertimbangkan latar belakang calon siswa yang beragam.

Kedua, berorientasi pada pembentukan karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Sekolah unggulan dan sekolah internasional selama ini lebih mengutamakan penguasaan sejumlah bahasa asing dan memiliki sejumlah keahlian khusus di bidang penerapan teknologi tepat guna. Sedangkan bidang moralitas dan aspek rohani para siswa seringkali terabaikan. Kita jumpai banyak siswa atau alumni sekolah unggulan yang tidak pandai menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dan bahkan terus terang melabrak norma dan etika yang diajarkan bangsanya.

Kita patut sedikit curiga dan selayaknya kritis dengan ideologi yang membonceng di balik proyek pengembangan dan menjamurnya sekolah internasional. Karena banyak di antara siswa sekolah internasional yang lebih kenal dengan negara luar daripada negerinya sendiri. Lebih akrab dengan tokoh negara lain ketimbang negara sendiri. Disamping itu kurikulum sekolah internasional juga bertolak belakang dengan kebutuhan rata-rata lapangan kerja yang ada di Indonesia.

Jeli

Dari gambaran di atas terlihat bahwa sekolah internasional diakui memang memiliki sejumlah keunggulan, namun sebagaimana laiknya pendirian institusi lainnya, pendirian sekolah internasional juga tak luput dari sejumlah kekurangan dan kontradiksi di dalamnya. Bila tidak jeli menyikapinya, lamat-lamat sekolah internasional akan mengauskan kepribadian dan karakter bangsa dari dalam. Sebagaimana disinggung di atas, sekolah adalah tempat paling strategis untuk penyemaian berbagai ideologi dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu.
Belajar dari praktik pendidikan masa kolonial yang sangat ekslusif dan bias, tidak tertutup kemungkinan sekolah internasional juga akan membawa kita kembali ke situasi zaman baheula itu.

Kita jangan sampai tertipu oleh slogan indah sekolah internasional seperti act locally, think globally dan open and international mind. Karena tidak mustahil sekolah internasional adalah sebentuk invansi asing atau neo-liberalisme dengan wajah baru melalui institusi pendidikan. Sesuatu yang telah diwanti-wanti oleh sosiolog dan pemikir kebudayaan kontemporer Prancis, Pierre Bourdieu, yang disebutnya penjajahan nalar dan imperialisme pola pikir (11)

Wacana, Suara Merdeka, 04 Juni 2007

URL: http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/04/opi03.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar