Senin, 05 Januari 2009

Pram, Kali Lusi, dan Cemeti Ajaib

Yusriandi Pagarah

“Kali Lusi melingkari separoh bagian kota Blora yang sebagian selatan. Di musim kering dasarnya yang dialasi batu-krikil-lumpur dan pasir yang mencongak-congak seperti menjenguk langit. Air hanya beberapa desimeter saja. Tapi bila musim hujan datang, air yang kehijau-hijauan itu jadi kuning tebal mengandung lumpur. Tinggi air hingga duapuluh meter. Kadang-kadang sampai lebih. Dan air yang mengalir damai jadi gila berpusing-pusing. Diseretinya rumpun-rumpun bambu di tepi-tepi kali seperti anak kecil yang mencabuti rumput. Digugurinya tebing-tebing dan diseretnya beberapa bidang ladang penduduk. Lusi! Dia merombak tebing-tebingnya.

Dan di dalam hidup ini kadang-kadang aliran yang deras menyeret tubuh dan nasib manusia. Dan dengan tak setahunya ia kehilangan beberapa bagian dari hidup itu sendiri….”

Kalimat di atas dikutip dari cerita pendek Yang Sudah Hilang yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek Cerita dari Blora karya Pramoedya Ananta Toer atau lebih akrab dipanggil Pram. Cerita dari Blora pertama kali diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1952. Berkat karya tersebut, Pram menyabet Hadiah Pertama untuk kategori kumpulan cerita pendek terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1953. Cerita dari Blora telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa, di antaranya Portugis, Rumania, Vietnam, Cina, Ceko, Jepang, Malaysia, Swedia dan Thai.

Mendiang Paus Sastra Indonesia, H.B. Yasin dalam pengantarnya untuk karya ini, berpendapat bahwa Cerita dari Blora mengandung banyak anasir pengalaman dan kenangan otobiografis Pram terhadap kampung halamannya, Blora yang miskin, tandus dan tanah kapur itu. Teringat pada ibunya, seorang perempuan saleh dan penuh dedikasi. Pada ayahnya, seorang aktivis yang amat hirau dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakatnya. Sebagai anak sulung, Pram juga kangen pada adik-adiknya tersayang dan merasa bertanggung jawab terhadap masa depan mereka kelak.
***

Rupanya bagi seorang Pram, satu-satunya nominator peraih Nobel Sastra dari negeri ini sampai sekarang, kenangan sebuah sungai atau kali sangat jauh terendap dalam alam bawah sadarnya. Ahmad Syafii Maarif, Guru Besar Sejarah UNY dan mantan Ketua PP. Muhammadiyah, adalah salah seorang dari tokoh nasional negeri ini yang juga sangat akrab dengan sungai atau kali, yang di kampungnya di sebut batang. Dalam otobiografinya yang inspiratif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, Buya Syafii—begitu beliau akrab disapa—dengan amat gamblang dan detailnya memaparkan betapa karib dirinya dan masyarakatnya dengan sungai. Di banyak tempat Buya Syafii menyebut-nyebut Batang Sumpur, Batang Sinamar dan Batang Ombilin. Keberadaan ketiga batang tersebut tak sebatas tempat mandi atau arena menyalurkan hobi memancing bagi penduduk Sumpur Kudus dan masyarakat Sijunjung pada umumnya. Ketiga sungai tersebut juga berfungsi sebagai jalur transfortasi bagi pedagang karet dan beras menggunakan rakit dan perahu. Juga jalan pintas menuju daerah Riau bagian hilir.

Bagi Pram, Kali Lusi bukan semata-mata sebagai sesuatu yang ril dan benar adanya. Yang melingkari sebagian kota Blora seperti ular yang membelit pohon. Kali Lusi bagaikan oase di tengah takdir alam sekitarnya yang tandus dan tanah kapur. Bagi orang Blora—tentu juga bagi Pram sendiri—Kali Lusi tak sebatas salah satu arena bermain yang asyik dan tempat belajar berenang di kala kanak-kanak. Dari cerita Pram, Kali Lusi merupakan tapal batas yang memisahkan pasukan putih dan merah atau pasukan republik dan penjajah pada masa perjuangan dan pergerakan menuju Indonesia merdeka. Kali Lusi telah menjadi bagian inheren dan identitas bagi Blora. Sehingga tak heran, Kali Lusi dibumbuhi dengan berbagai “keistimewaan” dan mitos tertentu, seperti halnya Sungai Gangga di India.

Hal ini dapat diinderai dari cerita Pram tentang Kali Lusi yang pernah merendam kota Blora. Alun-alun merupakan satu-satunya tempat yang terbebas dari banjir bandang tersebut. Ke sanalah orang Blora berduyun-duyun mengungsi seraya membawa keluarga dan perbendaharaan lainnya yang sempat dan mungkin disertakan mengungsi. Namun berkat sebilah cemeti yang telah dimanterai oleh Ndoro Kanjeng Said, Bupati Blora waktu itu, air Kali Lusi jadi surut. Ini merupakan salah satu cerita favorit Pram dari Bundanya disamping cerita mengenai pahlawan perang dari Asia Dekat, yang menurut pengakuannya sendiri telah didengarnya duapuluh lima kali dengan antusiasme yang penuh.

Seperti yang sama-sama dimaklumi, air merupakan barang langka bagi masyarakat Blora dan sekitarnya. Dengan begitu, secara sosiologis, ekonomis, ekologis dan psikologis Kali Lusi mendapat tempat tersendiri di dalam sanubari tiap orang Blora. Tak terkecuali bagi Pram sendiri. Hingga tak mengherankan bila kemudian Blora dengan Kali Lusinya dijadikan Pram sebagai sumber atau sumur inspirasi karya-karyanya yang menakjubkan dan dikagumi banyak orang. Juga menjadi latar dari cerita-cerita para tokoh yang dikarang Pram.

Perubahan yang dialami Kali Lusi, pasang surutnya, jernih keruhnya, dijadikan Pram sebagai metafor dan cermin dari hidup manusia yang senantiasa berubah. Ketika Pram menulis, “dalam hidup ini kadang-kadang aliran yang deras akan menyeret tubuh dan nasib manusia”, sesungguhnya Pram tengah bercerita tentang banjir yang membuat seseorang kehilangan sebagian penting dari hidupnya. Pasangnya air Kali Lusi memberi pertanda bahwa manusia tidak bisa menghadap perubahan atau melawan hukum alam. Juga memberi isyarat agar manusia senantiasa bersahabat dengan air. Senantiasa menjaga kebersihan dan kelestariannya. Bukannya menguasai apalagi sampai mengeksploitasinya. Dalam hal ini, Romo Mangunwijaya dengan “proyek” Kali Codenya di Jogjakarta, salah seorang sosok yang patut diteladani.
***

Meluapnya sungai Bengawan Solo—sebuah sungai yang diabadikan Gesang dalam sebuah lagunya—yang merendam sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Membuat penduduk Solo, Sragen, Ngawi, Madiun, Kudus, Lamongan, Bojonegoro mengungsi dan kehilangan banyak hal. Blora dengan Kali Lusinya, kampung halaman sang maestro, termasuk yang parah kena banjir.

Saya—mungkin juga anda—seakan-akan diingatkan dengan protes dan keluh kesah Pram setengah abad silam, “Tapi semua itu sudah hilang kini. Semua itu telah lenyap seperti tebing dan rumpun-rumpun bambu yang disereti oleh air pasang Kali Lusi. Dan aku tak kuasa menahan arus besar itu….”

Sayang tak ada lagi Ndoro Kanjeng Said, Bupati panutan itu, yang dengan cemeti mandragunanya mengusir air kembali ke Kali Lusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar