Rabu, 28 Januari 2009

DEBAT SEKITAR TAFSIR ILMIAH

YUSRIANDI PAGARAH

Kedua disiplin tersebut—agama dan sains—berbicara satu sama lain seperti dua kawan yang bekerja sama dalam suatu penelitian luas sekali yang dilaksanakan atas nama akal budi, mengenai hakikat realitas… Kitab suci itu lebih merupakan suatu kesaksian kolektif mengenai peristiwa-peristiwa dasariah dan tentang prilaku-prilaku istimewa dimana kehadiran Allah tampak dengan cemerlang. Sains dan agama sama-sama mencari fundamen rasional tentang perjalanan dunia.
--Louis Leahy--

A. Pendahuluan
Kedudukan kitab suci al-Qur’an sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Sentralitas kitab suci tersebut dapat dilihat, selain sebagai sumber pasar diskursus dan pusat wacana yang tak pernah padam dari dahulu hingga sekarang, al-Qur’an juga berfungsi sebagai pedoman ketika menjalin dan menjalani kehidupan mereka. Begitu juga, segala persoalan yang terjadi pada habitus kontemporer mestilah seiring-sejalan dengan spirit wahyu.

Oleh sebab itu, cukup alasan kiranya orang seperti Fazlur Rahman dan juga yang lainnya, menjadikan penafsiran al-Qur’an sebagai titik pusat—bahkan juga titik berangkat—bagi intelektualisme Islam. Lahirnya berbagai aliran kalam, filsafat, mazhab, tasawuf, politik, dan sekte keagamaan dalam Islam, berawal dari penafsiran terhadap al-Qur’an. Meskipun menghasilkan corak dan kecendrungan yang berbeda, semua aliran dan sekte tersebut sama-sama mendasarkan argumentasi dan mencari legitimasi pendapat mereka dari al-Qur’an, bahkan terkadang dari ayat yang sama.

Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan terberat dan menantang bagi umat Islam berkaitan dengan interaksinya dengan kitab suci al-Qur’an adalah upaya kontekstualisasi ajarannya agar tetap relevan di setiap zaman dan tempat. Dengan begitu, tugas terberat seorang mufasir dari dahulu sampai sekarang adalah mencari titik temu dan relevansi antara teks al-Qur’an dengan konteksnya. Oleh sebab itu, membangun berbagi teori pembacaan dan menggunakan berbagai perangkat keilmuan, bahkan juga mempertanyakan relevansi paradigma tafsir klasik untuk konteks kekinian dan kedisinian, merupakan sebuah keniscayaan.
Kecenderungan ini, salah satunya bersirobok dengan pendapat Muhammad Shahrur yang menyatakan bahwa al-Qur’an juga diturunkan kepada kita yang hidup di abad kedua puluh ini, seolah-olah Nabi baru saja wafat dan beliau sendiri yang menyampaikannya kepada kita. Karena itu, al-Qur’an harus dipahami dan ditafsirkan sesuai dengan episteme abad kedua puluh. Dalam perspektif inilah aksioma Islam yang relevan pada setipa waktu dan tempat semestinya dimaknai.

Munculnya tafsir ilmi dalam khazanah inteleklual Islam merupakan respons supaya ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an tetap relevan dengan perkembangan zaman itu. Selain itu, tafsir ilmi juga berupaya memperbaiki pengetahuan seseorang yang telah ada dan membuka tabir makna ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang belum mampu dipahami oleh umat sebelumnya secara baik.

B. Tipologi Hubungan Agama dan Ilmu Pengetahuan
Sebelum masuk pada pokok persoalan dan perdebatan di sekitar tafsir ilmiah, terlebih dahulu akan dipaparkan secara sepintas tentang tipologi hubungan agama dan ilmu pengetahuan yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat dekade 1990-an. Hemat penulis, hal ini penting karena setidaknya dapat memetakan berbagai pendapat ulama dan intelektual Islam berkenaan dengan tafsir ilmi.

Menurut Ian G. Barbour, terdapat empat tipologi hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Pertama, tipologi konflik. Tipologi yang dipegangi oleh kelompok materialisme agama dan literalisme kitab suci yang melihat hubungan agama dan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Dalam amatan materialisme agama, ilmu pengetahuan bersifat objektif, terbuka, terakumulasi, dan progres. Selain itu, data-datanya dapat diuji secara publik dengan menggunakan kriteria koherensi, korespondensi, atau asas pragmatis. Sedangkan tradisi kegamaan, menurut kubu ini, bersifat subjektif, tertutup, tidak kritis, dan sanagat sulit berubah. Sementara kubu literalisme kitab suci berpendapat bahwa teori ilmiah seperti teori evolusi melambungkan filsafat materialisme dan merendahkan perintah moral Tuhan.

Bila dicermati lagi, sesungguhnya pertentangan ini melanjutkan pertentangan yang terjadi antara fundamentalisme sains dengan fundamentalisme agama. Kutub fundamentalisme sains dipelopori oleh sainstis yang ateis, seperti Richard Dawkins dan Steven Weinberg, sedangkan Jhon William Draper dan Andrew Dickson mewakili kutub fundamentalisme agama.

Kedua, tipologi independensi. Pandangan ini menyatakan bahwa sains dan agama berada di ranah yang berbeda. Dengan begitu, asumsi yang dibangun, cara kerja, dan hasil yang hendak dicapai oleh masing-masing dari dua hal tersebut berbeda. Sains lebih fokus pada kajian pada alam semesta atau realitas, sedangkan agama menyorot tata cara manusia. Bentuk lain dari tipologi ini menyatakan, memang antara sains dan agama berbeda ketika melihat realitas, namun kedua perspektif itu dapat saling melengkapi dan bukannya saling meruntuhkan.

Setidaknya terdapat tiga argumen mendasar tentang tipologi kedua ini:
1. Ilmu pengetahuan mengajukan pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama mengajukan pertanyaan “mengapa”.
2. Ilmu pengetahuan melakukan prediksi kuantitatif yang dapat diuji melalui sejumlah eksperimen. Agama menggunakan bahasa simbolis dan analogis karena Tuhan bersifat transenden.
3. Terdapat dua bahasa dan dua fungsi yang berbeda. Bahasa ilmiah berfungsi untuk melakukan prediksi teori ilmiah, sementara fungsi utama bahasa agama menawarkan jalan hidup, seperangkat pedoman, dan kesetiaan pada prinsip moral tertentu.

Ketiga, tipologi dialog. Tipologi ini berupaya membandingkan kedua metodogi agama dan ilmu pengetahuan, menunjukan ada hubungan persamaan dan kemiripan di antara keduanya, di samping menunjukan titik-titik perbedaannya. Tipologi ini meyakini adanya kesejajaran konseptual antara teori ilmiah dan keyakinan teologi.

Kesamaan metodologis di antara keduanya, misalnya, ketika terdapat pandangan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah seobjektif dan agama tidaklah sesubjektif sebagaimana yang diduga banyak orang. Data ilmiah yang menjadi dasar ilmu pengetahuan melibatkan unsure-unsur subjektivitas. Hal ini misalnya terlihat pada asumsi-asumsi teoritis yang digunakan dalam prores pemilahan, laporan, dan penafsiran terhadap apa yang dianggap sebagai data. Demikian juga teori, tidak lahir dari analisis data secara logis, tetapi lahir dari tindakan imajinatif kreatif yang mengandalkan analogi dan model.

Karakter yang seperti juga dapat djumpai dalam agama. Data dalam agama meliputi pengalaman keagamaan, ritual, dan kitab suci. Data-data seperti itu lebih banyak diwarnai oleh penafsiran konseptual. Metafora dan model juga berperan penting dalam bahasa agama.

Berbeda dengan tipologi indepensi yang lebih menekankan pada titik-titik perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama, tipologi dialog titik tekannya lebih pada upaya persamaan atau perbandingan metodis dan konseptual di antara keduanya.

Keempat, tipologi integrasi. Tipologi ini berupaya mencari titik temu antara ilmu pengetahuan dan agama. Bahkan, pendukung tipologi keempat ini menyerukan perumusan ulang gagasan-gagasan teologi tradisional yang ekstensif dan sistematis bila dibandingkan dengan pendukung tipologi dialog.

Tipologi integrasi mempunyai tiga versi. Pertama, natural theology. Dalam natural theology, eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dan dibuktikan oleh desain alam semesta yang teratur. Salah tokoh penting aliran ini adalah Thomas Aquinas, yang menyatakan bahwa beberapa sifat Tuhan dapat diketahui dari informasi kitab suci, tetapi eksistensi Tuhan sendiri hanya dapat diketahui melalui nalar.

Argumen kosmologisnya, setiap peristiwa harus mempunyai ‘sebab’, sehingga kita harus mengakui ‘sebab pertama’ jika hendak menjauhi siklus yang tak berujung pangkal. Inti versi pertama ini adalah menjadikan alam semesta sebagai sarana untuk mengetahui Tuhan yang dapat dilakukan melalui sejumlah prosedur ilmu pengetahuan.

Kedua, theology of nature.Versi ini berangkat dari tradisi keagamaan yang bersumber dari pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Tesis utamanya adalah bahwa doktrin tradisional keagamaan harus dirumuskan ulang dalam sinaran ilmu pengetahuan mutakhir. Versi ini melakukan refleksi teologi dan berupaya melakukan upaya kontekstualisasi teologi. Arthur Peacocke, seorang biokimiawan dan sekaligus seorang teolog, adalah di antara pendukung theology of nature. Ia berpendapat, bahwa pengalaman keagamaan masa lalu dan mas kini dari sebuah komunitas keagamaan harus diuji dengan consensus komunitas keagamaan, serta dengan koherensi, komprehensi, dan kemanfaatan. Peacocke berupaya membuka wawasan kontekstualisasi teologi dalam entitas ilmu pengetahuan.

Ketiga, sintesis sistematis. Versi ini mensintesakan antara ilmu pengetahun dengan agama secara sistematis dengan tujuan merubah pandangan dunia ke arah yang lebih koheren. Muara versi ketiga dari tipologi integrasi ini adalah pengembangan metafisika inklusif melalui filsafat proses. Dalam tilikan filsafat proses, Tuhan adalah sumber kebaruan tatanan. Oleh sebab itu, penciptaan adalah proses panjang dan belum sempurna. Karena itu, setiap peristiwa baru merupakan produk maujud masa lalu, tindakan diri, dan aksi Tuhan. Dengan lain perkataan, Tuhan mentransedenkan dunia dan Dia juga imanen di dunia dengan cara tertentu dalam struktur setiap peristiwa.

C. Definisi Tafsir Ilmiah
Tafsir ilmi terdiri dari dua akar kata, yaitu at-tafsir dan al-‘ilm. Kata tafsir dalam al-Qur’an bermakna penjelasan atau perincian. Sedangkan kata ‘ilm dan berbagai derivasinya kerap digunakan dalam al-Qur’an dalam arti umum pengetahuan (knowledge), termasuk untuk sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan (sciences of nature and humanities). Selain itu, kata ‘ilm dalam al-Qur’an juga digunakan untuk pengetahuan yang diwahyukan (revealed) sekaligus digunakan untuk pengetahuan yang diperoleh di luar wahyu (acquired). Dengan demikian, berdasarkan pandangan al-Qur’an, terminologi ilmu tak terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, tetapi segala bentuk ilmu ilmu, baik ilmu alam, ilmu sosial, humaniora, dan ilmu lainnya yang dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia.

Setelah melihat penggunaan kedua kata tersebut dalam al-Qur’an, secara etimologis tafsir ilmi adalah penjelasan atau perincian-perincian tentang ayat-ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat tentang alam semesta dan realitas sosial.

Selain tafsir ilmi, juga digunakan istilah tafsir kauniah. Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang lebih kurang memiliki arti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Selain itu, ayat-ayat yang sepintas lalu terlihat seperti bukan ayat kauniah, sesungguhnya juga dapat dikategorikan sebagai ayat-ayat kauniah, misalnya ayat-ayat yang membicarakan sifat munafik (hyrocrisy). Ayat-ayat tersebut dapat ditafsirkan secara ilmiah dengan memandang kemunafikan sebagai penyakit jiwa.

Menurut Muhammad Quraish Shihab, tafsir ilmi atau tafsir ilmiah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu pengetahuan atau temuan-temuan baru. Namun Shihab memberi rambu-rambu, bahwa hubungan al-Qur’an bukan dinilai berdasarkan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya atau dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an, dan juga sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bukan juga dengan cara, adakah dalam al-Qur’an teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; apakah ilmu komputer tercantum dalam al-Qur’an atau tidak, tapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayat al-Qur’an yang menghalang-halangi kemajuan ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, adakah ayat al-Qur’an yang berbanding terbalik dengan hasil temuan ilmiah yang telah mapan? Dengan lain perkataan, meletakkannya pada sisi “psikologi sosial” (social psychology), bukan pada sisi “sejarah perkembangan ilmu pengetahuan” (history of scientific progress).

Sementara itu, Amin Al-Khuli mendefinisikan tafsir ilmiah sebagai tafsir yang menilai temuan-temuan ilmiah menurut ungkapan al-Qur’an. Sebuah tafsir yang berusaha menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan kefilsafatan yang dapat dicapai melalui kaidah-kaidah pemahaman terhadap ungkapan al-Qur’an yang telah ditetapkan dalam berbagai tradisi keilmuan Islam.

D. Kemunculan Tafsir Ilmiah
Sebagaimana yang diketahui, latar belakang seorang mufasir, baik pendidikan, karir profesional, afiliasi politik dan kemasyarakatan, dan juga yang lainnya, akan berpengaruh terhadap produk tafsirnya. Seorang ahli bahasa, tentu akan banyak mewarnai tafsirnya dengan teori-teori kebahasaan. Orang yang menekuni dunia filsafat, produk tafsirnya akan kental dengan nuansa filosofis. Sedangkan yang concern dengan sastra, akan banyak mempengaruhi tafsirnya dengan pendekatan-pendekatan sastra. Begitu juga dengan mereka yang memiliki basis keilmuan yang lainnya. Dengan begitu, kelahiran tafsir ilmi dalam diskursus tafsir al-Qur’an adalah suatu hal yang wajar, kalau bukannya sebuah keniscayaan sejarah.

Bila dicermati, alasan utama yang melatari seorang mufasir melahirkan tafsir ilmi adalah kenyataan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an—baik secara eksplisit maupun implisit—yang memerintahkan umat manusia, terutama umat Islam sendiri, untuk menggali ilmu pengetahuan, di samping juga keinginan untuk mengetahui dimensi kemukjizatan al-Qur’an dalam terang ilmu pengetahuan modern. Sementara itu di sisi lain, penafsiran tradisional terhadap ayat-ayat al-Qur’an dirasa kurang mampu memberikan pemahaman yang memuaskan terhadap pesan-pesan Tuhan yang bersifat saintifik dan dianggap belum memadai mempersenjatai kita untuk merespon perkembangan zaman yang sedemikian pesat. Sedangkan menurut Al-Muhtasib, kelahiran tafsir ilmi merupakan upaya rekonsiliasi antara Islam dengan kebudayaan-kebudyaan asing yang diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah, sebuah dinasti yang mampu bertahan lebih dari lima abad (750-1258). Di samping itu juga mencari legitimasi penemuan-penemuan sains murni di lingkungan umat Islam sendiri pada saat itu.

Dalam dunia Islam, Imam Al-Ghazali (w. 505 H) diyakini sebagai pelopor atau peletak dasar tafsir ilmiah secara teoritis. Al-Ghazali berpendapat bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna zhahir dan batin, serta makna yang tersurat dan tersirat. Dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, dengan mengutip pendapat Ibn Mas’ud, Al-Ghazali menyatakan, bahwa siapa saja yang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, ia harus merenungkan ayat al-Qur’an. Hal ini kembali ditegaskannya kembali dalam karyanya yang lain, yaitu Jawahir al-Qur’an. Al-Ghazali menyatakan, bahwa prinsip-prinsip ilmu yang telah disebutkan maupun yang belum disebutkan tidaklah berada di luar al-Qur’an karena semuanya berasal dari samudera makrifat Allah Swt.

Bila Al-Gazali dikenal sebagai peletak tafsir ilmi secara teoritis, Fahrur Ar-Razi merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir Al-Kabir. Kemudian, tafsir ilmi dikembangkan oleh mufasir berikutnya, seperti Muhammad ‘Abduh, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Mahmud Syukri Al-Alusi, Thantawi Jauhari, dan yang lainnya. Mereka yang disebut belakangan ini disebut sebagai mufasir di era modern.

Kemunculan dan meluasnya tafsir ilmi di era modern, mengikuti pendapat Shihab, setidaknya dilatari oleh dua faktor utama. Pertama, majunya peradaban Barat. Sebagaimana yang diketahui, sejak medio abad ke-19, umat Islam menghadapi tantangan hebat, tidak hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Di satu sisi umat Islam melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu pengetahuannya, sedangkan di sisi yang lain umat Islam mengalami kemunduran dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Kondisi ini berdampak negatif pada mayoritas umat Islam, yaitu lahirnya perasaan rendah diri atau inferiority complex di hadapan perkembangan modernitas yang tak tertanggungkan.

Berbagai reaksi diberikan umat Islam berkenaan dengan hal tersebut. Sebagian dari mereka bersifat apatis, acuh tak acuh dengan perkembangan tersebut. Ada juga yang menyerah dengan jalan mengikuti segala sesuatu yang berasal dari Barat, termasuk dalam hal-hal yang berseberangan dengan kepribadian atau adat-istiadat mereka.

Sementara yang lain mencoba menerimanya sebagai keniscayaan sejarah dan mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem yang berasal dari Barat tanpa meninggalkan kepribadian dan prinsip agama. Namun persentase yang disebut belakangan ini hanya sedikit saja dari umat Islam yang mengikutinya. Mayoritas umat Islam mengambil menjawabnya dengan mengapungkan pendapat-pendapat yang membanggakan kejayaan nenek moyangnya pada masa lalu. Misalnya, berbagai teori ilmiah dan capaian teknologi yang terdapat di Barat telah ada dalam al-Qur’an beberapa abad sebelumnya. Fenomena tersebut disebut Shihab “sastra kebanggaan dan kejayaan” atau adab al-fakhri wa al-tamjid.

Kedua, pengaruh pertentangan gereja dengan kalangan ilmuan di Eropa. Sebagaimana yang diketahui, sedari abad ke-18 terjadi pertentangan hebat antara otoritas gereja dengan kalangan ilmuan. Hal ini dipicu oleh perbedaan doktrin gereja tentang suatu hal dengan hasil temuan para ilmuan. Penafsir-penafsir Kitab Perjanjian Lama/Baru menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan kesuciannya, sehingga siapa saja yang keluar dari tafsiran tersebut dianggap murtad dan berhak mendapat kutukan. Di lain pihak, para ilmuan menghasilkan temuan ilmiah yang bertolak belakang dengan doktrin gereja.

Akibatnya, banyak di antara para ilmuan yang menjadi tumbal dari temuannya sendiri. Galileo, Arius, Bruno, Bauer, George van Paris adalah di antara nama-nama ilmuan yang menjadi korban kekejian otoritas gereja karena menghasilkan temuan yang bertolak belakang dengan para penafsir kitab suci. Peristiwa ini kian meyakinkan orang bahwa memang terjadi pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama.

Pendapat serupa juga diperikan oleh J.J.G. Jansen, seorang pakar tafsir al-Qur’an dari Leiden, Belanda. Menurutnya, kelahiran tafsir modern dalam bentuknya yang modern adalah bagian dari perdebatan besar yang berlangsung di dunia muslim sejak awal pengaruh teknologi, ilmu pengetahuan, dan politik Barat di dunia Arab. Perdebatan ini berkisar di sekitar apakah studi ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab dapat diterima di kalangan muslim.

E. Pendapat Ulama tentang Tafsir Ilmiah
Setidaknya terdapat tiga kelompok utama berkenaan dengan tafsir ilmi. Pertama, kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi. Kedua, kelompok yang menolak. Ketiga, kelompok moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang bertolakbelakang secara diametral di atas.

Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak. Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam. Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.

Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama Islam berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain sebagainya. Kelompok pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt. menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Kelompok yang pertama ini memberikan apresiasi yang berbeda terhadap penerapan tafsir limi. Ada yang menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh sang mufasir, atau fungsi tabyin. Ada yang berkeinginan membuktikan kebenaran teks al-Qur’an menurut ilmu pengetahuan mutakhir, atau fungsi I’jaz. Hal ini member stimulant kepada umat Islam dan Ilmuan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat teks-teks al-Qur’an. Terakhir, fungsi istikhraj al-‘ilm atau ta’ziz, yakni ayat-ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir.

Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.

Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan tengah di antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di atas. Bagi kelompok ini, pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu, adalah argumen yang dilebih-lebihkan. Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak terbatas, persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam al-Qur’an? Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?

Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang hidup di zaman ini tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman sahabat dan orang-orang terdahulu. Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an memerintahkan setiap muslim mempergunakan akal pikirannya serta merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua atau nenek moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat dimasukkan dalam kategori ketiga ini.

Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut ini. Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah kebahasaan. Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.

Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat). Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya. Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.

Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan. Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak. Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun. Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima. Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.

F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa poin sebagai kesimpulan di sekitar debat tentang tafsir ilmi. Pertama, kelahiran tafsir ilmi adalah upaya umat Islam untuk senantiasa mencari kemukjizatan al-Qur’an dalam terang temuan berbagai ilmu pengetahuan, di samping untuk mendialogkan al-Qur’an dengan perkembangan zaman. Apa benar ajaran Islam itu relevan di setiap ruang dan waktu.

Kedua, kemunculan tafsir ilmi dalam khazanah kesarjanaan muslim awalnya merupakan sebuah hal yang wajar, sebagai ijtihad para ulama awal untuk memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an. Pada masa-masa berikutnya, kemunculan tafsir ilmi adalah untuk merekonsiliasi berbagai ilmu pengetahuan asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan sekaligus mencari legitimasi temuan-temuan ilmiah dari internal umat Islam sendiri. Masa-masa Dinasti Abbasiyah mewakili kecendrungan ini. Pada masa berikutnya, tafsir ilmi digunakan untuk merespon perkembangan dunia Barat dalam berbagai aspek. Sementara umat Islam di sisi lain, mengalami kemunduran hampir di segala aspek dan kalah di berbagai lini kehidupan.

Di samping hal itu, keberadaan tafsir ilmi juga diniatkan untuk menghindarkan konflik antara ajaran agama dengan temuan ilmiah, yang di belahan Eropa banyak menumpahkan darah para ilmuan. Temuan dan produk limuan yang bertolak dengan doktrin gereja ditolak, dan bahkan ilmuannya dijatuhi hukuman gantung atau dipancung. Untuk menghindari hal ini, para ulama Islam berupaya mencari jalan tengah di anatra kedua kutub agama dan sains. Salah satu caranya dengan merintis tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.

Ketiga, setidaknya terdapat tiga pendapat di seputar penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an. Kelompok yang mendukung penerapan tafsir ilmi beralasan, bahwa al-Qur’an mengandung berbagai aspek yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, eksistensi tafsir ilmi sesungguhnya diakui oleh al-Qur’an sendiri. Kelompok ini dimotori oleh Imam Al-Ghazali. Kelompok yang menolak melihat, di samping terkesan apologis, alasan-alasan yang dikemukakan kelompok pertama juga terkesan mencocok-cocokkan ayat al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Bahkan, dalam banyak kasus, kelompok yang diprakarsai oleh Al-Syatibi ini melihat penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an terkesan dipaksakan.

Sedangkan kelompok ketiga mencoba mencari jalan tengah di antara dua kutub ekstrem tersebut. Kelahiran tafsir ilmi—terlepas dari apapun namanya—merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Dalam operasionalnya, di samping hanya menggunakan teori-teori ilmiah yang telah mapan, seorang mufasir mesti menguasai kaidah-kaidah kebahasaan dan memahami korelasi antar ayat (munasabat al-ayat) ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengandung sains atau isyarat-isyarat ilmiah.


Bahan Pertimbangan

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1989. Ihya ‘Ulummuddin. Kuwait: Maktabah Al-Manar
-------------------------------------------. 1982. Samudera al-Qur’an, terj. Syaifullah Mahyuddin. Jakarta: Rajawali Pers
Al-Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdiyin. Yogyakarta: Adab Press
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. 1997. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid. Bangil: Al-Izzah
Anwar, Rosihon. 2007. “Reformasi Paradigma Tafsir al-Qur’an dalam Era Postmodern”, Risalah, No. 2, Thn. XXXV/April
Bagir, Zainal Abidin. “Pluralisme Pemaknaan dalam Sains: Beberapa Catatan Perkembangan Mutakhir Wacana Sains dan Agama”, dalam Relief, Nomor I, Tahun 2003.
Barbour, Ian G. 2003. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad. Bandung: Mizan Pustaka
Departemen Agama RI. 1427 H. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Kudus: Menara Kudus
Haught, John F. 2004. Perjumpaan Sains dan Agama dari Konflik ke Dialog, Fransiskus Borgias. Bandung: Mizan Pustaka
Ichwan, Mohammad Nor. 2004. Tafsir Ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta: Menara Kudus
Keraf, A Sonny dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, cet. ke-4. Yogyakarta: Kanisius
Leahy, Louis. 1997. “Sains dan Agama: Suatu Dialog yang Baru Menurut John Polkinghorne”, dalam Louis Leahy (ed.), Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini. Yogyakarta: Kanisius
Rahman, Fazlur. 1995. Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka
Rosadisastra, Andi. 2007. Metode Ayat-ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah
Ruskanda, S. Farid. “Tafsir Ilmiah dan Peranannya dalam Pendidikan Sains”, dalam http/www.iainsu.a.id/artikel/tafsir.htm, diakses tanggal 31 Desember 2008
Shahrur, Muhammad. 1990. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, cet. ke-2. Damaskus: al-Ahalli li a-Thaba’at wa al-Nasr wa al-Tawzi’
Shihab, Muhammad Quraish. 1992. “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyrakat. Bandung: Mizan Pustaka
Shihab, Umar. 2005. Kontekstualisasi al-Qur’an: Kajian Tematik terhadap Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Permadani
Jansen, J.J.G. 1997. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar