Rabu, 07 Januari 2009

Tekanan Jiwa dan Fisik pada Pekerja

Yusriandi Pagarah

BELAKANGAN ini berbagai media baik cetak maupun elektronik marak sekali mengangkat berita tentang banyaknya para pekerja yang mengalami gangguan jiwa dan cacat fisik. Pergi sehat, pulang mentalnya sudah terganggu. Berangkat dari rumah fisiknya lengkap, dan balik sudah ada yang cacat. Bahkan tak sedikit yang meninggal dunia.

Pada Bangsal Sakura RSUD Banyumas, misalnya, pascalebaran lalu terjadi peningkatan yang sangat signifikan pasien ganggaun jiwa yang mondok di RS tersebut. Isi bangsal yang khusus untuk pasien gangguan jiwa itu, melebihi kapasitas daya tampungnya, dari yang semestinya 74 pasien menjadi 119 pasien.

Pasien yang masuk berasal dari Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen (Jateng), dan Ciamis (Jabar). Mereka berusia antara 17 tahun sampai 40 tahun, yang notabene berada pada kisaran usia produktif dalam bekerja.

Kebanyakan pasien merupakan perantau yang baru pulang dari luar daerah atau tenaga kerja yang baru pulang dari luar negeri. Pemicu terjadinya gangguan jiwa pasien di antaranya karena korban kecanduan narkoba, serta tenaga kerja wanita dan perantau yang tidak tahan dengan budaya dan prilaku masyarakat/negara tempatnya bekerja.

Menurut saya, tentu banyak lagi rumah sakit lain -terutama rumah sakit jiwa- di daerah lain yang mengalami konsisi serupa, dan bahkan tidak menutup kemungkinan mengalami kendala dan problema yang lebih kompleks lagi.

Karena fenomena tersebut bagaikan fenomena gunung es, puncaknya saja yang kelihatan, sementara yang berada di bawahnya lebih dahsyat lagi. Pasien yang tidak dibawa ke rumah sakit juga tak terhitung jumlahnya. Ada yang dirantai keluarganya, ada juga yang tidak dihiraukan keluarganya sehingga berkeliaran di kampung-kampung dan kota-kota. Pertanda apakah semua itu?

Dampak Organisasi

Reportase tersebut sedikit banyak memberi petunjuk bahwa pekerja saja masih mengalami gangguan jiwa akibat tidak kondusifnya suasana di tempat kerja, apalagi para pengangguran yang merupakan komunitas mayoritas yang terlupakan di negeri ini. Pekerja yang terganggu jiwanya bukan hanya monopoli pekerja kasar (the blue collar) yang berpayung matahari dan bergaji kecil, tapi juga dialami pekerja kantoran (the white collar) yang dimanjakan dengan aneka fasilitas luks.

Para pekerja tipe pertama dalam bekerja mengalami rasa keterpinggiran, terjerat, tertekan di lingkungan tempatnya bekerja, dan bingung dengan perasaan tak berarti. Hal itu diperburuk dengan keterampilan yang tidak memadai, kecakapan mental yang belum sempurna, serta pelatihan dan magang kerja yang minim.

Gaji yang tidak sebanding dengan kerja dan tuntutan hidup yang tak tertahankan, membuat mereka iri dan malu bercampur marah. Dari percampuran tiga sifat itu, terjadilah kejadian dramatis. Kebencian berujung kepada depresi adalah reaksi terhadap frustrasi akan pengharapan-pengharapan mereka.

Kondisi itu berimbas pada ketidakhadiran, keterlambatan, kelambanan produksi, alkoholik, dan bahkan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Ketika gagal, mereka akan mencerca siapa saja, khususnya para eksekutif dan majikan yang dianggap sebagai penghalang cita-cita. Hingga benarlah tesis FJ Braceland dan M Stock dalam Modern Psychiatry, bahwa "banyaknya risiko dan aktivitas dunia industrial modern bukan terletak pada mesin-mesin atau lingkungan yang penuh limbah, melainkan pada orang-orang yang mengoperasikan mesin dan efek dari sikap-sikap psikologis yang mengandung racun (toxi-psychology)."

Belitan Masalah

Sementara itu tipe pekerja kedua, di antaranya guru, dosen, jurnalis, sipil, militer, dan eksekutif, mengidap penyakit akut bernama white collar complex. Mereka diikat oleh belitan masalah perusahaan, sekat kode etik organisasi, dan prosedural birokrasi yang bagai lingkaran setan.

Hal itu memicu terjadinya konflik-konflik laten yang tak berkesudahan antara individu dengan keinginan-keinginannya serta dengan peranan yang ia mainkan. Tipe pekerja tersebut sering kali menyembunyikan pikiran-pikiran mereka dengan cara melontarkan omelan dan ocehan yang tak berarti. Tak henti-hentinya dijerat lingkaran kekalahan sendiri. Pengidap penyakit itu mudah sekali menjadi sekawanan yang dikendalikan oleh pemikir yang bebal (J Maurus, 2005: 46-48).

Humanis Erich Fromm dalam karyanya To Have or To Be menunjuk organisasi industrial sebagai biangnya. Menurutnya, "Organisasi itu mereduksi kerja mesin, diatur oleh irama dan permintaan. Ia mentransformasikan dirinya ke dalam homo consumen, yang tujuannya semata-mata memiliki (have) lebih banyak dan menggunakan (use) lebih banyak. Masyarakat itu banyak menciptakan hal yang sia-sia, dan pada level yang sama banyak orang yang tidak berguna."

Pendapat tersebut memiliki garis singgung dengan kritik Edward W Said (1995) tentang mental kaum profesional yang kaku, yang menganggap kerja profesional sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk penghidupan yang berdurasi antara pukul sembilan pagi sampai pukul lima sore, dengan sebelah mata tertuju pada jam dan sebelahnya lagi melirik pada apa yang dianggap pantas atau profesional.

Karena itu, tak mengherankan jika amat langka ditemukan birokrat yang kreatif dalam situasi kerja seperti tersebut.

Jalan Keluar

Orang bijak selalu berkhotbah agar seseorang tidak sampai terjerembab pada lubang yang sama untuk kali kedua, karena fenomena pekerja yang mengalami gangguan jiwa juga cacat fisik dan bahkan ada yang meninggal bagaikan fenomena gunung es yang amat kompleks.

Suasana yang tidak nyaman yang dialami pekerja, ada yang berasal dari diri pekerja sendiri (internal) dan ada pula yang berasal dari luar dirinya (eksternal).
Dari dalam diri pekerja sendiri, misalnya tidak terampil, kurang berpengalaman karena minimnya pelatihan, magang yang tidak memadai, dan pendidikan yang terbatas. Hal itu dapat diatasi dengan adanya pelatihan prakerja yang disediakan pemerintah.

Sementara itu yang eksternal, dipicu oleh pekerjaan dan loyalitas yang tidak setimpal dengan gaji dan tunjangan yang diberikan. Kondisi tersebut dapat ditanggulangi dengan adanya aturan regulasi yang jelas tentang hak-hak pekerja yang harus diberikan oleh pemilik perusahaan atau lembaga.

Bagi yang melanggar, diberikan sanksi tegas dengan cara dicabut izin usahanya. Bagi yang bekerja di luar negeri harus diikuti dengan jaminan keamanan dan kesejahteraan yang jelas hitam di atas putihnya dari pihak pengontrak.

Pekerjaan bagi manusia tidak sebatas untuk menyambung hidup dan meraih cita-cita, lebih dari itu bekerja sesungguhnya adalah untuk meningkatkan martabat dan harga diri. Bila tidak tersedia di daerah sendiri, pergi merantau ke daerah lain. Bila tidak tersedia di dalam negeri, negeri asing tak berpeta pun akan dijalani.

Karenanya, bila pemerintah gagal merealisasikan tiga item tersebut, negeri ini akan tetap memproduksi para pekerja yang bernasib buntung, yang masa depannya dipasung oleh keluarganya, masuk rumah sakit jiwa, cacat tubuhnya seumur hidup, atau lebih tragis lagi bunuh diri.(68)

--- Yusriandi Pagarah, kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana Yogyakarta.

Wacana, Suara Merdeka, Kamis, 22 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar