Sabtu, 10 Januari 2009

Muhammad dalam Sastra Goethe

Taufik Munir*

Adakah kata-kata yang lebih mengabadi selain syair atau puisi? Banyak kata yang dimuntahkan filsuf, pemikir atau nabi, namun —setelah kitab suci— syair selalu menjadi media komunikasi antargenerasi yang paling efektif. Ini dibuktikan oleh pencipta syair, yang meskipun mereka sudah tiada namun karyanya tetap berbicara, senandungnya senantiasa mendengung, kepak sayap syairnya selalu mendarat di telinga pendengarnya.

Van Goethe, penyair Jerman terkemuka abad-18 yang karyanya mengabadi hingga kini, berhasil merekam kemunculan Muhammad yang dianggapnya sebagai ‘seorang promotor revolusi sosial yang membawa nilai keadilan dan persaudaraan’. Kata-kata Muhammad begitu bertuah, siapa mendengarnya berbicara, kawan dan lawan akan tunduk membenarkan. Muhammad melebihi semua penyair dan raja yang mendahuluinya. Ketika Muhammad mengibarkan panji Quran, Goethe dengan lantang mengakui: "Kitab ini akan tetap mendapat tempat melampaui seluruh masa dan mempunyai pengaruh yang kuat."

Goethe sendiri terpengaruh. Bukan hanya pada seorang Muhammad, tapi juga pada sastra timur yang dikaguminya itu. Akhirnya pada 1771 dan 1772, ia berinteraksi langsung pada Alquran dan mulai fasih berbicara dengan Islam dan Muhammad. Sampai-sampai sebagian pemikir Jerman menganggapnya benar-benar masuk Islam, karena tulisannya yang banyak memuja nabi umat Islam itu. Tak aneh jika lantas mereka menuduh Goethe ‘punya hubungan khusus’, lebih dari sekadar hubungan pribadi dengan Muhammad.

Terbukti pada tahun yang sama, Alquran berhasil diterjemahkan oleh Frederich Megerlin ke dalam bahasa Jerman dan untuk pertama kalinya terbit. Reaksinya begitu cepat, salah satu halaman edisi ‘kritikus sastra Frankfurt’ memuat kritik tematis terhadap pusat penerjemahan Alquran itu. Dilihat dari gaya bahasa dan cara pengungkapannya, penulis yang protes itu ternyata Goethe.

Protes gencar tersebut membuktikan, Goethe secara eksplisit mengikrarkan diri pada kekecewaannya terhadap penerjemahan yang serampangan itu. Barangkali karena Goethe punya persepsi lain tentang Alquran, jauh lebih banyak dari gambaran yang diungkapkan penerjemah itu. Terlebih lagi Megerlin menulis tentang Alquran dan Nabi tidak dengan sebenarnya.

Goethe begitu intens mempelajari bahasa dan sastra Arab, baik yang tertulis dalam antologi karya sastranya atau buku ilmiah yang ia tulis. Salah satu bukunya West-Ostlicher Divan yang berarti Sastra Timur Oleh Pengarang Barat, sebagai contoh. Selain ditulis dalam bahasa Jerman, juga ditulis teks Arabnya Al-Diwan Al-Sharq Li Al-Mu’allif Al-Gharbi. Demikian juga dengan judul puisi yang ia tulis, hampir semuanya berbahasa Arab. Maka tak heran hampir di tiap karya Goethe akan ditemukan judul seperti: Moganni Nameh yang berarti Al-Mughanni (Sang Penyanyi), Uschk Name yang berarti kitab Al-’Usyq (bab cinta), Tefkir Nameh yang asalnya kitab al-Tafkir (bab perenungan), dan ratusan judul yang berbau Arab lainnya.

Penulis mencoba menulis apa yang dikatakan Goethe dalam semua karyanya itu. Dalam salah satu pasal khusus berjudul Mohammad berbentuk prosa, Goethe memulai ceritanya tentang kemunculan seorang nabi akhir zaman: "Saat kita berkontemplasi, kita terbiasa melihat sesuatu dengan pola pandang sastra, atau --setidaknya— kita merujuk ke sana. Namun yang juga relevan dengan tujuan kita sejak pertama adalah memberi pengkabaran tentang tokoh yang luar biasa itu --seperti yang ia umumkan sendiri dan menegaskan dengan pasti— bahwa ia hanyalah seorang Nabi, dan ini berarti, Goethe tidak merasa puas dengan menyebutkan keagungan dan kekuatan pribadi Muhammad pada syair dalam antologi itu. Bahkan ia seolah ingin menegaskan keyakinannya pada keagungan pribadi Sang Nabi, tanpa harus diletakkan pada tabir fantasisme syair atau dialogisme drama.

Untuk penegasannya itu, dalam halaman yang lain, Goethe menjelaskan lebih jauh tentang perbedaan antara Nabi dan Penyair. Kata Goethe: "Kalau kita ingin memberi batas pembeda antara seorang penyair dan Nabi, jelas kita akan jawab bahwa keduanya inspirasi Tuhan dan dalam perlindungan Nya."

Seorang penyair pasti dihibahkan Tuhan dengan rasa nikmat tiada tara dan berupaya mengekspresikan ekstasisme syair itu sedemkian rupa, sehingga berhasil menjadi suatu keindahan yang berlipat-lipat dan itu berarti akan mengenyampingkan motivasi lain.
Sementara, seorang nabi tidak demikian. Ia tidak akan pernah melihat kecuali pada suatu posisi mata bidikan tertentu, selalu menggunakan segala fasilitas untuk mencapai tujuannya dengan cara termudah. Nabi selalu ingin menunjukkan suatu keyakinan tertentu, mengorganisasi semua bangsa di sekitarnya, seolah bermimpi tengah menggenggam dunia dalam satu panji. Untuk tujuan ini, seorang nabi ingin dunia rela bahwa ia seakan tengah menjejaki langkah dalam satu nada. (West-Ostclicher Divan).

Jika kita mencoba untuk meninggalkan antologi Goethe barang sejenak, kemudian beralih pada sebagian karya Goethe yang lain, serta merata kita akan menemukan keberanian langka yang dimiliki Goethe saat ia menyatakan: "Bagaimana pun saya tidak akan pernah mampu melihat bahwa Muhammad seorang penipu." —Gesammelte Werke (Dichtung und Wahreit) 6/600.

Terlebih lagi ada berbagai macam saksi yang menunjukkan, di balik keyakinan Goethe terdapat akar masa silam yang menyemburat dalam benaknya, membentang dari empat puluh tahun perjalanan hidupnya saat ia merintis karya tulis tentang ‘Muhammad’ untuk teater yang tak pernah rampung hingga 1773.

Upaya menulis karya teater itu disebutkan dalam sebuah buku hariannya: "Sebelumnya aku sudah membaca kehidupan Nabi dari Timur itu dalam waktu singkat dan kupelajari dengan hati-hati, karena itu aku merasa siap ketika ide itu muncul". Dari pengakuannya ini, berarti tokoh ini telah membentuk keyakinan terhadap Nabi umat Islam itu sejak sekitar 1772, yaitu sebelum ia mulai menulis karya teater, dan ternyata berkelanjutan terus hingga buku Dichtung und Wahreit itu diterbitkan antara 1811-1814.

Dengan kata lain, cetakan kedua buku tersebut dimulai beberapa saat sebelum ia meninggal dunia, justru terbit setelah ia meninggal yaitu pada 1831-1833 tanpa perubahan sedikit pun dari yang ditulisnya tentang Nabi mulia itu. Dengan analisis tambahan ini dapat kita simpulkan: keyakinannya pada kenabian Muhammad terus berlanjut sekitar 60 tahun hingga ia meninggal pada 1832.

Untaian kalimat indah dari sang Nabi: "Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan para Nabi sebelumku bagaikan seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah. Ia memperbagus dan mempercantik rumah itu kecuali satu tempat batu bata di sebelah pojok. Rumah itu membuat orang-orang takjub dan berputar mengelilingi dan memujanya. Lantas mereka berkata: Mengata tidak engkau letakkan batu bata ini?"
Jawab Muhammad: "Akulah batu bata itu. Dan akulah penutup segala Nabi." (Ibnu Hajar Al-Asqalani: 43/14).

*Mahasiswa Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo (E-mail: religiusta@softhome.net)

Sumber: http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=404&page=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar