Jumat, 09 Januari 2009

Gagasan Masyarakat Kitab

Yusriandi Pagarah*

Belakangan ini kita “dimanjakan” oleh berbagai tindak kekerasan dan praktik anarkisme di berbagai lini dengan beraneka motif dan modus operandi. Seakan-akan berbagai laku kriminalitas di negeri ini ada berkarung-karung dan berlapis-lapis.

Pengamalan agama atau tafsiran kitab suci yang bias diklaim sebagai pemicu beragam komplik itu. Agama dijadikan “tersangka”, dan dalam hitungan menit sebagai “terdakwa” akibat ulah pembelanya yang berwawasan sempit dan ingin benar sendiri.

Pluralisme sebagai Keniscayaan

Adalah suatu kenyataan historis yang tidak dapat disangkal bahwa bumi manusia hanya satu, sementara penghuninya terkotakan dalam berbagai suku, agama, ras, bangsa, profesi, golongan dan budaya. Membayangkan agar dalam kehidupan ini hanya terdapat satu agama, tampaknya hanya ilusi semata. Yang dibutuhkan manusia bukanlah menjadi satu dan sama dalam hal agama, tapi bagaimana menyikapi pluralitas agama dan keyakinan secara dewasa dan cerdas. Mengakui pluralisme berbanding lurus dengan sikap inklusivisme. Memandang penganut agama lain sebagai teman atau tetangga, bahkan sebagai saudara. Dari sini akan tampil interaksi sosial antaragama, keyakinan dan ideologi yang harmonis. (Ruslani, 2000: 20-21)

Dialog sangat dibutuhkan di tengah pluralisme. Dalam konteks pluralisme agama, pluralisme berkait-kelindan dengan keragaman kebertuhanan dan keyakinan, dengan menampilkan pluralisme budaya sebagai latar belakang yang menjadi basis pemahaman. (M.W. Nafis, 1998: 92). Dialog yang dialogis akan meumbuhlkan sikap terbuka dalam beragama, ramah dalam perbedaan. Juga akan mengikis mentalitas ingin benar sendiri dan bersigegas menghakimi orang lain.

Menarik sesungguhnya metafor “pintu-pintu menuju Tuhan” yang digagas almarhum Cak Nur. Sesungguhnya kita berasal dan menuju tempat yang sama, yaitu Tuhan. Jalan dan cara ke sana yang membedakan kita. Dalam persfektif filsafat ilmu Imrẻ Lakatos, Tuhan adalah hard care yang sama, sedangkan jalan dan cara mencari Tuhan yang berbeda-beda sebagai protective belt-nya.

Menuju Masyarakat Kitab

Definisi kawan dan lawan tampaknya ada dalam tradisi setiap agama, dan biasanya ditentukan secara etis, bahkan politis. Dalam agama Islam misalnya, banyak istilah teknis yang dipakai untuk mengidentifikasi diri dan orang lain dalam oposisi biner yang harus dievaluasi, seperti islam-kafir, iman-murtad, ahl al-zimmi-ahl al-harb. Dalam konteks dialog antaragama, istilah Ahl Al-Kitab sering dijadikan titik berangkat sekaligus titik fokus.

Ada beberapa masalah dalam membahas Ahl Al-Kitab sebagai kelompok agama kontemporer yang dianggap sama dengan yang dimaksud al-Qur’an. Posisi al-Qur’an terhadap Ahl Al-Kitab, bahkan pengertian siapa yang dimaksud dengan term tersebut, berkembang dalam beberapa fase. Memang ada kesepakatan bahwa istilah ini selalu ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang ditemui Nabi selama misi kenabiannya. Al-Qur’an pada dasarnya hanya menyinggung keyakinan dan prilaku kaum Ahl Al-Kitab yang benar-benar mengalami kontak sosial dengan Muslim awal. Sementara itu, menyamakan begitu saja kategori al-Qur’an tentang Ahl Al-Kitab dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam masyarakat kontemporer berarti mengabaikan realitas historis masyarakat Madinah, serta perbedaan teologis antara kaum Yahudi dan Nasrani dulu dan sekarang. (F. Esack, 2000: 198)

Namun pada dasarnya, bila ditelusuri lebih jauh lagi, pembicaraan al-Qur’an tentang Ahl Al-Kitab sangat apresiatif. Bahkan peringatan dan kecaman kepada mereka masih mengindikasikan adanya uluran tangan. Permusuhan bukan karena faktor agama, tapi lebih pada sikap eksklusif, gugusan ekonomi, dan kepentingan politik praktis. (M. Ghalib, 1998: 188-9)

Sementara itu, Mohammed Arkoun—pemikir Islam terkemuka kelahiran Aljazair yang menjadi guru besar di Universitas Sarbone Prancis—memberi pemaknaan yang lebih segar tentang term Ahl Al-Kitab, yaitu Masyarakat Kitab. Arkoun (1994) ingin keluar dari polemis dan belitan teologis yang bias. Juga ingin melampaui, passing over, pembacaan konvensional untuk mengintegrasikan berbagai aspek tradisi, tingkat realitas, metode analisis, dan cakrawala pengetahuan yang dipengaruhi paham positivisme dan terkurung oleh nalar modern yang rasis.

Ketika membicarakan Masyarakat Kitab, Arkoun menggunakan metode historis dan antropologis mengenai wahyu yang memunculkan tiga tradisi agama Semit atau Abrahamic Religions, Yahudi, Kristen dan Islam. Kedua metode itu melahirkan pemahaman baru tentang setting sejarah munculnya kitab suci dalam agama-agama wahyu. Bagi Arkoun, agama berada di tengah masyarakat dan dalam sejarah manusia, bukan di atasnya. (Ruslani, 2000: 121) Lebih jauh pembacaan Arkoun tentang Ahl Al-Kitab berimplikasi untuk mengakui komunitas agama non-Semitik Suatu tawaran yang tidak hanya bernas dan relevan dengan perkembangan zaman, tapi juga harus dikembangkan dalam tataran praksis. Agar pesan damai dan fungsi agama untuk menenangkan hati dan pikiran manusia benar-benar hadir di tengah-tengah realitas sosial masyarakat.

*Kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana Jogjakarta.

Opini, Bali Pos, Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar