Jumat, 09 Januari 2009

Perihal Kejahatan Menurut Durkheim

Yusriandi Pagarah*

Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog kenamaan berkebangsaan Prancis, tentu sangat familiar di kalangan teorikus sosial dan peminat studi kebudayaan. Bahkan di antara pakar sosial dan kebudayaan, ada yang menganut mazhab Durkheimian ketika melakukan penilaian terhadap berbagai gejala sosial yang mencuat di tengah masyarakat. Kontribusi Durkheim pada ranah pengetahuan bukan sekadar karena di tangannya sosiologi menjadi sebuah disiplin ilmu yang otonom.

Seturut Tom Campbell (1994: 14, 164), sebagai teorikus masyarakat, setidaknya ada dua sumbangsih utama Durkheim. Pertama, sebagaimana halnya Thomas Hobbes, Durkheim tidak semata-mata melukiskan kehidupan sosial atau menceritakan sejarah perkembangan sosial demi kehidupan sosial atau sejarah perkembangan sosial itu sendiri. Tetapi lebih pada sumbangan teoritisnya yang memandu bagaimana kita melihat dan kemudian menilai relasi-relasi sosial di tengah masyarakat. Membaca karya-karya Durkheim tidak semata kaya dengan informasi atau penyajian bahan mentah, tetapi lebih karena ia mempersenjatai kita dengan pemahaman yang hujam mengenai fenomena sosial.

Kedua, Durkheim meyakinkan semua orang bahwa sebuah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat dapat membantu kita dalam memecahkan pelbagai persoalan moral dan intelektual masyarakat. Ia memperkaya khazanah lokus dan habitus pengetahuan kita dalam memilah dan memilih pelbagai persoalan sosial yang ada di masyarakat. Tingkah laku dan sepak terjang manusia tidak lagi ditetak dari satu sudut pandang normatif-etis semata, yang berbuhul pada moralitas agama, norma tradisi, atau etika teologi, tetapi dapat juga diurai dari sudut pandang ilmiah.

Dua hal tersebut dapat kita inderai dari publikasi-publikasi karya teoritis Durkheim, seperti The Division of Labour (1893) yang membahas hakikat solidaritas masyarakat, Suicide (1879) yang mengulas sebab-sebab sosial seseorang melakukan bunuh diri, dan The Elementary Form of Religious Life (1912) yang memaparkan secara bernas fungsi agama pada masyarakat primitif. Kritik pedasnya terhadap para teoretikus sosial yang melakukan distansiasi tanpa prasangka pada realitas sosial laiknya seorang ilmuan, dapat dibaca dalam Rules of Sociological Method (1895).

Perihal kejahatan

Salah satu ancangan khas mantan guru besar ilmu sosial Universitas Bordeux dan profesor sosiologi Universitas Sorbonne Paris tersebut adalah teorinya tentang kejahatan. Teorinya tersebut tidak saja membuat geger kaum moralis, tetapi juga membuat para penguasa gerah bagai orang kebakaran jenggot. Durkheim mencoba membalikkan asumsi mengenai kejahatan yang dirancang teoretikus sosial atau anggapan umum yang tertanam di tengah masyarakat selama ini.

Durkheim mempertanyakan, apakah kejahatan merupakan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat, ataukah suatu bentuk tingkah laku yang muncul sebagai produk yang dihasilkan masyarakatnya? Apakah perbuatan adalah jahat sehingga masyarakat mengutuknya, atau suatu perbuatan menjadi jahat karena masyarakat terus-menerus mengutuknya? Dengan lain perkataan, apakah masyarakat memang menjadi korban dari seseorang yang dianggap kriminal, ataukah sebaliknya, seorang kriminal adalah korban perlakuan dan sikap masyarakatnya yang memandangnya sebagai penjahat?

Intisari teori dan logika terbalik Durkheim yang relatif sederhana ini, sangat relevan dan dapat membantu kita untuk menganalisis berbagai tingkah laku menyimpang (deviant behavior) yang tak putus-putusnya dilakukan masyarakat Indonesia dewasa ini. Mengikuti logika atau alur pikir teori ini, dapat dipertanyakan juga hubungan antara tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku para pemimpinnya. Apakah suatu kejahatan harus dilihat sebagai penyelewengan dari keinginan normatif para pemimpin, ataukah sebagai hasil sosialisasi tingkah laku empiris para pemimpinnya?

Dampak hipokrisi penguasa ini melahirkan ekses negatif yang begitu panjang dan berbahaya di tengah-tengah masyarakat. Aksi kapak merah di lampu merah adalah cermin dari penguasa yang menggarong uang negara tanpa ada proses hukum yang jelas. Lemahnya etos kerja masyarakat berbanding lurus dengan mental anggota dewan yang sering bolos dari gedung DPR atau mendekur ketika rapat tentang masayarakat yang notabene konstituennya. Maraknya illegal loging menggambarkan betapa lemahnya koordinasi antar aparat terkait atau lembaga berwenang dan begitu leluasanya praktik suap berkembang biak. Beredarnya video mesum pelajar dan mahasiswa cermin gagalnya lembaga pendidikan menjalankan fungsi profetisnya untuk mencerdaskan bangsa.

Aksi mogok buruh dan demo anarkis pekerja dipicu oleh ulah pengusaha yang ingin menang sendiri dan pemilik kapital yang abai pada kesejahteraan karyawannya. Sinisme pemeluk agama dan kelompok keagamaan belakangan ini dampak dari sibuknya pemimpin agama memikirkan dirinya sendiri atau tergoda dunia politik. Pergaulan bebas remaja yang kebablasan akibat dari gagalnya orang tua memberi teladan yang baik kepada anaknya. Maraknya tempat-tempat mesum akibat dari lemahnya kontrol sosial dari masyarakat sekitarnya (Ignas Kleden, 1999: 197).

Tesis Durkheim ini sesungguhnya juga berkoreferensi dengan—untuk tidak mengatakan menjustifikasi—hasil penelitian Unicef tentang tindak kekerasan di tiga daerah, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan yang dirilis di penghujung tahun lalu. Dalam laporannya, lembaga internasional tersebut menunjuk orang tua dan guru yang paling banyak melakukan tindakan kekerasan. Dengan lain perkataan, tindak kekerasan di negeri ini diturunkan dari atas. Prilaku masyarakat merupakan cermin dari prilaku penguasa. Air cucuran atap jatuhnya tidak jauh dari belanga. Guru kencing berdiri murid kencing berlari.

Bila lingkaran setan ini tidak segera dipungkasi, akan melahirkan praktik-praktik penyimpangan yang akan memakan ongkos sosial yang lebih mahal. Juga akan melahirkan berbagai efek negatif yang meresahkan masyarakat. Suatu hal yang sesungguhnya telah menjadi kegelisahan Durkheim dalam karya-karya teoritisnya yang kini terbilang klasik itu. Namun tetap relevan dirujuk untuk menyigi aneka fenomena sosial akut saat ini.***

*Kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana Jogjakarta

Opini,Sinar Harapan, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar