Selasa, 06 Januari 2009

Mending Bikin Jurnal, Daripada...!!!

Yusriandi Pagarah

Beberapa waktu lalu di Bentara Budaya Yogyakarta dihelat launching sebuah jurnal. Yang menarik bukan nama jurnalnya yang tergolong unik, apalagi warna cover-nya yang tidak lazim untuk ukuran sebuah jurnal. Yang berkesan bukan temanya yang mantap: Menggugat Indonesia! Bukan juga karena pembicaranya St. Sunardi, Eko Prasetyo dan Dian Yanuardy, di mana ketiganya terkenal bicara blak-blakan dan kritiknya yang garang terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Sehingga seringkali dapat aplaus meriah dari peserta. Berkesan lantaran dikemas dalam laku kesederhanaan menyambut peringatan seabad kebangkitan nasional Indonesia, di saat kehidupan masyarakat berada di bawah taraf kehidupan masa kolonial. Sama sekali juga bukan.

Hari gini bikin jurnal? Berbagai jawaban mungkin berkeseleweran dari mulut diiringi gerak tubuh genit anak muda zaman sekarang. Mulai dari capek deh!, huh, masa sih?, pliizz zonk, idih, ya iyalah yaw hingga yuk ya yuk…Tapi inilah pokok masalahnya. Justru di situlah letak menariknya. Pada zaman 3G dan Nico Siahaan ini masih ada anak muda yang membuat jurnal. Pada era ratting tinggi sinetron remaja yang dipenuhi dengan gaya pacaran anak SD-SMP, masih sempat mikir gituan. Pada masa jaya Dewi-Dewi ini masih sempat bikin sesuatu yang tidak marketable. Apalagi tidak dengan motif bonafid. Andai pun ada motif laba, hanya seberapa?

Banyak jurnal mapan dan telah berusia lama yang didukung oleh korporasi dan jaringan bisnis yang kokoh atau disokong oleh aktor intelektual yang mumpuni, toh pada akhirnya gulung tikar juga. Kalau pun hidup, mengalami nasib seperti sebuah larik lagu rock: antara ada dan tiada! Tapi sekali lagi, di situlah letak menariknya. Justru di sanalah letak berkesannya.

Apa pasal dan kenapa memang?! Karena jurnal tersebut dikelola dan kelahirannya diprakarsai oleh sekelompok anak muda. Imut-imut lagi. Dilihat dari segi usia, sebenarnya mereka sedang asyik-asyiknya pacaran. Atau lagi giat-giatnya memasang perangkap dan mengintai target untuk dijadikan teman kencan, pergi ke mall, pendamping ke bioskop atau menonton konser, teman weekend, atau berlibur ke luar kota. Ternyata mereka tidak.

Benci tapi rindu, nyebelin tapi ngangenin. Frase tersebut barangkali dapat mewakili tentang sikap anak muda hari ini. Kita muak dengan prilaku anak muda zaman sekarang yang tiap inci waktunya habis untuk kencan, pacaran dan mabuk-mabukan. Tiap jengkal langkahnya terpaku di ruang-ruang semu digital atau di dunia remang-remang. Detik-detik usianya terlewati mubazir di meja-meja judi, play station dan biliar. Atau malam-malamnya larut di kafe, disko dan klab malam. Seakan-akan hidupnya hanya untuk berfoya-foya dan menghamburkan harta orang tua. Kalender hidupnya hanya menjalani takdir menghadiri satu pesta ke pesta berikutnya.

Namun kita temukan juga kelompok anak muda yang lain, yang tidak larut dalam jalinan massif konsumerisme dan prilaku hedonis akut. Seperti anak muda di atas, yang berani berkata tidak untuk foya-foya, tidak untuk berleha-leha. Bahkan di tempat-tempat lain, yang jauh dari hiruk pikuk musik dan kerlap-kerlip lampu diskotik, kita temukan juga kelompok anak muda menggelar tikar diskusi dan menghilir-mudikan wacana, bukan menggilir ganja apalagi pesta seks. Mereka yang berprinsip bahwa berdiskusi berarti berbagi dan merangkai kata berarti mengasah asa. Mereka inilah yang membuat sesak acara launching jurnal, bedah buku, atau pameran buku, bukan karena ditulis atau dihadiri oleh selebriti.

Setibanya di rumah atau di kontrakan merancang bulletin dan bagan majalah dinding. Mereka inilah yang membiakkan tulisan, meski hanya ruang resensi, rubrik prokon aktivis, atau suara mahasiswa. Tak jadi soal. Mereka yang memaklumkan bahwa jalinan silaturahmi dan kenangan pertemanan tidak mesti dirayakan dengan naik gunung, jalan-jalan ke Anyer, Puncak atau Bali. Bukan juga diabadikan dalam album photo dengan berbagai latar dan gaya atau saling tukar cenderamata cantik, melainkan dalam bentuk tulisan kroyokan atau antologi bersama.

Gosipnya bukan tentang baju baru dan pacar baru, tapi tentang koleksi buku baru dan tulisan terbaru. Tak malu menawarkan ke penerbit antologi cerpen sentimentil, puisi puber, novel di bawah standar, buku how to, atau malahan kumpulan doa dan mantra. Tak berkecil hati bila tulisannya ditolak redaktur media berkali-kali, atau hanya menghiasi media-media lokal atau media komunitas. Tak apa.

Eksistensinya diekspresikan bukan dengan tawuran bila jagoannya kalah di kandang, seperti mayoritas suporter sepakbola negeri ini. Atau marah karena kesenggol waktu acara dangdutan dan pasar malam. Supaya keberadaanya diakui, tidak mengambil jalan pintas dengan cara-cara anarkis dan penyelesaian persoalan yang tak bermoral. Kemenangan atau pun kekalahan tidak diluapkan dengan acara kebut-kebutan motor di jalan raya, apalagi sambil teler-teleran.

Negeri ini butuh anak muda yang enerjik dan kreatif untuk menghadang para tetua udik yang dikerangkeng ideologi kolot dan pro status quo. Negeri ini butuh tenaga dan pikiran dari anak muda yang cerdas, memiliki gagasan bernas, dan imajinasi liar untuk keluar dari ragam kepedihan sosial yang membuat lebam keadaan. Anak muda yang menulis lebih mulia daripada yang bikin atau ikut LSM yang tak jelas juntrungnya, yang hanya mendidik dan menyemaikan benih korupsi melalui mark-up dana proyek.

Lebih terhormat ketimbang berapat tentang RUU dan Perda yang mustahil diterapkan, apalagi sebagai tim sukses para politisi busuk atau simpatisan partai baru yang membutuhkan massa demi memenuhi kuota ikut pemilu musim depan. Bahkan lebih terhormat lagi daripada mereka yang turun ke jalanan karena dibayar atau entah membela siapa hingga memacetkan jalan-jalan protokol. Menulis berarti menggelontorkan ide-ide dan harapan-harapan baru di tengah kebuntuan pikiran-pikiran alternatif dan kepedihan sosial yang tak tertanggungkan. Pak Nal, Bu Ayuk, bikin jurnal yuk! Yuk ya yuk…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar