Jumat, 09 Januari 2009

Pak Koes, Buku Yang Selalu Terbuka…

Judul : Menebar Budi Menuai Sahabat: Mozaik Obituari Prof. Dr.
Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L.
Penulis : Emil Salim, dkk.
Editor : M. Nasruddin Anshory Ch & Ana Nadya Abrar
Penerbit : Yayasan Koesnadi Hardjasoemantri (YKH), Jakarta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : xxxiv + 301 hlm.


Yusriandi Pagarah*

Pada pagi Rabu yang cerah tanggal 7 Maret 2007 silam, masyarakat Yogyakarta dan Indonesia dikejutkan dengan berita jatuhnya pesawat terbang Garuda, Boeing 737/400 dengan nomor penerbangan GA-200 rute Jakarta-Yogyakarta pada pukul 06.57 WIB. Peristiwa tersebut terjadi di kebun kacang, 300 meter di sisi timur landasan pacu Bandara Adisucipto Yogyakarta. Pesawat naas tersebut memuat 140 penumpang dengan rincian 133 penumpang, 5 awak kabin, ditambah seorang pilot dan seorang kopilot. Sebanyak 21 penumpang dipastikan tewas dalam musibah itu. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri atau akrab dipanggil Pak Koes, dipastikan salah satu dari 21 korban yang hangus terbakar. Kepastian tersebut didapat sekitar pukul 23.30 WIB jelang tengah malam oleh Tim Forensik Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta melalui gigi yang dicocokkan dengan dokter gigi yang biasa merawatnya.

Pak Koes adalah pahlawan sejati. Kiprahnya dimulai sejak masa kolonial. Pak Koes muda telah mengangkat senjata dan bergerilya keluar-masuk hutan di sejumlah tempat di pedalaman Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Karena yakin dengan jalur pendidikan, pasca kemerdekaan Pak Koes muda meninggalkan barak tentara dan memilih melanjutkan studi hukum ke UGM. Sebagai orang yang berpikiran maju, ia tak malu menuntut ilmu ke Universitas Leiden Belanda, negeri penjajah yang pernah membuyarkan mimpi masa kecilnya. Di negeri Robin van Persie, bintang muda Arsenal FC itu, Pak Koes menyelesaikan magister dan doktor spesialisasi hukum lingkungan.

Di Kota Revolusi Yogyakarta, Pak Koes muda melahirkan ide cemerlang dan terorobosan alternatif untuk masa depan bangsa, akibat dicabik-cabik bangsa kolonial. Pada tahun 1951, Pak Koes muda mencetuskan ide tentang Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) sebagai duta perguruan tinggi. Proyek PTM ini kemudian hari berganti nama menjadi Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diadopsi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, dan pernah dipimpinnya sampai tahun 1962. Karena kian surutnya jumlah mahasiswa daerah yang kuliah di PTN pulau Jawa, baik karena kalah bersaing, tidak punya biaya atau akses, Pak Koes mencetuskan program Penelusuran Bibit Unggul Daerah (PBUD). Hal ini mencerminkan bahwa pemerataan pendidikan itu perlu. Lebih dari itu, sesungguhnya Pak Koes ingin mengatakan bahwa “orang daerah” itu juga cerdas.

Pak Koes adalah humanis par exellent. Di manapun ia ditempatkan, tak pernah ia memangkas harapan siapapun, apalagi sampai meremehkan potensi seseorang. Sewaktu menjabat Kepala Direktorat Pendidikan Tinggi, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Den Haag, atau Sekretaris Menteri Lingkungan Hidup, banyak pihak yang terbantu karena kebaikan hatinya. Kala menjadi Rektor UGM, ia tak malu kampus yang megah itu dijejali pedagang kaki lima. Ia tak segan menemani mahasiswa berdemo, apalagi di zaman di mana orang pelat merah tabu turun ke jalan. Kantor dan juga rumahnya, selalu terbuka bagi siapa saja, asalkan lampu terasnya masih menyala. Ia bukan tipe birokrat berkomitmen aneh, selagi bisa dipersulit mengapa dipermudah. Ia jadi rebutan mahasiswa sebagai pembimbing skripsi, tesis, dan disertasi.

Benar, Pak Koes adalah sebuah buku yang selalu terbuka. Bahkan lebih dari itu, ia adalah sebuah diskursus. Selalu terbuka untuk ditafsir ulang dan dikembangkan. Prisma pemikiran cemerlangnya yang merentang dalam berbagai aspek dan dalam berbagai forum, perlu diimplementasikan. Betul, Akang Uus kebanggaan keluarga. Betul Prof. Koes kepunyaan UGM. Tapi sebagai buku yang selalu terbuka atau sebagai diskursus, Pak Koes adalah kepunyaan dan kebanggaan siapa saja. Disaat sentimen antar perguruan tinggi memuncak, sebagai orang UGM, ia tak “malu” mengelola magister hukum UI atau membimbing disertasi di UIN Yogyakarta. Ia pun bersedia mengelola Universitas Pancasila dan Institut Sains dan Teknologi Nasional Ckini Jakarta. Baginya membangun perguruan tinggi di daerah tandus dan miskin, seperti Universitas Gunung Kidul, tak jadi soal dan malahan perlu.

Kini, kenangan bersama “sang lumrah” bagi sesiapa saja yang bersimpati pada “dia” yang lahir pada tanggal 9 Desember 1929 di Manonjaya Tasikmalaya Jawa Barat ini, akan disimpan rapi dalam etalase memori. Mungkin usia 80 tahun serasa singkat bagi seorang Pak Koes. Karena itu sepanjang hidupnya tak ada celah yang terbuang sia-sia, apalagi jadi aib diri. Sebagai sebuah diskursus, meski telah berkubur di Sawitsari, prisma pemikiran Pak Koes layak dipertimbangkan dan dikutip. Sebagai sebuah buku yang selalu terbuka, penerbitan obituari dari kerabat, kolega, dan mantan mahasiswa untuk mengenang pencetak “sang diktator” ini, patut disyukuri. Karena sosoknya adalah teladan yang jarang dijumpai, apalagi sekat-sekat arogansi intelektual, sentimen kelompok, dan tekanan spesialisasi sedang memuncak. Dan, akan lebih baik lagi bila prisma pemikirannya diterapkan demi masa depan bangsa ini.

*Kulturalis, bergiat pada Forum Kajian Lereng Merapi (For KaLeM) Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar