Kamis, 08 Januari 2009

Profesionalisme Mengancam Intelektualisme

Yusriandi Pagarah*

Saya berbicara dan menulis tentang hal yang lebih luas karena sebagai amatir saya dilecut oleh komitmen untuk melampaui karir profesional saya yang sempit.
--Edward W. Said—

Belakangan ini profesionalisme dan sertifikasi marak diperbincangkan dan diperdebatkan orang. Mencuatnya dua istilah tersebut dalam ranah akademis, setidaknya dipantik dan dilatari oleh dua hal yang sejatinya berkait-kelindan. Pertama, di masa lalu—dan bahkan sampai sekarang pun masih dapat diinderai—dunia pendidikan di negeri ini tak kunjung mencapai hasil seperti yang dicitakan. Pemegang kebijakan dan staf pengajar yang tidak berkompeten dijadikan biang keroknya. Alias tidak profesional.

Pada level pendidikan dasar dan menengah, misalnya, banyak ditemukan tenaga pendidik yang mengajar bukan pada bidang dan keahliannya. Sarjana fisika mengajar bahasa Inggris, sarjana agama mengajar pendidikan jasmani dan kesehatan dan lain sebagainya. Sedangkan pada level perguruan tinggi, ditemukan lulusan komunikasi memegang matakuliah oksidentalisme, sarjana teologi mengajar sejarah Eropa atau kebudayaan massa.

Kedua, karena di masa lalu tidak adanya profesionalisme yang berimbas stagnannya dunia akademis, sekarang dicari jalan keluarnya—untuk tidak mengatakan mencari kambing hitamnya—dengan cara menciptakan suatu prosedur perekrutan guru dan dosen yang terkesan intelek dan keren. Namanya sertifikasi guru dan dosen. Guru dan dosen yang lulus sertifikasi akan mendapat gaji dan tunjangan yang lebih dibandingkan dengan mereka yang tidak lulus. Mereka yang tidak lulus haknya sebagai tenaga pengajar akan dicabut, kemudian dikaryakan di tata usaha, pegawai perpustakaan atau bimbingan konseling.

Wabah profesionalisme

Edwar W. Said (1995), pengamat kebudayaan yang disegani dan penulis sejumlah buku laris, seperti Orientalism dan Culture and Imperialism, berpendapat bahwa ancaman khusus untuk intelektual saat ini, baik di Barat maupun di dunia non-Barat, bukanlah akademi, bukan pinggiran, bukan pula komersialisme yang mengerikan dari jurnalisme dan perusahaan penerbit. Menurutnya, ancaman terbesar bagi dunia intelektual adalah profesionalisme.

Profesionalisme yang dimaksudkan Said adalah anggapan bahwa pekerjaan sebagai intelektual merupakan sesuatu yang dilakukan untuk penghidupan yang berdurasi antara pukul sembilan pagi sampai pukul lima sore, dengan sebelah mata tertuju pada jam dan sebelahnya lagi melirik pada apa yang dianggap pantas atau profesional. Tidak sesat di luar paradigma atau limit yang diterima umum, a-politis, tidak kontroversial dan objektif, membuat seorang intelektual layak jual dan, di atas segalanya, dapat ditampilkan dan dirujuk publik.

Lebih jauh wacana profesionalisme dan tuntutan untuk bertindak secara profesional diyakini Said akan mengusik ketulusan, spontanitas dan hasrat seorang intelektual. Menurutnya, ada empat tekanan sebagai efek domino dari wabah profesionalisme, dimana keempat hal tersebut bukanlah khas masyarakat tertentu saja, tapi bersifat universal.

Pertama, tekanan spesialisasi. Spesialisasi merupakan tekanan instrumental yang selalu hadir dalam semua sistem pendidikan di mana pun. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin ia disekat dalam kawasan ilmu pengetahuan yang relatif sempit. Dalam studi sastra, misalnya, Said melihat spesialisasi dimaknai peningkatan formalisme teknis semata. Sementara rasa historis ketika menciptakan sebuah karya sastra semakin berkurang. Spesialisasi bermakna hilangnya pandangan akan upaya baku penciptaan karya seni dan ilmu pengetahuan. Spesialisasi juga membunuh rasa nikmat dan hasrat menemukan. Akhirnya, berpegang pada spesialisasi, berkoreferensi dengan sebuah kemalasan yang tak terampuni. Sebagai eksesnya, seseorang tidak bisa memandang ilmu pengetahuan dan seni sebagai pilihan atau keputusan, komitmen atau persekutuan, tapi hanya sebatas teori dan metodologi yang impersonal sifatnya.

Kedua, tekanan keahlian dan pakar bersertifikat. Fenomena intelektual bersertifikat, menurut Said, merupakan fenomena khas masyarakat pascaperang. Untuk menjadi pakar, seseorang harus memiliki sertifikat keluaran otoritas yang layak. Seseorang dikondisikan agar berbicara dalam bahasa yang benar, merujuk otoritas yang benar, dan menempati kawasan yang benar. Pascaperang dunia kedua misalnya, berbicara mengenai dunia politik yang bukan ilmuwan politik produk sistem universitas Amerika yang respek pada teori pembangunan dan keamanan nasional, dalam banyak kasus, tidak diperbolehkan. Seseorang akan ditentang karena dianggap tidak berkompeten. Said dengan lugas menyatakan, bahwa keahlian hanya sedikit saja kaitannya dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Materi tentang perang Vietnam yang dipaparkan Noam Chomsky misalnya, menurut Said, lebih luas cakupan dan lebih akurat dibandingkan dengan tulisan pakar bersertifikat.

Dalam konteks Indonesia, penelitian Iip Wijayanto mengenai tindak-tanduk permisif mahasiswa/i Yogyakarta tidak diakui dan bahkan ditentang banyak orang. Hal itu disebabkan Iip Wijayanto bukanlah orang yang berkompeten di bidang tersebut. Kasus serupa dapat juga dicandra dari trik-trik sejumlah penulis muda, agar tulisannya dimuat di koran nasional, memanipulasi identitasnya sebagai pengamat inilah atau pemerhati itulah. Langkah tersebut diambil karena pihak media lebih terpukau oleh gelar akademis dan kepakaran seseorang ketimbang ketepatan analisis dan kualitas tulisan yang diperikan. Hingga banyak dijumpai seorang penulis memiliki banyak identitas, tergantung arah opini dan wacana aktual yang akan diapungkan.

Tekanan ketiga dari profesionalisme adalah penyimpangan kekuasaan dan otoritas di lingkungannya. Seseorang pakar di sebuah universitas tertentu merasa berada di atas angin karena embel-embel pakar dan ahli yang disematkan padanya. Berbekal otoritas tersebut, ia dapat berbuat semena-mena dan melakukan kontrol sesukanya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seorang guru akan marah besar bila pendapatnya ditentang oleh siswanya, atau seorang dosen mengancam akan mengundurkan diri sebagai pembimbing bila mahasiswa bersangkutan tidak mengindahkan kata dan sarannya. Kepakaran tidak saja menjadi bumerang bagi siswa dan mahasiswa untuk berkreasi, tetapi juga menjadi kartu as bagi guru/dosen untuk mendikte siswa atau mahasiswa yang kritis atau berbeda pandangan dengannya.

Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana misalnya departemen luar negeri dan departemen pertahanan Amerika dalam perang dunia kedua, mendanai riset universitas di bidang ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi. Tujuannya adalah untuk menyaingi kecanggihan senjata Uni Soviet dan Peking. Untuk meminimalisir pengaruh komunisme, pemerintah Amerika yang didukung donatur, korporasi, dan parlemennya mendanai sejumlah riset di Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Persoalan moralitas dan keadilan dikebiri demi terpenuhinya ambisi untuk dapat "berbuat banyak" dalam dunia global. Para intelektual, barangkali karena kantongnya tebal dan pekerjaannya berlisensi, tak lagi hirau dengan seruan nuraninya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang notabene basis dan tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

Keempat, dunia pendidikan menjadi agenda komersial dan politik. Karena profesionalisme telah menjadi kebutuhan sekaligus meracuni banyak orang, langkah selanjutnya yang diambil di antaranya adalah menciptakan lembaga riset dan akreditasi sebagai barometer dan kontrol mutu dunia pendidikan. Di sinilah pemerintah sangat berperan menciptakan iklim akademis yang seolah-olah demi profesionalisme dan peningkatan mutu pendidikan. Namun bila ditelusuri lebih jauh, hal tersebut hanyalah topeng pemerintah untuk membiakkan proyek dan menggelontorkan dana. Program-program yang diajukan dan diakui pemerintah tidak saja mengandung paradoks, tapi juga memanggul ambivalensi. Akreditasi yang tampaknya demi tujuan profetis bagi pengembangan dunia pendidikan itu sendiri, tapi tetap saja sarat intrik dan kental nuansa politisnya.

Amatirisme

Apa yang menjadi sorotan Said di atas dengan amat gamblangnya memperlihatkan bagaimana dari waktu ke waktu, ruang bagi peran intelektual secara individu, subjektif, dan sosial kian menyempit. Bahkan ada kesan tak tersisa lagi ruang sekadar untuk mengajukan pertanyaan dan menentang kebijakan atau praktik-praktik kekerasan lainnya. Seturut Said, program sosial yang menawarkan kontrak dan hadiah telah menyusut secara dramatis dibandingkan ratusan tahun silam ketika Sthepen Dedalus bisa mengatakan bahwa sebagai intelektual tugasnya sama sekali bukan mengabdi pada kekuasaan atau otoritas tertentu.

Dewasa ini, universitas di seantero dunia masih dapat menawarkan kepada intelektual ruang separo utopia, di mana refleksi dan riset bisa beriringan, kendati di bawah tekanan dan kendala baru. Persoalan pelik bagi intelektual adalah mencoba berhadapan dengan kendala profesionalisasi modern. Berpura-pura bahwa para intelektual tidak berada di sana atau mengingkari pengaruhnya, bukanlah solusi terbaik.

Said menawarkan perspektif amatirisme, yang secara harfiah berarti aktivitas yang digerakkan oleh rasa, cinta dan kepedulian, bukan terpesona oleh kompensasi laba, apalagi demi kepentingan pribadi serta menampik spesialisasi yang sempit. Intelektual saat ini harus menjadi amatir, yang menganggap bahwa dengan menjadi anggota masyarakat yang berpikir dan hirau, ia berhak memunculkan isu moral dalam kegiatan yang paling teknis dan profesional sekali pun. Spirit intelektual amatir dapat memasuki dan mengubah kerutinan profesional menjadi lebih hidup dan lebih radikal.

Menutup tulisan ini, penulis teringat dengan komentar seorang guru muda yang baru saja melepas masa lajangnya, "Bila sekarang perjuangan murid selama tiga tahun ditentukan oleh tiga mata pelajaran dalam durasi tiga jam, kelak pengabdian seorang guru akan dihargai dengan selembar kertas sakti yang bernama sertifikat. Keren, tapi berdarah-darah”.

*Yusriandi Pagarah, Kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar