Rabu, 07 Januari 2009

Surat Terbuka Untuk Perantau Minang

Yusriandi Pagarah*


Keratau madang di hulu, berbuah berbunga belum
Meranrau bujang dahulu, di kampung berguna belum

Demikian bunyi sebuah pantun yang menjadi dasar konsep merantau bagi orang Minang. Kata merantau pada mulanya berarti keluar dari luhak, asal tempat orang tua, sanak saudara dan kampung halaman menuju daerah pesisir dengan kota Padang sebagai tujuan utama perantauan. Seiring dengan perkembangan zaman dan pertukaran musim, konsep merantau juga mengalami evolusi. Merantau tidak lagi berkisar dari satu nagari ke nagari lain atau dari satu luhak ke luhak lainnya dalam lingkup bumi Minang---merantau lokal, tapi juga meninggalkan ranah Minang sendiri. (M..D. Mansur, 1970: 6-7)

Terjadinya evolusi dari merantau lokal menjadi merantau nasional dan bahkan merantau regional—andai boleh disebut demikian—seperti yang ditulis oleh sejumlah ahli, karena terdapatnya daya dorong dan daya tarik. Ranah Minang sebagai kampung halaman memiliki keterbatasan di segala bidang. Sebagai ranah Bundo yang berpegang pada konsep matrilinial, ranah Minang hanya menyediakan bekal diri sebaga modal untuk merantau. Karena keterbatasan tersebut, mendorong orang Minang untuk merantau mencari ranah yang lebih luas. Sedangkan daya tarik “pulau seberang” adalah kemajuannya dengan segala plus dan minusnya.

Konsep merantau ini pula yang menjadikan Minang sebagai daerah penghasil tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang jumlahnya melebihi proporsi wilayah dan populasinya dibandingkan dengan daerah-daerah atau suku bangsa-suku bangsa lain di Indonesia. Dalam rentang sejarah, ranah Minang telah melahirkan tokoh-tokoh politik, budaya, sastra, wartawan, diplomat dan pengusaha yang tak sedikit kontribusinya untuk kemajuan bangsa Indonesia. (Bakri Siregar, 1982: 76)

Kontur tragik

Dalam tulisan “Konstuksi Negatif yang Terus Dijalankan Orang-orang Minang dalam Sastra Indonesia”, Afrizal Malna (2005) memaparkan dengan begitu baik dan detailnya persoalan krusial orang Minang yang membutuhkan penyelesaian yang lekas dan bernas. Khazanah sastra sebagai salah satu tempat berkaca diri yang absah, sebagamana yang sampai sekarang masih diyakini oleh orang Minang dan terbukti terus bemunculannya penulis-penulis sastra berbakat dari ranah ini.

Afrizal mencoba melihat bagaimana geliat dan sepak tejang orang Minang dewasa ini melalui karya yang ditulis oleh sastrawan asal Minang sendiri. Pendulum kritik tersebut diarahkan kepada masyarakat Minang, terutama kepada para perantau. Hasil pembacaan Afrizal yang reflektif dan kitis terhadap sastra orang Minang tersebut sangat mengejutkan. Karena hasilnya berbanding terbalik dengan anggapan orang Minang sendiri dan berseberangan dengan pendapat orang tentang orang Minang selama ini, terutama terhadap perantaunya.

Dalam cerpen Kereta Itu Terus Memanjang karya Raudal Tanjuang Banua, Afrizal melihat bagaimana sesungguhnya orang Minang dilamun ombak dan dilibas tanpa ampun oleh tanah rantaunya. Adakalanya karena tidak punya pertahanan diri yang kuat berupa iman dan keyakinan yang teguh dari godaan tanah rantau yang memanng genit, dan adakalanya tidak punya modal memadai, baik modal finansial maupun modal skill. Sehingga di rantau hanya menjad penonton yang cemburu karena tidak mampu membeli “tiket pertandingan”. Kereta yang terus memanjang merupakan personifikasi dari pencarian yang tak kunjung didapat di perantauan.

Novel Abrar Yusra, Tanah Ombak, merurut Afrizal memberi isyarat bahwa tanah rantau telah tumbuh di tanah Minang sendiri. Apa yang tidak dapat dilihat di kampung halaman atau hal-hal “tabu” yang hanya dapat dinikmati di perantauan yang notabene tanah seberang saat ini telah tumbuh diam-diam di ranah Minang. Bahkan perkembanganya sangat signifikan dari waktu ke waktu. Abrar Yusra menunjuk nighclub sebagai representasi dari tanah rantau. Saat ini, meski secara sembunyi-sembunyi, telah tumbuh beberapa tempat hiburan dan permainan yang selama ini hanya terdapat di rantau.

Novel Tanah Ombak mengingatkan penulis pada cerita teman, seorang pengusaha photo copy di Pekalongan. Teman ini beroleh kabar bahwa di kampungnya yang masih tergolong udik dan terisolir itu telah dijumpai juga pergaulan bebas seperti di rantau. Apa yang dapat dibeli di rantau dapat juga dibeli di kampungnya, seperti ganja dan jajan perempuan. Pelakunya bukan saja anak muda tapi juga orang yang telah berkeluarga dan bahkan orang terkemuka seperti datuk dan ninik mamak. Sementara pelakunya ada yang berasal dari nagarinya sendiri dan ada juga yang didatangkan dari kampung sebelah. Tinggal SMS saja. Pengusaha muda ini beropini, barangkali karena itulah kakaknya tidak mau lagi balik ke Pekalongan karena apa yang ada di rantau sudah tersedia di kampung.

Dari investigasi Afrizal di atas dan juga dari cerita pengusaha muda tersebut, banyak hal sebenarnya yang patut direnungkankan dan dipertimbangkan. Afrizal menemukan—berdasarkan pembacaan terhadap karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Minang sendiri—bahwa rantau dengan segala derivasi dan polanya telah beralih haluan. Sayangnya perubahan itu mengarah pada sesuatu yang tragis, sebagai Malinkundang-malinkundang baru. Itulah peta rantau dan situasi mutakhir perantau Minang.

Awong Surya Saluang (2007: 18-19) mencoba merinci apa yang telah dipantik oleh Afrizal. Sebagaimana yang diketahui, sastra sarat dengan dunia simbol, perlambang, petanda dan ikon. Hal ini berkoreferensi dengan dunia kontemporer yang digadang-gadang orang sebagai perang gerilya semiosis, sebagaimana yang dipancangkan oleh Umberto Eco (2004). Dunia ikon memegang kata kunci dalam percaturan dan pertarungan budaya dewasa ini. Ada beberapa ikon yang sering muncul dari dalam bilik rumah sastra orang Minang berkenaan dengan rantau, yaitu bis, truk, kereta, ombak, terminal dan pasar. Seirama dengan hal tersebut adalah teriakan, kebisingan, resiko, terik mentari, debu, puntung rokok dan pinggiran.

Berdasarkan hal itu perantau Minang hari ini ternyata tidak berada pada posisi atas dan terhormat. Bis, truk, kereta, pasar, terminal identik dengan kesumpekan, ketidaknyamanan, kekerasan, kriminal dan keterpinggilan. Sementara teriakan, terik mentari, debu, puntung rokok identik dengan kaum pinggiran dan orang yang yang kalah. Bukan tipikal orang terdidik dan berperadaban. Usaha photo copy identik dengan penjiplakan dan duplikat. Jauh dari kesan intelek apalagi sebagai penulis. Usaha rumah makan akrab dengan memenuhi urusan untuk perut daripada urusan untuk kepala. Sedangkan Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi bulan-bulanan aparat tantib dan satpol PP, yang menjadi musuh pemerintah di seluruh kota di Indonesia dengan dalih keindahan kota.

Hingga tak mengherankan perantau Minang jarang yang muncul ke permukaan sebagai tokoh nasional yang disegani. Karena kalah bersaing, banyak yang pulang kampung memperebutkan tanah ulayat yang kian sedikit dan gelar datuk yang banyak diobral. Lebih banyak lagi yang memutuskan menetap dan melarutkan diri di rantau berbekal petuah “daripada malu di bawa pulang lebih baik rantau diperjauh”. Sehingga misi merantau untuk modernisasi diri dan pengayaan tanah asal hanya mimpi di siang bolong. Karenanya, sudah sepatutnya perantau Minang menata ulang pola rantaunya agar pantun yang dikutip di awal tulisan ini benar-benar dapat dibuktikan.

*Yusriandi Pagarah, Kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana Jogjakarta.

Opini, Kedaulatan Rakyat, 12 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar