Rabu, 07 Januari 2009

Investasi Untuk Generasi Mendatang

Yusriandi Pagarah

Dalam sebuah seminar tentang cyber crime dan cyber porn beberapa waktu lalu di Semarang, yang disponsori BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bekerjasama dengan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, ada hal menarik yang tetap tersimpan rapi dalam etalase memori. Berkesan bukan karena penuturan Prof. Barda Nawawi Arief yang memikat, makalah Bung Yasraf Amir Piliang yang berbobot atau gaya Mas Roy Suryo yang bikin decak kagum. Bukan juga karena temanya berkoreferensi dengan RUU APP yang lagi hangat-hangatnya diperdebatkan masyarakat negeri ini. Sama sekali bukan.

Waktu break pada hari pertama, saya duduk berdekatan dengan seorang anak muda. Karena tergolong “pendatang ilegal” dalam seminar tersebut, saya hanya diam. Dasar “pengkhayal tingkat tinggi” atau karena kurang kerjaan, saya mencoba menebak siapa gerangan anak muda ini? Sebagai apa dalam seminar ini? Saya pun larut melamunkan anak muda tersebut. Dilihat dari tampilan dan gerak tubuhnya, tak mungkin ia peserta biasa. Apalagi “pendatang ilegal” sebagaimana ihwalnya saya, yang datang tidak diundang dan pergi tidak diantar. Berkelebatlah aneka khayalan tentang sosok anak muda keren tersebut. Dasar!

Singkat cerita, pada hari kedua seminar, saya datang telat. Karena ban mobil orang yang membawa saya ikut seminar—seorang dosen hukum pidana dari sebuah perguruan tinggi swasta di Magelang—kempes. Kala saya hadapkan wajah pada pembicara di depan, pandangan saya bersirobok dengan anak muda yang duduk di samping saya kemaren. Lho! Terbukti kan bahwa ia bukan orang sembarangan? Jadi, tidak terlalu salah menerka-nerka siapa gerangan dirinya dan sebagai apa dalam seminar ini? Ketika mendapat makalah dari panitia, saya langsung membalik-balik makalah tersebut. Berharap menemukan identitas anak muda itu. Ups, usia 31 tahun, belum menikah, memperoleh LL.B, MCL dan Ph.D. di luar negeri dan dosen di luar negeri. Dalam hati penulis langsung memproklamirkan akan memberanikan diri mengenal anak muda di depan itu. Tentu saja waktu break makan siang jelang sesi kedua nanti.

Akibat salah urus

Berkat pembicaraan yang serba sedikit dan pertemuan sepintas lalu tersebut, ada dua hal menarik yang—hemat penulis—relevan untuk diperbincangkan lebih jauh dari sosok anak muda tersebut. Pertama, sekalipun masih muda telah menyelesaikan pendidikan doktornya sebelum menginjak usia kepala tiga, bahkan dari universitas luar negeri dan mengajar di luar negeri. Dalam konteks ini, nama Irwan Abdullah dari UGM dan Effendi Ghazali dari UI, patut disebut. Sosok Yusril Ihza Mahendra—disertai catatan pendamping—layak juga dipertimbangkan. Di masa lalu, Bung Hatta adalah sosok patriot-nasionalis, yang bertekad tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan mayoritas anak muda saat ini. Tidak energik, kurang produktif dan malu-maluin. Kalau bukan hobi kawin dan gonta-ganti pacar mengandalkan beasiswa orang tua, kerjanya bikin peta-peta baru di sarung bantal atau jadi pak ogah.

Kedua, cerita anak muda itu tentang bagaimana gesit dan genitnya petinggi pendidikan Malaysia merayu orang-orang Indonesia yang berprestasi di luar negeri untuk berkarir di sana. Orang Indonesia yang sukses di bidang pendidikan di Jepang, Rusia, Jerman, Amerika, Inggris, diiming-imingi dengan posisi strategis dan fasilitas mutakhir. Hemat saya, bukan Malaysia saja yang melakukannya, negara-negara lain juga melakukan hal serupa. Singkat kata, sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas disabotase oleh negara lain. Yang tidak lolos seleksi di luar negeri inilah yang kemudian mengelola Indonesia. Tidak heran bila negara ini terus saja dirundung berbagai masalah. Belum tuntas satu masalah, kasus berikutnya telah menguntit. Karena diurus oleh mereka yang tidak berkompeten di bidangnya.

Memang sangat mengherankan, sewaktu muda banyak anak-anak bangsa ini yang berprestasi di tingkat internasional pada berbagai bidang, seperti fisika, kimia, biologi, matematika, teknologi, dan olahraga. Melihat segepok prestasi di atas, tak berlebihan kiranya ada yang bermimpi menjadikan Indonesia sebagai “industri otak”. Namun selang beberapa tahun, jejak mereka tidak ditemukan lagi. Sebagian hilang dikilau rantau dan larut di negeri seberang karena memperoleh kompensasi kapital yang setimpal. Tapi mayoritas penghuni jalanan, trotoar dan terminal dengan mengandalkan “otot”. Mereka yang dulu imut dan ngangenin, sekarang bertampang sangar dan nyebelin.

Bila persoalan yang pertama merupakan pilihan-pilihan hidup yang bersifat personal, taruhlah demikian, yang tidak menemukan tokoh-tokoh yang layak untuk diteladani, bahkan di tengah keluarganya sendiri. Akibatnya, generasi muda kehilangan figur panutan dan disorientasi masa depan. Sementara yang kedua merupakan ekses dari kebijakan pemegang kekuasaan yang tidak memikirkan kepentingan umum dan masa depan masyarakat Indonesia yang makmur dan berkeadaban, seperti cita-cita para pendiri bangsa ini.

Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok. Sedangkan dunia pendidikan adalah ruang dimana suatu persoalan dapat mencari jalan keluarnya dengan berbagai perspektif dan beragam pilihan. Maka sudah saatnya kita pikirkan sedari detik ini secara matang dan hati lapang tentang masa depan calon pemimpin masa depan bangsa ini.


*Yusriandi Pagarah, penulis, bergiat pada Forum Kajian Lereng Merapi (For KaLeM) Jogjakarta (E-mail: yinqo_asyiqo@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar