Rabu, 07 Januari 2009

Yogyakarta Kota Pendidikan?

Yusriandi Pagarah

Matahari padam di kota Yogya.
Berkemaslah sebelum kota gelap dan
lampu-lampu kota memadamkan sinarnya.
--Ahmadun Y. Herfanda--

Bila disebut Kota Serambi Mekah ingatan kita lansung tertumbuk pada Nanggroe Aceh Darussalam. Sekali pun kota kecil seperti Kota Padang Panjang di Sumatera Barat juga mendakukan dirinya sebagai Kota Serambi Mekah, namun tidak begitu populer di tengah masyarakat Indonesia. Bila disebut orang Paris van Java telunjuk kita pun mengarah ke Bandung, sekali pun Surabaya dan Jakarta tak kalah eksotik dan glamournya. Menyebut batik, orang lantas terkenang dengan Yogyakarta. Padahal seperti lirik lagu grup band papan atas negeri ini, Slank, kota batik yang sesungguhnya adalah kota Pekalongan. Bukan Jogja bukan Solo.

Pertanyaan turunannya adalah, apakah klaim-klaim dan label-label yang disematkan pada sejumlah kota tersebut sungguh-sungguh sesuai dengan kenyataan di lapangan? Atau jangan-jangan pelabelan tersebut warisan lama yang berbanding terbalik dengan realitas sosiologis hari ini. Hanya menang pencitraan dan kebetulan lebih dahulu dapat nama. Kemudian dikukuhkan dengan membubuhkan mitos-mitos tertentu sebagai penopangnya supaya tetap terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat. Lantas, bagaimana halnya dengan pengukuhan Yogyakarta sebagai kota pendidikan?

Di sebalik indah papan nama

Menarik sesungguhnya pernyataan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Sc. Menurutnya, Yogyakarta sebagai kota pendidikan hanyalah kebetulan saja—by accident. Yogyakarta sebagai kota pendidikan bukanlah akumulasi dari sejumlah rancangan kerja keras yang mendakik-dakik, sistematis, dan terorganisir dengan baik. Yogyakarta sebagai kota pendidikan tidaklah berumah dari sebuah perenungan dan pemikiran yang sungguh-sungguh jernih, matang, brilian, dan futuristik sifatnya, demi tujuan profetis pendirian institusi pendidikan itu sendiri—by design.

Dari pernyataan yang terbilang ringkas dari Prof. Edy Suandi Hamid di atas, setidaknya ada dua gelindingan persoalan yang harus dibenahi secara cepat dan bernas oleh dunia pendidikan Yogyakarta khususnya dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

Pertama, penyematan Yogyakarta sebagai kota pendidikan hanyalah sebuah ketidaksengajaan, kalau bukannya sebuah kecelakaan sejarah. Tugas dunia pendidikan Yogyakarta adalah menjawab semua tantangan dengan melahirkan ide-ide brilian yang didukung dengan kebijakan pemerintah daerah yang berpihak pada dinamika dunia pendidikan. Tanpa adanya usaha-usaha ke arah pembenahan yang mengarah ke dalam, Yogyakarta akan beralih menjadi kota lama yang identik dengan bangunan kuno, penuh romantika yang sentimentil sifatnya, dan didepak dari arus utama kehidupan. Atau Yogyakarta tenggelam di bawah jejeran gedung pencakar langit dan menjamurnya pusat perbelanjaan. Kelak orang ke Yogyakarta bukan lagi untuk melanjutkan studi, tetapi sekadar berwisata dan berbelanja. Bahkan tanda-tanda ke arah itu sudah lama terlihat dengan kasat mata.

Lamat-lamat Malang menyeruak ke permukaan sebagai pesaing baru Yogyakarta untuk memperebutkan predikat sebagai kota pendidikan. Hanya dalam satu dasawarsa, dunia pendidikan “Kota Apel” tersebut mengalami kemajuan yang signifikan. Yang terpenting lagi, kota yang juga dikenal dengan “Kota Hujan” itu berhasil memikat hati banyak orang tua dan para calon mahasiswa. Sementara kota-kota lain yang selama ini menjadi pemasok utama mahasiswa ke Yogyakarta juga tengah berbenah diri.

Selama ini orang tertarik melanjutkan studi ke Yogyakarta, disamping karena biaya kuliah yang terjangkau, berkualitas, dan biaya hidup yang relatif murah meriah, juga karena suasana Yogyakarta yang kondusif untuk kelancaran studi. Namun hari ini “keistimewaan” Yogyakarta tersebut telah lamur akibat berorientasi pada pasar dan dikendalikan makelar pendidikan. Ditambah dengan berbagai kebijakan pemerintah daerah pada wilayah publik yang tidak berpihak pada dunia pendidikan.

Kedua, revitalisasi orientasi pendidikan Yogyakarta. Disebabkan keistimewaan pendidikannya yang telah lamur itu, maka revitalisasi arah dan orientasi pendidikan merupakan harga mati bagi pendidikan Yogyakarta. Bila gagal melakukan hal tersebut, Yogyakarta sebagai kota pendidikan hanya akan tinggal kenangan. Pendidikan yang tidak populis hanya akan semakin berkurangnya minat orang melanjutkan studi ke Yogyakarta. Berujung pada gulung tikarnya sejumlah perguruan tinggi swasta. Padahal Yogyakarta punya tradisi yang relatif kukuh pada bidang intelektual dan memang berkarakter. Secara geografis dan kultural pun sesungguhnya peta kekuatan Yogyakarta terletak pada dunia pendidikan. Menganulir potensi yang ada demi sesuatu yang belum pasti lebih baik dari sebelumnya sama saja bak menunggu bintang kejora pada musim hujan. Mencoba menjajal dan membidik usaha yang lain, memang tidak ada salahnya. Namun modal nekad saja tidaklah cukup. Sedangkan mengkomersilkan dunia pendidikan belum tentu juga menjadi jalan keluar yang terbaik.

Untungnya wajah Yogyakarta sebagai kota pendidikan masih sedikit bisa diselamatkan oleh menjamurnya penerbit di seantero Yogyakarta atau dengan produktifnya para penulis dari Yogyakarta merajai koran-koran nasional dan daerah. Meski pun dua hal yang disebut terakhir itu juga belum bisa menjadi pegangan yang cukup kuat untuk menilai bagus tidaknya iklim pendidikan suatu tempat. Disamping itu, penulis-penulis berbakat dari Jember dan Malang juga telah melihatkan kepiawaiannya merangkai kata di media massa.

Melongok yang lain

Bila pendidikan Yogyakarta masih diramaikan dengan debat bersambung di seputar pendidikan umum dan pendidikan agama, yang negeri dengan yang swasta, yang favorit dengan tidak favorit, perlahan-lahan sejumlah perguruan tinggi di Jawa Timur, seperti Universitar Airlangga Surabaya, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Negeri Jember dan Universitas Trunojoyo, telah maju selangkah. Mencoba menghilangkan sekat-sekat diri dengan menandatangani nota kesepakatan kerjasama (MoU) untuk mata kuliah tertentu. Misalnya, mahasiswa yang berasal dari Malang tapi kuliah di ITS bisa mengambil mata kuliah yang sama di Unibraw. Mahasiswa dari Jember yang kuliah di Unair bisa mengambil mata yang sama di Universitas Negeri Jember.

Meski baru dalam tahap uji coba, terobosan tersebut terbilang cukup brilian. Kerjasama tersebut berupaya meminimalisir ekslusivisme, mencairkan sekat-sekat ideologis dan sentimen kelompok, serta mempererat silaturahmi antar perguruan tinggi dan antar mahasiswa. Lebih jauh, kerjasama tersebut secara tersirat mengakui bahwa memang tidak ada yang sempurna di atas dunia ini—termasuk dalam dunia pendidikan. Namun hal itu sekaligus menegaskan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dengan sebuah kebersamaan. Mereka sangat menyadari kekurangan masing-masing dan berusaha mengatasi kekurangan tersebut secara bersama-sama. Lantas, bagaimana dengan Yogyakarta yang sedari kereta api masih beratap ijuk telah digadang-gadang orang sebagai kota pendidikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar