Sabtu, 10 Januari 2009

Pengantar Dari Penerbit

Imajinasi seorang penyair seringkali berangkat dari sebuah kontemplasi yang hujam, pengalaman yang berbekas, percintaan yang pupus, atau kondisi yang sama sekali absurd. Kemudian, latar yang beragam itu—menurut pendapat para pengamat sastra—diracik sang penyair ke dalam jalinan cerita yang menjadikan bahasa sebagai bahan bakunya. Bahasa dijadikan medium penyampai berbagai pesan, gagasan, pendapat, dan protes dari seorang penyair.

Tanah Airku Melayu, kumpulan puisi tunggal kedua Bung Fakhrunnas MA Jabbar ini, kian mengukuhkan tesis di atas. Namun bagi penyair ini, cintanya yang begitu mendalam pada Tanah Melayu, tak perlu sampai taraf “cinta buta” yang menganulir akal sehat. Tragedi-tragedi memilukan di tanah kelahirannya, tak sedikit pun membuatnya terpancing ikut melakukan tindakan-tindakan tak beradab, demi menegakkan marwah dan tuah Tanah Melayu. Malahan, tragedi demi tragedi yang menimpa “rumah tempat rindunya berpaut” itu, kian memompanya untuk lebih produktif lagi menciptakan karya-karya sastra berlatar Tanah Melayu.

Kumpulan puisi Tanah Airku Melayu, dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, tentang pengabdian diri. Puisi Rimba Beton, Kusukai Sakaiku, Doa Orang-orang Bendungan, dan Selamat Pagi, Tuan Takagawa, merupakan protes sang penyair pada pihak-pihak yang tidak tulus membhaktikan dirinya, sehingga korban banyak berjatuhan.

Bagian kedua merupakan perenungan penyair terhadap berbagai fenomena ganjil yang melanda tanah kelahirannya. Penyair ini tidak ragu-ragu menunjuk pencemaran laut dan penebangan hutan sebagai biang kerok dari semua itu. Hal ini terbaca dalam puisi Ketika Banjir Menyapa, Bapakku Hutan, Ibuku Laut yang Kini Terluka, Kering, dan Dalam Kabut.

Ketiga, penyerahan jiwa. Bila pada bagian sebelumnya lebih pada tema-tema universal dan humanity, maka pada bagian ketiga ini lebih kental nuansa religiusitasnya. Hal ini, misalnya, dapat dibaca dalam puisi Sepotong Daging, Dari Alif Ba Ta ke Tahajjud, Walau Maut Menjemput, Ramadhan in Manila, Purnama Jatuh di Nabawi, dan Lelaki yang Berputar di Pelataran Ka’bah.

Dengan lain perkataan, dalam kumpulan puisi Bung Fakhrunnas MA Jabbar ini, terdapat sebuah benang merah betapa pentingnya manusia menjaga keseimbangan tiga hal untuk mencapai harmoni dalam hidupnya, yaitu menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, hidup selaras dengan alam, dan beribadah kepada Tuhan.

Akhir kata, terima kasih kepada Bung Fakhrunnas MA Jabbar, yang telah mempercayakan penerbitan kumpulan puisi tunggal keduanya ini kepada Penerbit AdiCita Karya Nusa Yogyakarta. Kepada segenap pembaca, kami ucapkan selamat membaca. Semoga kumpulan puisi ini dapat menjadi inspirasi dan teladan dalam mengekspresikan cinta kepada tanah asal.

Yogyakarta, 19 Maret 2008


Yusriandi Pagarah

*Pengantar dari penerbit untuk Buku Puisi Tanah Airku Melayu karangan Fahrunnas M.A. Jabbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar