Senin, 05 Januari 2009

Sinema Religi dan Islam Patetik

Oleh Yusriandi Pagarah

FANTASTIK! Fenomenal! Barangkali dua kata tersebut tepat mewakili kegembiraan umat Islam hari ini. Pasalnya, hampir tak ada stasiun televisi di negeri ini yang tidak menayangkan sinema religi. Jam tayangnya tidak lagi mengenal waktu. Tidak siang dan tidak malam. Pemilik production house berlomba-lomba membuat cerita berlatar keagamaan. Tema yang diangkat tak kalah anekanya. Intensitasnya bertambah seiring dengan datangnya bulan suci Ramadan.

Tapi, benarkah itu potret Islam? Benarkah itu representasi dari wajah umat Islam? Seorang teman, entah mengutip pendapat siapa, pernah berkata,"Bacalah pemikiran filosofmu secara terbalik, niscaya akan kamu temukan sesuatu yang ganjil darinya".
Gardu Pandang Lain

Memang sinema religi mampu memberikan advis atau tontonan alternatif bagi pemirsa televisióterutama bagi umat Islam sendiriódi tengah pesatnya tayangan komersial yang mengumbar aurat, menawarkan mimpi-mimpi indah sesaat dan harapan semu.
Namun bila dicermati sinema religi juga tak imun dari sejumlah sengkarut kontradiksi di dalamnya.

Dilihat dari sisi mana saja, sinema religi merupakan bagian tak terpisahkan dari pasaróuntuk tidak mengatakan bahwa sinema religi tak lain adalah pasar itu sendiri. Di tangan pemodal tak ada yang mustahil untuk dijadikan komoditas dan dikomersialkan. Tak terkecuali agama. Juga mendepak normativitas Islam dari tempat asalnya. Bila selama ini kita begitu akrab dengan istilah kapitalisasi ekonomi dan diiringi dengan kapitalisasi pengetahuan, bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan darinya, tanpa kita sadari sejatinya telah pula menyeruak ke tengah-tengah keluarga besar kita yang bernama kapitalisasi agama.

Kapitalisme agama, komersialisasi agama, atau apa pun namanya, nyata-nyata telah menggerototi agama Islam dari dalam. Tampilan luar yang norak dan kemasan agama yang ngepop karena disesuaikan dengan pesan pengiklan atau kemauan pemodal. Ide cerita yang dangkal karena tidak memotret ajaran fundamental Islam ikut memperburuk citra agama Islam dan pemeluknya di mata pemirsanya. Sebuah perang pencitraan yang gagal!
Disamping itu, sebagaimana jamaknya media massa lainnya, sinema religi juga memiliki wajah ganda dan ditambah dengan "titipan" agenda terselubung . Salah satu wajah mendua sinema religi yang patut dikritisi, terlihat pada figur aktor dan sosok aktrisnya yang memiliki kepribadian ganda.

Dalam realitasnya aktor atau aktris berpenampilan glamour atau tidak punya komitmen yang jelas terhadap agama, namun dalam tayangan sinema religi ia disulap laiknya kiai atau perempuan yang tak bercacat. Tampilan paradoksal yang ambigu tentunya.

Ayam Berbulu Domba

Bila ditelisik lebih dalam, di balik booming tayangan sinema religi, terdapat pemandangan yang sangat kontra produktif. Kita namakan saja "pemandangan yang menganggu" tersebut upaya pengeroposan ontologis ajaran Islam dari dalam yang berada di balik dalih tontonan religius.

Pertama, sinema religi mengandung unsur pornografi dan pornoaksi. Barangkali tak banyak yang menyadari bila dalam tayangan sinema religi banyak sekali ditemukan tampilan mengumbar aurat, menyulut syahwat, dan mempertontonkan parade kemesuman.
Masyarakat menjadi akrab dengan yang tergolong patologi sosial, seperti lesbian, homo dan sodomi, dari menonton sinema religi. Ironisnya, pornografi dan pornoaksi yang dikutuk masyarakat luas itu leluasa masuk ke setiap rumah dan ditonton banyak orang tanpa disensor.

Kedua, sinema religi banyak menayangkan praktik anarkisme. Secara gamblang kekerasan fisik hingga kekerasan seksual terakomodasi di dalamnya. Dalam sinema religi kita saksikan seorang yang mencuri sandal babak-belur dihakimi massa, seorang pengamen ditikam temannya, atau pencuri sapi diarak keliling kampung. Tawuran dan merakit bom pun dapat dipelajari dari menonton sinema religi.

Ketiga, sinema religi dekat dengan klenik dan identik dengan aroma kemenyan. Banyak sekali mengangkat tema yang menganulir rasionalitas dan menampik akal sehat. Bahkan ada tayangan tertentu yang terkesan mendahului Tuhan. Acapkali menayangkan orang yang memakai susuk akan tersiksa waktu sakratul maut. Koruptor waktu meninggal akan keluar dari perutnya bau busuk atau ulat belatung. Dukun meninggal menjadi babi atau meraung-raung laiknya anjing hutan.

Tidak sedikit pula orang tahu kalau ingin cantik, kaya, sukses, memikat lawan jenis, atau memiliki jabatan prestisius, melalui jalan pintas, dengan cara datang ke dukun, berhubungan dengan makhluk halus, atau intens berkomunikasi dengan Nyi Ratu dan Ki Joko. Kemusyrikan dan takhayul yang ingin diberantas Islam justru disemaikan dengan amat suburnya dalam tayangan sinema religi.

Keempat, melahirkan masyarakat masokistik. Tanpa disadari, tayangan sinema religi telah memopulerkan pola masyarakat masokistik, yaitu masyarakat yang menggantungkan sepenuh hidupnya pada sosok tertentu atau terlalu mudah mengalah pada keadaan.
Dalam sinema religi terlihat sangat dominannya sosok seorang kiai atau figur seorang ustad. Hidup ini seakan selesai dengan kehadiran atau dengan mendatangi seorang ulama. Parahnya lagi sinema religi melalui ustad "seleb" itu berhasil membangun citra bahwa kehidupan dunia ini tidaklah berarti atau kehidupan ini terlalu banyak rintangannya. Maka jalan terbaiknya adalah bekerja sekadar kebutuhan dan bersabar.
Kesabaran yang ditayangkan telah beralih menjadi kesabaran instrumental, kesabaran yang telah diplesetkan: orang sabar bagaikan tumpukan sampah yang dikerubungi lalat. Selebihnya serahkan pada takdir dan petuah ulama. Padahal agama Islam mengajarkan bahwa Tuhan lebih mencintai pekerja keras dan melalui setiap cobaan hidup dengan sepenuh hati dan sekuat nyali. M. Amin Abdullah (1998) menamai fenomena tersebut sebagai the idea of syaikh.

Terlihat begitu banyak cacat dalam tayangan sinema religi, yang tanpa kita sadari dan kita kritisi, telah mengelabui kita dan membelotkan ajaran Islam ke tempat yang salah. Itulah wajah Islam patetik. Wajah Islam yang menakutkan dan menyedihkan yang mencari legitimasi di balik kemasan cantik sinema religi. Bagai ayam berbulu domba. Tapi tak terdengar LSM yang protes. Tak terlihat ormas yang komplain. Juga tak ada fatwa ulama untuknya. (11)

---Yusriandi Pagarah, kulturalis, bergiat pada Komunitas Perairan Wacana Yogyakarta

Wacana, Suara Merdeka, Jumat, 21 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar