Rabu, 07 Januari 2009

Gadis Kalinongko Lor

Yusriandi Pagarah


Rembulan masih tegak tali di petala langit. Semilir angin dinihari mengalirkan dingin ke tulang sungsum. Kumpulan burung malam berarak bersigegas pulang ke sarang. Tak lama antaranya, kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan. Iramanya merdu bak teatrikal ritual balas pantun menyambut datang pagi.

Lamat-lamat dari ufuk timur terpampang pemandangan dinihari yang aduhai. Fajar pagi mempertontonkan keindahan alam yang tak pernah lusuh dikudap waktu. Pusung di tangan kanan penduduk yang akan melakukan perjalanan ke kampung yang jauh tampak berkelip-kelipan diusik nakal angin pagi. Azan Subuh pemuda tanggung dari Masjid Al-Ikhlas mendakik parau menambah riuhnya suasana pagi.

Samar-samar puncak gunung Mintorogo di selatan dusun mulai kelihatan aib tubuhnya. Selimut tebal kabut pagi pelan-pelan lenyap entah menepi ke mana. Hanya menitipkan ruyak tukak pada perut dan tengkuk gunung melepuh. Perlahan seanteran kaki gunung memamerkan wajah aslinya yang tak asri. Sekujur badannya terlihat penuh tempelan tak rapi.

Saban pagi sepanjang kaki bukit Prambanan ini memamerkan panorama rerantingan meranggas dan keramas pagi dedaunan dari sisa tetes embun semalam. Karena mengharap hujan tidak lagi mungkin di siklus musim yang telah beralih haluan. Lengkap dengan tebaran debunya yang mengganjal pernapasan.

Sungai Kalinongko yang membelah dua dusun tidak sanggup lagi menghanyutkan diri. Dendang gemericik air sungai bak gelak berderai gadis kasmaran telah lama hilang dari gendang telinga seisi dusun. Sungai di utara dusun yang melewati desa Kerten kabupaten Klaten juga kepayahan menghilirkan badan. Hanya membujur kaku di hadapan deraan musim kerontang yang belum tertebak tapal perhentiannya.

Penduduk Kalinongko Lor telah sedari sore merancang langkah esok hari. Bangun di saat tidur belum pulas. Saat mimpi semalam masih saja terbengkalai. Matahari belum berhasil menembus pagar betis deretan kayu jati dan mahoni, pengawal dusun yang baru beberapa tahun ini mulai tumbuh cabang-cabang kurusnya. Tapi penduduk dusun telah berangkat menjalankan guratan tangan masing-masing. Saban pagi jalan aspal yang tidak terlalu mulus dan tidak terlalu lebar itu sangat ramai. Rerumputan liar di kiri dan kanan jalan keperakan disepuh matahari pagi.

Iring-iringan penduduk turun dari kaki bebukitan tumpah-blek di satu tempat. Arak-arakan mereka seperti kumpulan orang yang terbuang dari kampung halaman sendiri. Jelas terbias di wajah mereka aura harap cemas meraraukan sesuatu. Rerombongan anak berseragam sekolah bersepeda ontel berbaur dengan barisan panjang ibu-ibu yang membawa bakul ke pasar tradisional Menggah yang ramai hingga matahari sepenggalah.

Ke pasar ini sebagian besar hasil bumi yang cocok dengan kondisi alam yang tandus dibawa penduduk. Kemudian diganti dengan kebutuhan penduduk sehari-hari. Di pasar ini setiap hari tersedia colt penumpang dengan trayek dari dan ke kota kecamatan yang beroperasi jelang Ashar. Juga terdapat pangkalan ojek yang melayani segala penjuru sampai ke kampung-kampung tersuruk di kaki bebukitan.

Siang hari suasana dusun ditikam sepi. Suasana pagi yang pikuk amat kontras dengan suasana siang yang lengang tak berpenghuni. Sayup-sayup dari jejauhan terdengar gelak riang murid sekolah dasar yang sedang jeda istirahat. Atau deru mesin gilingan padi yang amat hampir jaraknya dengan bantaran sungai. Sejauh pandangan ditukikkan ke hamparan petak sawah tampak petani sedang bercengkrama dengan tanaman yang nanar disengat matahari. Bila mata diarahkan ke bebukitan menjulang akan silau berhadapan dengan pantulan matahari siang yang tumpah di bukit tandus. Hembusan pelan angin bebukitan menggugurkan dedaunan kering. Juga sejukkan kulit yang dibalut debu dibakar terik matahari.

Suasana berangsur pulih seiring laku matahari yang condong ke barat. Jalanan mulai ramai dengan hilir-mudiknya penduduk sepulang kerja atau sehabis berpergian. Petani pulang membawa hasil ladang atau sawah untuk dijual esok pagi. Tidak lupa membawa rumput untuk pakan ternak yang sepanjang waktu dikebat di kandang. Lapangan tak seberapa depa kurang terurus di samping makam, satu-satunya tempat yang dimiliki dusun untuk melakukan semua kegiatan. Tempat main voli pemuda setiap sore, acara tujuh belasan dan pertunjukan layar tancap. Bahkan puncak acara nyadran atau bersih dusun sekali setahun juga dipusatkan di lapangan itu.

Azan Magrib sebagai tanda bagi penduduk dusun untuk menghentikan semua pekerjaan. Sunyi kembali menyelimuti dusun yang tiap tahun mendapat giliran musim kering ini.

****

Suasana seperti itulah yang kurasakan selama dua bulan menghabiskan waktu liburan semester di dusun Kalinongko Lor. Aku ditawari teman berlibur di kampungnya. Riyadi Basuki namanya, dipanggil Peyek di kampungnya. Anak seorang carik desa yang cukup disegani. Aku sendiri telah sedari lama sejatinya memimpikan berdiam diri sejenak di pedalaman desa Jawa. Ingin merasakan hidup berbaur dengan masyarakat yang latar kehidupannya berbeda sama sekali denganku. Rindu bercengkrama dengan penduduk dusun yang hidup bersahaja. Yang memasrahkan hidupnya pada kemauan alam.

Awalnya aku canggung sekali berada di tengah keluarga baruku ini. Maklum aku orangnya pemalu dan kurang pandai bergaul. Bertampang serius dan kikir senyuman. Ditambah pelit bicara. Sulit sekali bagiku berbicara dengan penduduk dusun. Apalagi dengan yang tua-tua. Aku mengambil jalan aman dengan banyak mengangguk dan menebar senyuman ketika bergaul dengan penduduk Kalinongko Lor.

Banyak kenangan indah yang akan kusimpan dalam lekuk ingatan. Salah satunya tentang pertemuanku dengan gadis kembar tiga di dusun tersebut. Tri Sumarni, Tri Sulastri dan Tri Suratmi, namanya. Anak pertama dari pasangan suami-istri Pak Wugimin dengan Bu Sutinem. Hampir setiap pagi dan sore hari aku bersirobok dengan gadis kembar tiga ini di sumur Pak Lamto Suwito, salah seorang tetua kampung.

Terkadang aku bertemu dengan salah seorang di antara mereka. Di lain waktu bertemu dengan dua orang di antara mereka. Kalau beruntung aku bertemu dengan ketiga kembar itu. Uniknya kami sering bertemu di waktu yang sama dan juga di tempat yang sama. Kalau bukan jelang mentari datang, ya jelang mentari mau pergi lagi. Jarang sekali kami bertemu di suasana lain. Paling bertemu sekali waktu pada pengajian rutin lapanan di masjid setiap malam Ahad Pon. Atau pada acara arisan pemuda kampung sekali sebulan di rumah Mas Sugiono.

Sumur Pak Lamto satu-satunya sumber air bersih bagi penduduk dusun Kalinongko Lor. Tidak jarang tetangga sekitar dusun juga memanfaatkan air dari sumur ini untuk kebutuhan mereka. Menimba dan mengangkut air ke rumah masing-masing sudah menjadi pekerjaan rutin penduduk disamping bercocok tanam dan memelihara sapi. Tidak laki-laki-laki dan tidak perempuan. Tua dan muda.

Rasa simpatiku pada gadis kembar tiga ini berawal dari pekerjaan mengangkut air yang terbilang jauh dari sumber air. Beban yang dipikul terlalu berat untuk ukuran gadis seusianya. Aku sendiri iman tidak akan sanggup melakukan hal serupa. Panorama seperti ini tidak pernah kujumpai di kampungku yang terbilang swasembada air. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan ini menimpa gadis-gadis di kampungku yang seusia dengan gadis kembar tiga itu. Aku juga tidak tahu bagaimana komentar adik perempuan semata wayangku, andai tinggal di dusun tandus ini.

Dua orang di antara gadis kembar tiga itu berbagi tugas mengisi dua bak mandi dua kali sehari secara bergiliran. Setiap pagi dan sore hari. Satu orang mengisi bak mandi di rumah mereka. Dan satu lagi mengisi bak mandi Mbah Suminten yang ditinggal anaknya yang ikut program transmigrasi ke Kalimantan. Kembar yang satunya lagi bertugas memasak, mencuci piring dan membersihkan rumah. Bapak Wugimin terlalu letih mengurus tanaman dan sapi. Sedangkan Bu Sutinem sibuk mengurus ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.

Agaknya pertemuan demi pertemuan di sumur Pak Lamto semakin mengakrabkan kami. Aku dengan gadis kembar tiga itu. Aku mulai memberanikan diri bertanya banyak hal pada mereka. Bercerita panjang lebar tentang apa saja sambil sesekali menggoda mereka. Lama antaranya baru aku sadari salah seorang di antara gadis kembar tiga itu ada yang kurang bersahabat denganku. Tatapannya sinis mengakari jantung. Sering bersungut-sungut yang tak menenteramkan perasaan.

Persisnya yang mana, aku juga tidak yakin dengan ketepatan tebakkanku sendiri. Terlalu payah bagiku untuk mampu membedakannya disebabkan miripnya gadis kembar tiga itu. Karena tak ingin terlalu bersusah payah, aku namai saja ia pendekar bermata jahat.

Aku sendiri amat mafhum alam yang gersang mendidik mereka keras. Tapi aku juga percaya alam yang gersang akan melatih mereka memiliki kesabaran yang menghujam kedalaman zaman.

****

Keberadaanku di Kalinongko Lor sudah di ujung sumbu waktu. Tinggal menggantang menit. Sebelum meninggalkan dusun aku berpamitan pada para tetangga. Ada perasaan lain yang kurasakan waktu berjabat salam dengan penduduk dan entah kapan lagi akan kurasakan hal serupa. Wajah sedih jelas mengelantungiku sore itu. Aku titip salam untuk gadis kembar tiga pada Bu Sutinem.

Jelang Magrib entah mengapa kusempatkan juga menengok sumur Pak Lamto untuk yang terakhir kalinya. Pikirku, karena waktu masih saja milikku seutuhnya. Siapa tahu sejumput wajah yang tak kunjung sempurna kutata di palung hati kujumpai di sana. Siapa tahu ia berbaik hati memberikan seulas senyuman yang tak pernah ia berikan padaku sebelumnya. Setidaknya menikmati tatapan mata tajamnya. Sebagai kenang-kenangan perjalanan.

Namun aku hanya mendapati gelantungan sepi di sumur Pak Lamto. Trang-trang. Ah, lembab juga mata yang tak lagi tertarik dengan ragam kesedihan itu.

Keesokan paginya keluarga Riyadi mengantarku sampai pertigaan sendang Sriningsih, pintu masuk ke dusun yang waktu kutinggalkan baru dapat suplai air dari pemerintah kabupaten Sleman. Aku baru tahu dapat titipan surat dari gadis kembar tiga, ketika bersalaman dengan keluarga tempat tinggalku selama liburan. Adik Riyadi, Narti Ika Pertiwi, yang memberikannya padaku. Surat dari gadis kembar tiga itu kubaca di atas bis Prambanan-Yogyakarta. Hati-hati sekali kubuka amplopnya. Ringkas sekali surat itu ditulis.

“Maafkan kami musafir. Kemaren sore kami mencari air ke kampung yang jauh. Sebab sumur Pak Lamto sudah mengering. Salam yang kamu titipkan pada Ibu telah kami pancangkan di tandus tanah dusun. Selamat jalan musafir. Sampai jumpa lagi di musim langit tiris.”

Aku hanya mampu mendekap surat itu dengan mata terpejam. Kupeluk sepuas batin sambil menggigit bibir sekuat nyali. Untuk terakhir kalinya kuhadapkan muka ke celah-celah dedahanan pohon jati meradang. Samar-samar tampak Gunung Mintorogo melambaikan tangan letihnya padaku. Lalu detak jantungku mengeja salam perpisahan. Pelan sekali.

“Selamat menunggu kuyup hujan gadis tangguh
Tegarmu membuat seisi langit lelehkan asamu
Bila kelak tak diizinkan berenang di bening lubukmu
Aku sudah puas memujamu dari kedalaman waktu.”

Kalinongko Lor-Kalijaga Wetan, Maret 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar