Rabu, 07 Januari 2009

Lengangnya Forum Diskusi Kami

Yusriandi Pagarah

Menarik, kalau bukannya menantang, menggeledah batang-tubuh yang bernama mahasiswa atau intelektual muda, berupa hilangnya tradisi diskusi. Karena sejatinya diskusi bagian integral dan proses yang tidak bisa dikesampingkan untuk mencetak generasi masa depan yang kritis-responsif. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan berawal dari komunitas-komunitas marjinal dan dari kelompok-kelompok diskusi terbatas yang berada di luar arus mainstream. Forum diskusi Limited Group Yogyakarta yang dinahkodai almarhum Prof. A. Mukti Ali dan Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina Jakarta yang dipimpin almarhum Prof. Nurcholish Madjid—untuk sekedar menyebut contohnya—akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah intelektual negeri ini.

Telah banyak ditulis orang perihal lamurnya tradisi diskusi tersebut. Namun kebanyakan tulisan tersebut baru sebatas cetusan-cetusan ide awal yang berasal dari sebuah keprihatinan atau kesadaran intelektual, yang merasa terganggu dengan “tenang tapi tidak menghanyutkan” lingkungan sekitarnya. Masih tersisa “lubang menganga” yang barangkali terlupakan, yaitu menelusuri penyebab dan ke mana perginya para intelektual muda tersebut hingga melengangkan ruang-ruang diskusi.

Beralihnya citra seorang intelektual

Lengangnya ruang diskusi di kampus-kampus atau di tempat-tempat yang biasanya dijadikan mahasiswa sebagai tempat untuk menghilir-mudikkan wacana terkini dan “menggilir” isu-isu mutakhir, seperti kantor Senat, UKM dan basecamp organisasi ekstra. Perubahan tersebut karena beralihnya citra seorang intelektual: dari lihai beretorika di forum-forum diskusi dan piawai berorasi di depan khalayak umum menjadi orang yang pandai merangkai kata di media massa. Perubahan citra seorang intelektual ini tentunya seiring dengan semakin terbukanya kanal-kanal baru yang strategis bagi mahasiswa dan intelektual muda yang diberikan oleh media massa.

Peran media massa—untuk tidak mengatakan politik media massa—jelas signifikan memutar haluan tersebut. Pasca tumbangnya Orde Baru lahirlah beragam media massa dengan beragam orientasi dan bidikan segmen pasarnya. Tentu juga dengan beragam nasib yang dialaminya kemudian. Media yang telah almarhum tampil kembali bersama media-media baru yang hampir setiap saat melakukan “penampakkan-penampakkan” bersaing dengan media yang telah ada. Mau tidak mau “orang-orang dalam” media mencari celah untuk menggait pelanggan. Salah satunya dengan melakukan “kontak jodoh” dengan mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat sebagai sasaran pasarnya. Berbagai rubrik dan kolom baru pun diciptakan.

Mahasiswa, atau para akademisi pada umumnya, adalah segmen pasar strategis bagi media massa. Maka media mencoba merespons “dunia mahasiswa” dan “dunia intelektual” dengan cara memuat berita-berita aktual dan menarik bagi mahasiswa seperti pustakaloka, berita di sekitar kampus, atau dengan cara menjalin kerjasama dengan ikon dan petinggi kampus. Atau dengan jalan menyediakan berbagai rubrik dan kolom yang dapat menampung berbagai aspirasi mahasiswa yang gelisah. Dari pihak mahasiswa, terbuka luasnya kanal ini merupakan momentum yang tidak ingin dilewatkan begitu saja. Bagi sebagian mahasiswa inilah saatnya untuk membuktikan diri sebagai seorang intelektual yang tidak hanya dikenal “kondang” di kampus, tapi juga dikagumi publik dari tulisan-tulisan cantiknya di media. Lagu baru pun dirilis: berhentilah mengonggong, mari kita makan daging!

Dengan begitu ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (mutual simbiosis) antara pihak media di satu sisi dengan pihak mahasiswa di satu sisinya lagi. Bagi media, mahasiswa—atau kaum terpelajar pada umumnya—merupakan segmen pasar terbesar yang dapat menaikkan tiras penjualan dan mempertebal omzet. Sedangkan bagi pihak mahasiswa, media massa cetak dijadikan sumber untuk memperbaiki gizi periuk yang acap kerontang, disamping untuk mengangkat popularitas dan prestise. Bahkan untuk kolom atau rubrik tertentu, seorang mahasiswa dapat mengeruk keuntungan berlipat. Sambil menyelam minum susu. Misalnya mengisi rubrik resensi atau tinjauan buku yang disediakan hampir oleh semua media cetak. Dari mengisi rubrik tersebut seorang penulis mendapatkan honorium dari media yang memuat tulisannya. Sedangkan dari penerbit buku yang diresensi ia akan mendapatkan hadiah dua buku, yaitu buku yang diresensi dan buku terbaru dari pihak penerbit. Walau pun tidak sedikit pula penerbit yang mangkir menunaikan kewajibannya kepada peresensi dengan berbagai alasan.

Di samping itu, penerbit seperti Mizan Bandung dan LKiS Yogyakarta setiap tahunnya mengadakan penilaian untuk menetapkan resensor terbaiknya. Bahkan pihak perguruan tinggi—seperti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta—memberikan penghargaan atau honorium langsung tunai (HLT) kepada para mahasiswanya setiapkali tulisan mahasiswa tersebut dimuat. Beberapa perguruan tinggi lain—seperti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta—setiap beberapa bulan sekali rutin memberikan penghargaan kepada “si perangkai kata” ini dengan cara mengumpulkan tulisan para mahasiswanya yang tersebar di berbagai media. Kemudian tulisan tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori yang sudah dikenal luas, seperti kategori karya ilmiah murni, karya terjemahan, artikel populer, opini, surat pembaca, resensi, novel, cerpen dan puisi. Kemudian dinilai oleh tim khusus (timsus) untuk dicarikan pemenangnya dari urutan pertama sampai tiga dalam setiap kategori, untuk kemudian diberi hadiah.

Kepiawaian merangkai kata di media massa akan memberi banyak kemudahan bagi seseorang dalam mencari kerja, terutama kerja-kerja yang menghajatkan pelamarnya terbukti akrab dengan dunia kepenulisan, seperti dunia penerbitan. Dosen muda atau tenaga pengajar pada umumnya, tidak lagi dirisaukan oleh kurangnya kum sebagai salah satu syarat kenaikkan pangkat. Karena kekurangan tersebut dapat diatasi dengan baik dan cepat dengan menulis di media. Padahal pikuknya forum diskusi selama ini berasal dari joke-joke yang dilontarkan dosen muda tersebut.

Terpesona pentas bertabur bintang

Semaraknya berbagai acara—terutama acara yang ditayangkan televisi-televisi swasta belakangan ini—yang dalam hitungan detik, mampu menyulap seorang menjadi orang terkenal juga berhasil melengangkan forum-forum diskusi milik mahasiswa. Terlepas dari klaim positif atau negatifnya acara-acara tersebut, sedikit-banyaknya libido mahasiswa atau intelektual muda ikut terkuras. Mahasiswa yang punya potensi dan memiliki kapasitas seperti yang diinginkan pihak yang punya hajat akan banyak menghabiskan waktunya untuk mengasah kemampuannya beradu kebolehan menuju puncak sukses. Apalagi acara tersebut dapat dijangkau dengan biaya murah, bahkan ada yang gratis. Sedangkan yang “tereliminasi” terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mendukung para idola atau grup favoritnya dengan mendatangi langsung lokasi acara digelar atau dengan memberi dukungan melalui pesan singkat (SMS) dengan iming-iming bonus besar.

Menjadi anak band atau menguasai alat musik merupakan jalan paling aman dan cara paling cepat untuk menuju tangga bertabur bintang. Mahasiswa dan kawula muda lebih banyak menghabiskan waktu untuk latihan band atau mengikuti berbagai les musik: dari les piano sampai les gitar, dari les vokal sampai les menabuh drum. Sedangkan pikirannya terkuras untuk memikirkan bagaimana caranya dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menguasai alat musik dan membentuk grup band yang solid. Atau, bila memungkinkan secepatnya mengeluarkan demo album atau video klip untuk dikirim ke Jakarta. Sementara itu di sisi lain, bayangan-bayangan menjadi pujaan dan dielu-elukan orang banyak selalu melintas setiap inci kegiatan mahasiswa.

Kepungan budaya konsumerisme

Lebih dari itu, dunia konsumerisme-pragmatisme yang mengepung mahasiswa dan dampak dari himpitan beban ekonomi yang tak tertahankan, juga mengendorkan gairah mahasiswa untuk berdiskusi. Sikap pragmatisme yang menjangkiti mahasiswa atau intelektual muda di satu sisi sangat disayangkan karena berpotensi mengikis idealisme yang selama ini jadi kebanggaan mereka. Namun di sisi lain keputusan tersebut merupakan jalan paling aman, win-win solution, agar tetap survive kuliah dengan konsekuensi mengorbankan idealisme. Apalagi dengan tuntutan gaya hidup yang menguras banyak biaya dan himpitan beban ekonomi, baik karena biaya kuliah yang mahal ataupun karena biaya hidup yang melonjak naik, membuat konsentrasi mahasiswa terbelah.

Tidak mengherankan sekarang ini waktu dan tenaga mahasiswa banyak dihabiskan untuk kerja-kerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya banyak mahasiswa banting stir dari man in campus menjadi man in market. Bagi mereka yang memiliki keahlian di bidang keagamaan menyelamatkan masa depannya menjadi pria masjid (primas) atau pria mushala (primus). Bahkan belakangan ini di kalangan segelintir mahasiswa populer man in street, yaitu mahasiswa yang menggantungkan hidupnya di jalanan dengan cara mengamen, menjual koran atau menjual voucher di pinggir jalan yang akhir-akhir ini tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Saat ini amat langka menemukan yang namanya man in campus apalagi man in intellectuality. Karena yang banyak dijumpai adalah orang yang berkerja sambil kuliah, bukannya orang yang kuliah sambil kerja. Bagi yang berasal dari keluarga mapan terlalu banyak menghabiskan waktunya di café dan internet.

Dengan begitu, lengangnya forum diskusi atau pudarnya tradisi diskusi di kalangan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari perubahan yang sedang pasang di sekitarnya. Citra intelektual perangkai kata dengan segala keuntungannya secara lamat-lamat mampu menggeser citra intelektual orator atau demonstran garang hingga melengangkan forum-forum diskusi. Keberadaan forum diskusi di kalangan mahasiswa saat ini tak lebih sebagai penonton yang cemburu, apologis dan sekedar mengukuhkan eksistensi kelompoknya. Tikar diskusi serasa kian jauh dari mahasiswa disebabkan kesibukkan mereka dengan urusan-urusan untuk menjadi “seleb”. Dan yang paling berpengaruh adalah batang-tubuh mahasiswa diserbu budaya konsumerisme-pragmatisme, yang tentu saja tidak bisa mempersalahkan intelektual muda sepenuhnya.

Opini, Media Indonesia, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar