Rabu, 07 Januari 2009

Intelektual Muda Minang, Gerilya Melawan Klise

Yusriandi Pagarah

“…Dan sebagai warganegara yang terpelajar, yang tahu menimbang buruk dan baik, yang tahu menguji benar dan salah dengan pendapat yang beralasan, tanggung jawabnya…adalah intelektuil dan moril. Intelektuil karena mereka dianggap golongan yang mengetahui; moril karena masalah ini mengenai keselamatan masyarakat, sekarang dan kemudian.”
--Mohammad Hatta

Dalam kata pengantar untuk disertasi Andrew Kahin dalam edisi Indonesia yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 2005 silam, sejarawan garda depan Indonesia, Prof. Taufik Abdullah, menyertakan komentar temannya berkaitan dengan terbitnya disertasi Kahin tersebut: Disertasi Kahin tersebut kian mengukuhkan bahwa sejarah tentang Sumatera Barat memang sejarah tentang kesedihan yang berkepanjangan, it is a sad history.

Kita pun dapat menderetkan potret a sad history tersebut dengam amat panjangnya pada peristiwa demi peristiwa mutakhir yang memilukan hati yang datang silih berganti menimpa masyarakat Minang yang pernah disematkan padanya sejumlah atribut keunggulan hingga membuatnya besar kepala dan membusungkan dada. Belum terobati trauma psikologis dicap sebagai pemberontak karena pernah menentang praktik kebijakan Jakarta yang tidak adil dekade 1950-an, beberapa waktu lalu orang Minang dibuat malu dengan praktik “korupsi berjamaah” yang dilakukan oleh wakil rakyat daerahnya yang rata-rata berstatus dai kondang dan bergelar datuk.

Bukan kuantitas dan takaran matematisnya yang dipersoalkan orang, karena kalau hal itu yang mengganjal—hemat penulis—masih di bawah dan belum seberapa bila dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan, misalnya, oleh anggota DPRD Jawa Tengah yang mengantongi milyaran rupiah atau oleh koruptor BLBI yang mencapai triliunan. Praktik “korupsi berjamaah” mencerminkan betapa rendah dan bobroknya tanggung jawab moral yang dimiliki wakil rakyat daerah Sumatera Barat.

Lantas kebanggaan apalagi yang bersisa dari cerita panjang tentang a sad history yang beruntun menimpa masyarakat Minang? Dan apakah yang bisa disumbangkan oleh intelektual muda Minang untuk daerahnya?

Penyeimbang

Secara sui generis, Minangkabau menganut asas demokrasi dan terbuka. Hal ini dapat diinderai dari pepatah-petitih yang dipraktikan hampir dalam setiap situasi dan tempat, atau dengan mengakses langsung pada cerita-cerita tambo yang dijadikan rujukan dalam aturan-aturan yang menyangkut hal-ihwal kehidupan bermasyarakat. Ambil contohnya yang paling populer duduak samo randah tagak samo tinggi, sebagai bentuk penerimaan sekaligus pengakuan terhadap persamaan derajat. Atau pada pepatah-petitih, nan cadiak kawan baretong, nan binguang disuruah-suruah, nan buto paambuih tungku, nan bisu pangajuik ayam, nan pakak palapeh badiah dan nan lumpuah panghuni rumah, yang menggambarkan bahwa setiap orang diakui eksistensinya dan memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan kapasitasnya.

Dalam kutub ini peran dan sumbangsih intelektual muda Minang adalah membuka selubung—atau bahasa intelektualnya mendekonstruksi—secara santun perihal bahasa-bahasa eufemisme dan banyak basa-basi yang dianut oleh mayoritas orang Minang. Disadari atau tidak, kecenderungan menggunakan eufemisme dalam berbahasa dan banyak basa-basi secara lamat-lamat telah mengkeroposkan dinding ontologis kebudayaan Minang. Keroposnya dinding ontologis ini menjadikan masyarakat Minang banyak yang lancang melanggar normativitas budayanya. Tragisnya lagi, banyak yang mengambil keuntungan dengan keroposnya dinding ontologis tersebut dengan dalih yang juga dideduksi dari aturan yang sama.

Kita tidak bermaksud menafikan atau meragukan sama sekali kontribusi yang telah diberikan oleh bahasa eufemisme dan banyak basa-basi dalam upaya pembentukan tipikal masyarakat Minang yang khas. Yang dipersoalkan adalah penempatan bahasa eufemisme dan basa-basi yang tidak pada tempatnya. Akibatnya kritik dan perbedaan pendapat sebagai turunan lansung dari demokrasi yang amat digadang-gadang secara normatif oleh ranah ini, malahan dikebiri dan ditabukan justeru oleh mereka yang dalam perkataannya sebentar-bentar mengutip Hatta dan sedikit-dikit menyebut Hamka.

Penyakit yang terbilang kronis ini terlihat, misalnya, pada artikel atau berita media lokal, atau pada jurnal-jurnal atau buletin-buletin berlabel Minang di rantau yang seolah-olah tak pernah letih bertutur panjang lebar tentang kesuksesan yang dicapai leluhurnya atau keagungan budayanya sejak kereta api masih beratap ijuk. Sedikit sekali persentasenya—untuk tidak mengatakan tidak ada—berita atau artikel yang kritis menyoroti sisi lain dari keminangkabauan. Bukti ketidakjujuran dan ketidakterbukaan orang Minang dalam menerima kenyataan dapat ditelusuri dari beberapa kasus. Misalnya berita busung lapar dan isu kristenisasi yang gencar dilansir oleh sejumlah media massa beberapa waktu lalu.

Dalam kasus busung lapar, sejumlah pejabat teras menolak mentah-mentah adanya kasus busung lapar di daerahnya. Bahkan orang Minang yang sukses di Jakarta—barangkali karena malu—ikut-ikutan menampik kasus tersebut. Padahal menurut logika komunikasi, semakin seseorang berapi-api menolak dan menampik, semakin kuat kebenaran dugaan tersebut. Akhir cerita, kasus busung lapar benar adanya di banyak tempat di Sumatera Barat. Begitu juga dengan banyaknya siswa-siswi SLTA yang tidak lulus beberapa tahun lalu. Para pejabat pun tidak terima kenyataan tersebut dengan hati lapang. Bahkan kesan yang diapungkan ke permukaan bukannya mengakuinya, tapi beralibi dengan menderetkan sejumlah nama beken dari Sumatera Barat yang telah almarhum, seperti Bung Hatta, Buya Hamka, Tan Malaka dan Sutan Syahrir—untuk menyebut beberapa nama saja. Pada kasus ini, terbukti sikap menduanya (split of personality) masyarakat Sumatera Barat.

Metode yang digunakan para pejabat dan tokoh teras asal Sumatera Barat untuk menampik pandangan minor di atas adalah metode ignaratio elenchi, yaitu menjawab dengan cara bertanya balik kepada penanya atau pengkritik agar mereka yang bertanya atau yang mengkritik merasa kagum atau kaget. Metode lain yang populer adalah metode petitio principii, yaitu mencari jawaban dengan cara mencari pembenaran yang bersifat mistis, metafisis atau cenderung mengkultuskan individu. Di satu sisi mereka amat berang dengan kritik jujur “diam yang memekakkan” yang dilontarkan Gus Dur, namun di sisi lain orang Sumatera Barat malahan mempercayai guyonan Gus Dur yang lebih percaya pada orang mati daripada orang yang hidup. Hingga terkesan orang Minang lebih suka dipuji padahal bohong semuanya daripada dikritik padahal benar adanya.

Bukan bebek kaget

Saat ini masyarakat Minang kembali menerapkan pemerintahan nagari karena sistem pemerintahan desa dirasa tidak cocok dengan bangunan kultural masyarakatnya. Keinginan tersebut berbanding lurus dengan menghidupkan kembali tradisi lama dan institusi ninik-mamak digadang lagi. Maka otonomi daerah di Sumatera Barat dirayakan dengan menggelar alek nagari sesering mungkin dan tanduknisasi semua gedung pemerintahan dan fasilitas umum. Padahal penghuninya nihil dan asing dari pemahaman, apalagi penerapan nilai-nilai keminangkabauan.

Di tengah-tengah masyarakat Minang saat ini orang sibuk menghitung tanah ulayat dan membuat ranji keturunan. Tidak jarang terjadi pergesekan dalam membagi tanah ulayat dan memperebutkan gelar adat. Banyak sekali kita jumpai yang menyandang gelar datuk tidak sesuai dengan kapasitasnya—nir-qualified. Tragisnya lagi, ada juga di antara segelintir orang Minang—biasanya dengan motif kompensasi kapital—dengan amat mudahnya melelang gelar datuk kepada siapa saja yang berminat. Seorang teman menyebut acara melelang gelar datuk tersebut dengan fenomena datuak honoris causa.

Padahal sejatinya spirit yang dibawa otonomi daerah adalah kemandirian daerah membiayai dirinya sendiri dan kesiapan untuk berkompetisi secara terbuka. Barangkali Prof. Taufik Abdullah benar, dalam salah satu artikelnya di jurnal almarhum Genta Budaya, bahwa yang tepat untuk Sumatera Barat “bukan mambangkik batang tarandam”. Karena bila bersikukuh dengan yang telah berlalu, dengan kebanggaan masa silam, sama saja dengan mundur ke belakang. Kita boleh saja menengok ke belakang karena semua orang punya kenangan masa lalu yang sulit dihapus begitu saja. Namun perlu juga disadari bahwa orang yang berjalan sambil menengok ke belakang adalah tipikal orang penakut dan pengecut.

Self-critic society

Sebagaimana pendapat Bung Hatta yang dikutip di awal tulisan ini bahwa sebagai seorang yang terpelajar tugasnya adalah tanggung jawab intelektual dan tanggung jawab moral. Sebagai intelektual muda yang berasal dari daerah yang masyarakatnya dirundung a sad history berkepanjangan amatlah berat. Apalagi a sad history tersebut berkait-kelindan dengan kebanggaan pada kejayaan masa lalu. Bayangan masa lalu yang gemilang dan masa sekarang yang sial membias silih berganti di setiap pelupuk mata orang Minang. Suatu paradoksal yang ambigu.

Sebagai intelektual muda Minang tentunya tidak ingin mengalami situasi paradoksal sebagaimana yang dialami para pendahulunya. Sebagai intelektual tentunya ia juga tidak akan membiarkan masyarakatnya larut dalam masa lalu: apakah itu yang membanggakan atau pun yang menyedihkan. Selain himbauan moral dan sikap kritis, adakah yang lebih mungkin dilakukan oleh seorang intelektual muda Minang? Menyikapi perubahan yang sedang pasang tersebut, intelektual muda Minang dapat memainkan perannya. Pertama, mengikis secara perlahan sikap tertutup yang merugikan atau meminimalisir bahasa eufemisme. Berbagai kasus seperti busung lapar, isu kristenisasi dan banyaknya siswa-siswi yang tidak lulus, sesungguhnya dapat dijadikan bahan pertimbangan dan perenungan untuk merekonstruksi dan merancang (social engineering) masa depan masyarakat Minang yang lebih baik. Bukannya ditanggapi dengan senjatanya orang-orang yang kalah—meminjam istilah James Scott. Karena kita tidak boleh menjawab masa lalu untuk persoalan hari ini.

Kedua, mengkritisi setiap kebijakan yang digulirkan pemerintah daerah atau fenomena yang ganjil di tengah masyarakatnya. Fenomena otonomi daerah yang di Sumatera Barat diejawantahkan dengan mengusung paket baliak ka nagari. Di satu sisi diakui, bahwa baliak ka nagari sedikit-banyaknya dapat mengobati harapan yang telah punah akibat kepungan potret a sad history. Namun di sisi yang satunya lagi, paket baliak ka nagari telah membuat masyarakat Sumatera Barat salah dalam mengartikan otonomi daerah. Yang tertanam di benak setiap orang Sumatera Barat bahwa kehidupan yang ideal adalah kehidupan seperti yang telah dipraktikan oleh pendahulunya.

Kita tidak menampik sistem pemerintahan nagari mampu dan berhasil membawa masyarakat Minang tradisional mencapai yang dicitakannya. Namun dengan situasi dan tantangan yang berbeda, apa mungkin kita menerapkan sistem pemerintahan nagari seperti yang dulu itu tanpa adanya inovasi-inovasi cerdas di sana-sini. Tugas intelektual muda Minang adalah mengkritisi sisi lain atau ekses negatif dari praktik otonomi daerah yang salah tafsir, seperti hidupnya kembali imperium ninik-mamak yang tak kalah kejamnya dari politik penyeragaman yang dilakukan rezim Orde Baru.

Ketiga, mengawal perubahan dengan cerdas. Intelektual muda Minang harus membuat advokasi tandingan untuk mengimbangi kecenderungan membanggakan kejayaan masa lalu leluhurnya dengan menunjukan bahwa orang Minang dulu banyak “mamacik” karena mereka mengambil dari kemajuan apinya dan bukan abunya. Mengambil dari modernitas spiritnya, dan bukan menenggak residunya. Di samping cerdas membaca perubahan yang sedang pasang, intelektual Minang masa lalu punya komitmen moral yang aduhai agungnya, disamping kapasitas intelektualnya yang tidak diragukan lagi. Tarulah kita bangga dengan Bung Hatta karena beliau representasi dari orang Minang yang sukses secara intelektual dan politik. Salah satu sikap Bung Hatta yang pantas dan relevan untuk diteladani adalah kecintaan beliau pada buku yang belum ada tandingannya. Lalu bagaimana dengan kita yang mengaku dan amat membanggakan beliau: sejauh mana kecintaan kita pada buku dan ilmu pengetahuan?

Kegagalan intelektual muda Minang melakukan provokasi atau advokasi yang bernuansa self-critic society, tidak tertutup kemungkinan potret a sad history akan berulang lagi di Sumatera Barat dengan banyak wajah dan mungkin lebih suram. Padahal kita tidak ingin menjadi generasi kerdil seperti yang selalu jadi kegundahan Bung Hatta sedari mudanya. Kegagalan melakukan counter attack atau melawan klise, barangkali sebentuk pengkianatan intelektual, la trahison des clerc—meminjam istilah Julien Benda, sekali pun dalam bentuknya yang minimalis. Intelektual muda Minang harus cerdas membaca arus pengkeroposan ontologis budaya Minang dari dalam yang dapat diringkas dalam satu tarikan napas: adat yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas, tapi tandeh dek pitih…

Opini, Serambi Minang, Juni 2006

1 komentar: