Selasa, 06 Januari 2009

Sekaten, Ritual Kolektif, dan Bisnis Pertunjukan Budaya

Yusriandi Pagarah

Pada tahun 1939 Saka atau bertepatan dengan tahun 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali, menggelar kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama tujuh hari menjelang tanggal kelahiran Nabi Muhammad Saw. Agar menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama karya Sunan Kalijaga.

Setelah melakukan kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat atau syahadatain. Dari kata syahadatain inilah kemudian lahir istilah sekaten akibat perubahan pengucapan, sebagaimana yang juga dialami oleh suku bangsa dan komunitas lainnya di dunia.

Seiring beralihnya Demak menjadi sebuah kerajaan Islam. Demikian juga pada saat bergesernya kerajaan Islam ke ranah Mataram, serta ketika terbaginya kerajaan Islam Mataram kepada Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, Sekaten tetap digelar sebagai warisan budaya Islam yang senantiasa berkembang dari tahun ke tahun.

Ritual Kolektif

Adalah almarhum Fazlur Rahman (1995), Bapak Neo-Modernisme Islam berkebangsaan Indo Pakistan dan berkubur di tanah pengabdian Amerika, memberi seperangkat metode bagaimana caranya membaca sebuah teks lama atau memaknai sebuah peristiwa masa lalu agar senantiasa relevan untuk masyarakat yang hidup pada miliu kontemporer. Rahman, menawarkan formula gerak ganda atau double movement dalam melakukan analisis terhadap teks lama atau peristiwa masa lalu. Dalam operasionalnya, gerak ganda masuk ke bilik-nilik masa silam, setelah dapat menggamit spiritnya, kemudian kembali ke masa sekarang untuk ditata cara pengaktulisasikannya yang sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang.

Lantas bagaimana menafsirkan perayaan Sekaten yang relevan dengan realitas aktual kehidupan masyarakat sekarang? Mengikuti alur pemikiran Rahman, perayaan Sekaten juga dapat dimaknsai menggunakan formula gerak ganda. Sebagaimana yang terdapat di awal tulisan ini, yang mencoba memaparkan serba sekilas-sepintas tentang geneologi perayaan Sekaten, terlihat bahwa perayaan Sekaten merupakan sebuah peristiwa yang sarat makna dan berkait erat dengan konteks awalnya. Sekaligus sebuah peristiwa sosio-kultural yang sesak dengan simbol-simbol yang saling berkelindan. Berbicara tentang konteks, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari membicarakan tentang waktu dan ruang, karena keduanya merupakan saripati dari konteks. (Piotr Sztompka, 2002: 48-51)

Mengikuti operasional gerak ganda Rahman, harus ditelusuri terlebih dahulu mengapa perayaan Sekaten digelar. Bila dicermati, perayaan Sekaten pada awalnya diadakan untuk memperingati dan memuliakan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Untuk menarik hati masyarakat luas dan supaya tidak monoton diadakan juga atraksi kesenian. Kecuali itu, hal lain yang sangat urgen adalah tersedianya ruang bagi masyarakat luas yang ingin dituntun memeluk agama Islam.

Lebih jauh, terdapatnya ruang untuk menuntun mengucapkan dua kalimat syahadat dapat dimaknai dengan tersedianya ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan kolsultasi dan pengaduan berbagai persoalan kepada pemimpin atau pemerintah di lokasi tersebut. Seyogyanya di setiap perayaan Sekaten dibangun komitmen bersama untuk menghimpun dana yang dialokasikan untuk memberdayakan dan membantu rakyat miskin, tidak semata-mata sibuk berapat dan mengorganisir uang sewa tempat, uang parkir atau uang keamanan. Hal ini berbanding lurus dengan spirit yang dibawa agama Islam dan misi risalah Nabi Muhammad Saw. sendiri untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia. Dimensi-dimensi kemanusian inilah yang sering terabaikan oleh segenap pemrakarsa dan panitia perayaan Sekaten selama ini, yang banyak mendapat hujan kritik dari berbagai kalangan.

Bisnis Pertunjukan Budaya

Hal lain yang sering mendapat kritik keras dari perayaan Sekaten—dan tentu juga dari perayaan-perayaan lainnya—adalah penonjolan aspek komersial dan kental dengan nuansa kapitalistik. Sebagaimana yang dilontarkan Umberto Eco, seorang penulis buku laris dan peminat kebudayaan yang disegani, bahwa bismis pertunjukan budaya atau kultur sebagai bisnis pertunjukan (cultur as show bisnis) lahir dari rahim dan merupakan produk masyarakat teatrikal (treatical society). Sebagai eksesnya, pertunjukan-pertunjukan kebudayaan kehilangan daya pikat dan daya pukaunya, semata-mata demi dan untuk kesenangan, serta membosankan. Hal tersebut dipantik oleh hilangnya kreativitas dan raibnya spontanitas dari para aktornya. Tidak adanya inovasi dan partisipasi warga, serta ditambah dengan ikut campurnya pengambil kebijakan yang berorientasi pada pengumpulan pundi-pundi kapital, kian menggeruskan apa yang selama ini digadang-gadang orang sebagai budaya tinggi atau budaya adiluhung. (Eco, 2004: 207-214)

Karenanya, sudah tiba waktunya para pemimpin memikirkan secara arif dan terkonsep dengan baik untuk menata ulang berbagai atraksi kesenian yang ditampilkan pada perayaan Sekaten. Menyuguhkan aneka pertunjukan, yang tidak semata-mata menghibur, tapi juga atraksi yang mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Sehingga, perayaan Sekaten sebagai sebuah peristiwa kebudayaan benar-benar bermutu dan layak dikenang. Sekaligus mencerminkan Yogyakarta sebagai kota budaya.

Sebagai pesta rakyat, perayaan Sekaten jangan jatuh sebatas slogan hampa. Sebagai ritual kolektif tahunan, perayaan Sekaten seharusnya mampu merengkuh dan direngkuh siapa saja, apalagi akhir-akhir ini warga kota ini terpecah-pecah ke dalam berbagai kekompok kepentingan dan berbagai peristiwa yang mengusik kenyamanan warga kota yang berhati nyaman ini. Tidak terkesan sebagai pertunjukan yang mengkultuskan individu atau menguntungkan segelintir orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar