Selasa, 06 Januari 2009

Siti Pane

Yusriandi Pagarah

“Sorry, tadi pangggil Mbak”, ujar perempuan itu, memasang mimik serius. “Saya kira perempuan, abis rambutnya panjang sih”, tambahnya. “Tak apa, Bu. Bukan Ibu saja yang mengira saya perempuan. Banyak juga orang lain mengira saya perempuan”. Saya balas senyumnya dengan senyum simpatik yang tak kalah manisnya. Dalam hati saya hanya tertawa geli mengingat kejadian tersebut. Karena berulang kali saya alami.

Sewaktu membantu kakak di warung makan di Ngampilan, utara Kraton Yogyakarta, sering sekali pembeli memanggil saya Mbak. Apalagi melihat saya dari belakang. Bagi yang sadar kalau saya laki-laki, ada yang minta maaf serius. Ada juga yang menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Lantas berlalu dengan tawa tertahan. Namun lebih banyak lagi yang tidak tahu kalau saya laki-laki. Pernah kejadian tersebut saya ceritakan pada kakak dan teman. Mereka hanya terbahak mendengarnya.

“Mau ke mana, Bu?”, tanya saya, memberanikan diri pada Ibu di samping saya. Yang mengira saya perempuan itu. Saya terkesan dengan bahasanya yang gaul. Ia bilang sorry, bukan maaf, ketika tahu kalau saya laki-laki. “Ke Kartasura”, jawabnya singkat. Saya mengangguk sekadarnya. Masih jauh, batin saya. Ini masih di Ngawi.

Suara fals pengamen menyanyikan lagu Sri membuyarkan hasrat ingin tahu saya tentangnya. Selesai menyanyikan satu atau dua lagu, pengamen tersebut menggilir kantong receh ke seantero penumpang. Waktu disodorkan pada saya, saya mengangkat tangan pertanda minta maaf. Tapi pengamen berotot mirip atlet kelas berat itu menimpali, rokok juga tak apa. Saya balas, saya tidak merokok. Permen juga boleh, jawabnya. Maaf, sudah habis, balas saya. Ia pun berlalu sambil menggerutu yang tidak begitu jelas saya dengar, menyodorkan kantong recehnya pada penumpang lain di belakang saya. Tapi Ibu itu malahan memanggil kembali pengamen tersebut dan memberi receh lagi.

“Mau ke mana?”, tanya Ibu di samping saya, sejurus kemudian. “Jogja”, tandas saya singkat. Ia juga mengangguk sekadarnya. Waktu bersitatap mata dengannya, saya yakinkan diri saya bahwa perempuan ini bukan perempuan biasa. Apalagi kemudian ia begitu sibuknya mencari-cari kondektur yang tak kunjung meminta ongkos padanya. Sepertinya ada perasaan bersalah yang hebat bila luput membayar ongkos. Saya jadi malu pada diri saya yang diam saja bila sang kondektur alpa menagih ongkos. Terkadang bangga dan diceritakan pada teman dengan begitu heroiknya.

“Orang Jogja, pa?”. Ia lirikkan mata binarnya pada saya. Saya hanya senyum. Tipis sekali. “Bukan. Saya orang seberang, orang Sumatera.” Saya coba berpaling darinya. Sembari memindahkan ingatan pada nenek saya yang tengah terkulai sakit nun jauh di sana, di negeri beribu nagari. Saya memanggilnya Andeh. Andeh bertambah kalut oleh tingkah anak bungsunya di Batam yang tidak mau pulang menjenguknya. Kadang saya berpikir, apa memang takdir orang tua hanya membesarkan anak-anaknya, lalu mengikhlaskannya pergi bagai anak peluru. Atau lebih tragis lagi seperti membesarkan anak ular. Ahh!

“Saya pernah tinggal lama di Medan. Di Berastagih”, sambungnya. “Saya ikut suami dan tinggal bersama mertua berapa hari saja sedari pengantin baru. Saya menikah muda, bahkan teramat muda. Usia enam belas tahun. Masih imut-imut lah”. Lantas ia dendangkan lagu Betharia Sonata dan Koes Plus dengan sepenuh hati. Diselinginya lagu-lagu Batak dan loghat Medan yang kental yang tidak begitu saya kenal. Saya kembali memamerkan senyum tipis melihat tingkahnya.

Konsentrasi saya buyar karena ada panggilan masuk ke ponsel saya. Ada telpon masuk yang tidak saya ketahui pemiliknya. Yang pasti dari Sumatera. Hati saya berdebar, jangan-jangan kabar terbaru tentang Andeh. Saya angkat, tapi suaranya tenggelam oleh deru mesin bus ekonomi dan jreng gitar pengamen . Ponsel saya berdering lagi. Dalam kebisingan yang amat itu saya katakan pada penelpon untuk menghubungi saya nanti saja.

Tak lama antaranya ponsel saya bergetar. Ada pesan baru masuk. Saya berharap ini bukan kabar buruk tentang Andeh. “Selamat jalan Bang. Kalo sampe perbatasan Ngawi-Sragen jangan lupa melambaikan tangan. Aku berada sekitar situ. Meski jalannya bergelombang, tapi asyik tho? He he he”. Benar, bukan dari negeri seberang. Dari Ana, teman satu lokasi sewaktu mengadakan bhakti sosial di kecamatan Prambanan yang tak berair itu tiga tahun silam. Walau beda kampus, antara kami terjalin pertemanan yang begitu karib.

“Dari istrinya, ya?”. Perempuan itu bertanya dengan gaya akting anak muda sekarang menggoda temannya. “Bukan. Dari teman lama yang baru menikah. Orang Ngawi sini. Kalo saya masih bujangan, Bu”. Hati saya sudah bulat untuk menggali informasi lebih banyak lagi tentangnya. Saya benar-benar yakin, ia perempuan istimewa.

“Usianya berapa, Bu?”, saya hadapkan muka padanya. “Minimal enam puluh delapan tahun lah.” Saya tidak begitu kaget karena umurnya sudah masuk dalam perkiraan saya sebelumnya. “Oh ya lupa, namanya siapa Bu?”, sambung saya. “Siti. Lengkapnya Siti Pane. Ikut marga suami yang sudah lama almarhum”,. Ia tuliskan namanya di sandaran tempat duduk di depannya dengan telunjuknya. Sambil diejanya pelan. Lantas ia bersenandung lagi. Mendendangkan tembang lawas Batak. Meski tidak paham, saya yakin perempuan itu kangen pada mendiang suaminya. Saya biarkan ia larut dalam lamunannya.

Karena rasa ingin tahu yang mendera tentangnya, saya bertanya lagi. “Barusan dari mana, Bu?”. “Dari Ngawi”, jawabnya singkat. “Orang Ngawi, pa?”, kejar saya. “Bukan,. Saya orang Solo asli. Habis mengantar dagangan. Ya, sekadar untuk menyambung hidup”. Tak sedikit pun membias wajah mengeluh, apalagi wajah putus asah padanya. “Dagang apa, Bu?”, tanya saya lagi. “Dagang kecil-kecilan saja. Jualan sapu ijuk, sapu lidi, serbet dan semacamnya lah. Yang penting bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.” Jawabannya kembali memantik ingatan saya pada Andeh. Pasalnya Andeh juga tetap energik, meski usianya sudah tua. Sudah punya cicit lagi. Selesai wisuda kemaren Andeh menyuruh saya pulang. Katanya, ingin melihat saya menikah dan punya anak. Selagi Andeh masih hidup, kilahnya.

“Maaf, di Solo tinggal bersama siapa?”, saya bertanya lagi karena kebersamaan kami akan segera berakhir. Sekarang sudah di Sragen dan tak lama lagi akan memasuki kota Solo. Sedangkan saya belum begitu berhasil mengungkit lebih dalam siapa dirinya. “Sendirian”, jawabnya dingin. saya kian penasaran. “Memang nggak ada anak atau keluarga di Solo”, lanjut saya. “Ada. Anak saya yang sulung tinggal di Solo. Suaminya orang Jombang. Anak saya yang lain ada di Tangerang, Kalimantan dan Riau”. Saya jadi miris dan sedih sendiri karenanya. Hampir saya mengeluarkan uang dua puluh ribuan untuknya. Tapi urung saya berikan. Saya takut ia tersinggung.

“Mungkin anak kita nggak masalah tinggal bersamanya. Tapi bagaimana dengan suaminya. Hati orang mana kita tahu”. Dikemasinya barang-barangnya. Melihat gelagat tersebut, saya jadi bingung dengan perasaan saya sendiri. Seraya mengutuk waktu yang berlalu begitu cepatnya. “Eee, boleh tahu alamatnya?”, kejar saya sewaktu ia ancang-ancang menuju pintu depan bis. “RT 1 RW 10 Krapyak. Dalam Kraton”. Ia melangkah menghampiri pintu. “Tanya Siti Pane. Semua orang tahu saya. Kapan-kapan mampir ya”. Itu suara terakhirnya yang sempat saya dengar. Langsung saya simpan dalam ponsel saya. Ketika saya hadapkan wajah ke depan, tak saya lihat lagi sosoknya. Saya sedih. Saya marah. Saya malu.

Langit mulai gelap. Lampu-lampu mulai menyala. Jreng-jreng pengamen sambung-menyambung sampai jembatan layang Janti. Tapi hati saya tak lagi hirau dengan dendang dan kidung para pengamen. Juga tidak akan memberi apa pun pada mereka.

Tenggara Rel Timoho, Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar