Jumat, 09 Januari 2009

Waktu Berpahat Kelu Batu

Yusriandi Pagarah


I

Sisa bara siang dibasuh angin sore yang kelu. Bayang-bayang pasi bergelantungan di dahan-dahan ranggas akasia. Senja yang pikun berpendar membiakkan pekat malam. Ah, serasa tambah panjang saja malam berderai ini. Serasa makin lebar saja retak cermin meja rias itu.

Genit ingatan berbalik ke bilik lama yang sempat terekam:
Ia hantarkan salam bersama debaran jantung bergemuruh. Ia kuatkan nyali mengetuk pintu. Hingga tiga kali. Sambil ditirakatinya pelan sebuah nama. Langkah berat terdengar diseret ke daun pintu penuh kenangan. “Cari siapa, Dik”, tanya lelaki itu tanpa basa-basi.

Tapi perempuan itu malahan kabur melewati perpustakaan yang sepi pengunjung. Tak pernah lagi ia menoleh ke belakang. Sepeninggalnya, lelaki itu terus mengumpat dalam hati, “ada-ada saja yang menganggu lelapku”. Sambil bersungut-sungut ia rekat kembali sepotong mimpi yang terbengkalai. Waktu itu matahari baru sepenggalah. Sore hari terbesit berita: rupanya perempuan itu dikerjain kakak kelasnya.

Pertemuan pertama yang tak bernama!

II

Kala itu ufuk barat ditemani cahaya langit sore keemasan. Pijar musim kemarau membias ke danau-danau yang mulai kerontang. Juga tasik-tasik yang jarang disiang. Retak-retak tanah membuat cemas rerombongan semut menyeberangi perlintasan. Daun-daun berguguran mengerumuni pepokoknya. Kuartet debu dan kabut jumpalitan menyerbu kerongkongan. Ah, makin sempit saja ruang. Makin jauh saja tanah harapan.

Genit ingatan berbalik ke bilik lama yang sempat terekam:
Laki-laki itu masuk dari arah gerbang. Bergegas menemui ranjang derit masa remaja. Kangen pada kasur berkepinding. Juga bantal tak bersarung berhias peta-peta dunia. Sebelum langkah kaki menjangkau teras, sebelum tangan merengkuh pintu kenangan, perempuan bersuara sopran memanggilnya. Bersama temannya yang berkacamata berlomba mengabitkan tangan ke lelaki itu.

Dua perempuan itu lantas memberondongnya dengan beragam pertanyaan. Pertanyaan yang tak sempat dipikirkannya. Juga tak pernah ia jawab. Dua perempuan itu terus menodongnya dengan beragam pertanyaan. Sampai lelaki itu menyerah. Sampai sariawan. Lalu dibuat kesepakatan hitam di atas putih: lelaki itu akan menemui sahabat kedua perempuan itu malam itu juga.

Seisi langit mencibir gelagat lelaki itu:
“Tumben ia jantan berikrar menyelesaikan kusut persoalan. Tak biasanya ia tertarik dengan ihwal remeh-temeh itu. Jangan-jangan ada cacing dalam perutnya.”

III

Saat malam berselimut kelam. Saat waktu belum larut dalam pelukan liar malam. Ia temui perempuan yang tak sempurna disimpannya dalam etalase memori. Mereka bertemu di ruangan sesak meja dan kursi: ruangan dimana ia pernah diadili dua kali di masa puber. Karena mendapat kiriman surat romantis dan photo seksi perempuan.

Ia pandangi perempuan itu sejenak. Wajah perempuan itu bersemu merah dalam balutan mukena. Lelaki itu memulai pembicaraan. Berbasa-basi. Tapi di tengah perjalanan perempuan itu mengambil kendali. Lelaki itu berusaha menjadi pendengar yang baik saja.

Sesekali lelaki itu mencoba mengutuk waktu. “Tak adil” rutuknya.
Di lain detik diam-diam ia takar perempuan di hadapannya. Berbekal pengetahuan yang dipungutnya di sepanjang perjalanan.
“Oh, ini pas menilainya dengan teori Jung!”
“Kalau yang ini cocok dengan ancangan Freud!”
“Salah, yang benar dengan paham Sartre!”
“Sesuai dengan pandangan Kierkergard ‘lah!”
“Dengan Niezche, tahu!”
Semua pustaka pengetahuan dibentangnya.
Tapi tetap saja gagal menamainya sebagai apa!?

IV

Ada saatnya lelaki itu berbinar. Mengeja huruf demi huruf surat dari perempuan itu. Ia geli sendiri melihat tanda kutip dan tanda petik yang ditaruh serampangan. Juga selingan bahasa asing yang bising. Kadang lelaki itu suka usil dengan imajinasinya sendiri. Membayangkan bagaimana susahnya perempuan itu menata hati dan merangkai kata. Juga berapa kertas yang habis disobeknya supaya terlihat sempurna. Tulisan tangan imut-imut penulisnya dan cita-cita seindah pelangi ciptaan Tuhan, paling sering dikenangnya.

Surat kedua dan ketiga dari perempuan itu diterima lelaki itu sebelum senja mengurung kota. Betapa riangnya lelaki itu menerima potret perempuan itu. Lalu potret perempuan itu dipajang di meja belajar. Di samping potret pujaan hati dan potret adik perempuan semata wayangnya.

Setelah puas membaca surat perempuan itu, sebuah ihwal membuatnya tercenung:
“Masih ada orang yang resah dirinya disimpan seseorang.”

V

Suatu senja tanpa terang bulan dan kerdipan gemintang. Udara sesak seperti hendak turun hujan. Mengenang hujan, lelaki itu langsung riang. Sudah lama ia tak menikmati hujan. Sering lelaki itu berang pada langit tanah seberang. Bedebah, apa tanah di sini tidak kangen dibelai hujan! Tapi langit tak kunjung mengejan hujan. Lelaki itu pun mengalah. Mengancing jendela dan menutup tambo pengharapan.

Lalu lelaki itu menulis surat kepada empunya malam:
“Ada waktu untuk merenda dan ada waktu untuk merobek. Namun apa yang harus direnda dan apa yang harus dirobek. Toh tidak ada yang harus direnda karena tidak ada yang robek. Juga tak ada yang mesti dirobek karena memang tak ada yang pernah direnda.”

Waktu pun berpahat di kelu batu.

//Tamansari-Ngampilan, 08 Desember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar