Senin, 05 Januari 2009

Awas Hantu Baudolino!

.Yusriandi Pagarah

Beberapa waktu lalu, Agus Wibowo dari Komunitas Akar Yogyakarta merekomendasikan sastra sebagai literatur dan sumber sejarah. Mas Agus mendedahkan data dan argumen yang memanjang untuk meyakinkan kita sebagai pembacanya agar sependapat dengannya. Juga membeberkan bahwa sejarah dan sastra telah sedari lama berkawan karib.

Apa yang dicitakan Mas Agus berbanding lurus dengan Dr. Asvi Warman Adam, yang merekomendasikan novel-novel Pramudya Ananta Toer sebagai sumber sejarah Indonesia. Hal tersebut disampaikannya dalam berbagai forum dan dibiakkan dalam banyak tulisannya. Kegelisahan peneliti senior LIPI asal Sumatera Barat ini, dipantik oleh kenyataan minimnya sumber data sejarah Indonesia pada masa kolonial dan minimnya data yang memotret sejarah Indonesia dalam proses peralihan abad ini.

Merubah Mindset
Bagi penulis, yang menarik bukan pemaparan Mas Agus betapa karibnya hubungan sejarah dengan sastra. Bukan juga getolnya Bung Asvi yang lebih spesifik lagi menunjuk karya-karya Pramudya yang notabene merupakan satu-satunya sastrawan negeri ini yang pernah masuk nominator peraih Nobel Sastra sampai hari ini. Bukan. Justeru yang memikat hati penulis adalah niat baik Bung Asvi dan Mas Agus, untuk menurunkan sekat-sekat ideologis dan spesialisasi akademik yang sempit dalam menafsir realitas. Inheren dalam diri keduanya untuk membaca dan memaknai sebuah peristiwa secara holistik dan dari berbagai sudut pandang. Meminjam istilah Ian G. Barbour, sudah saatnya membaca sebuah peristiwa secara integritas-interkoneksitas.

Penulis juga tertarik pada kenyataan bahwa keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda, namun memiliki visi yang sama menjadikan sastra sebagai sumber atau khazanah literatur sejarah. Mas Agus yang berlatar sastra, yang terbiasa dengan ketidakteraturan mencoba keluar dari “sarangnya”. Bung Asvi yang akrab dengan jenis berpikir yang rigid, sistematis, bahkan terkesan sangat hati-hati, memiliki ketertarikan dengan khazanah yang digadang-gadang orang a-historis.

Sosok almarhum Kuntowijoyo, penggagas ilmu sosial profetik, adalah salah satu orang yang beruntung, karena dalam dirinya tergabung dua hal yang dipetentangkan banyak orang. Sebagai sejarawan, siapa yang tidak mengetahui kepintaranya mengolah dan menafsir data sejarah yang berserakan menjadi “hidangan” istimewa, dan sebagai sastrawan, siapa pula yang tidak mengakuinya piawai merangkai kata-kata nan ciamik.

Penulis multi talenta, Dr. Ignas Kleden, berpendapat bahwa yang pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mindset yang telah tertanam lama di benak, yang membedakan fiksi dan fakta. Kalau pun tetap bersikeras membedakan keduanya, dalam ilmu pengetahuan pada umumnya konsep-konsep disusun dengan cara menyingkirkan sebanyak mungkin konotasi dan ambivalensi sehingga tercapai suatu denotasi yang dapat ditetapkan isi dan batas-batasnya. Sebaliknya, dalam karya sastra konotasi disemai sedemikian rupa dan ambivalensi justeru diaktifkan untuk menghidupkan watak simbolik sastra. (Kleden, 2004: 7-8)

Hantu Baudolino
Seperti petuah populer, sebagaimana terdapat yang baik di antara kumpulan yang buruk, begitu juga sejatinya terdapat cacat dan aib dalam kumpulan yang baik. Petuah ini mengajak kita untuk berpikir kritis, rendah hati, dan tak buru-buru menjatuhkan vonis hitam-putih. Anda dan saya tentu pernah membaca novel Umberto Eco, Baudolino (2002). Pasalnya, dalam novel nomor pincitnya (terakhir) yang bernuansa komikal itu, Eco mengajak kita merenung sejenak sekaligus mewanti-wanti agar berhati-hati dalam menilai seseorang.

Sebagai pakar abad pertengahan (medievalisme), novel-novel Eco banyak berlatar cerita abad pertengahan, tak terkecuali novel Baudolino. Baudolino, tokoh utama novel ini, adalah anak angkat Frederick Barbarossa, kaisar Romawi kala itu. Karena kesayangan kaisar, prilaku Baudolino menjadi-jadi, membuat kekacauan, pengrusakan, bahkan perang dan pembunuhan, dengan cara memberi informasi palsu kepada kaisar. Ditambah modal retorika yang handal, jadilah Baudolino pendusta kelas wahid, yang ketagihan berdusta dan berdusta lagi.

Uskup Otto, paman sang kaisar dari pihak ibu yang juga penasehat spritual kaisar, tahu kalau Baudolino berbohong. Pernah menghardiknya, “pembohong yang menyangkal berarti membenarkannya” atau “Baudolino, kau ditakdirkan sebagai pembohong”. Toh, pada akhirnya Uskup Otto merupakan guru Baudolino dalam bersilat-lidah dan berpetuah, “jika kau ingin menjadi sastrawan dan mungkin menulis sejarah kelak, kau harus berbohong dan menemukan dongeng, kalau tidak sejarahmu akan monoton.”

Orang lain yang tahu Baudolino berbohong adalah Niketas Cheniates, mantan orator dan konselir, sejarawan dan hakim tinggi basileus Byzantium. Pasalnya Baudolino mengaku pernah bertemu dengan Niketas sewaktu Barbarossa berkuasa. Sebagai negosiator Byzantium, seharusnya Niketas melihat Baudolino, tapi kenyataannya tidak. Apalagi wajah Baudolino mirip orang Saracen, sebutan orang Kristen abad tengah dan sejarawan Barat untuk orang Arab dan masyarakat muslim pada umumnya, ketimbang paras orang Kristen. Namun fakta tersebut tak kunjung meyakinkan Niketas bahwa Baudolino seorang pembohong. Ditambah kemudian Baudolimo membantu Niketas keluar dari Konstantinopel untuk bertemu keluarganya. Kelak kisah bohong Baudolino tersebut menjadi acuan Niketas untuk menulis buku sejarahnya, The Sack of Constantinople, yang melegenda itu.

Apa yang dirisaukan Eco dalam novelnya tersebut, hemat penulis, semestinya menjadi bahan perenungan dan pertimbangan lain serta cermin tempat mengaca diri untuk meletakkan posisi seseorang dalam kisaran sejarah bangsa ini. Karena di negeri ini “sejarah adalah milik rezim yang berkuasa” dan sejarah akan berganti seiring dengan bergantinya sebuah rezim. Karenanya, diperlukan banyak orang dan kerja ekstra keras untuk menilai sosok dan kontribusi seseorang untuk bangsa tambun ini. Berlaku tidak saja untuk Pramudya dan karya-karyanya, tapi juga bagi sesiapa saja yang memberi konstribusi. Sebab manusia bermental seperti halnya Baudolino akan tetap diproduksi sepanjang zaman. Siapa tahu Pram, Bung Asvi, Mas Agus, anda dan juga saya mengidap mental Baudolino.

1 komentar:

  1. salut analisisnya mas...tapi saya bukan dari komunitas akar yogyakarta tetapi komunitas aksara yogyakarta.nuwun salam.Agus Wibowo: www.aguswibowo82.blogspot.com

    BalasHapus