Jumat, 09 Januari 2009

Orde Baru Dalam Sorotan Media Massa

Judul : Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999
Editor : David Bourchier dan Vedi R. Hadis
Pengantar : Prof. Dr. Taufik Abdullah
Penerbit : Freedom Institute dan Grafiti Press, Jakarta
Tebal : xliv+432 hlm (termasuk indeks)
Cetakan : I, Oktober 2006

Yusriandi Pagarah

Orde Baru dengan aktor utamanya Soeharto yang didukung militer telah jadi ladang subur bagi para akademisi dan peneliti dari dalam dan luar negeri untuk ditilik dengan berbagai persfektif. Namun membaca situasi sosial dan politik pada masa Orde Baru yang bersumber dari tulisan-tulisan tersiar, pamflet mahasiswa, manifesto serikat buruh, selebaran gelap dan dokumen-dokumen pidato politik pejabat teras negara, langka dilakukan. Salah satu kerja-kerja intelektual yang termasuk langka tersebut adalah apa yang dilakukan David Bourchier, Ketua Asian Studies University of Western Australia, bersama koleganya Vedi R. Hadis dari Departement of Sosiology National University of Singapore dan fellow Asian Research Centre, Murdoch University, Australia.

Buku yang mencoba menggeledah batang tubuh Orde Baru dari masa awal lahirnya hingga masa kejatuhannya ini dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama (1965-1973) memotret silang-sengketa dalam mencari format politik orde yang baru lahir. Di dalamnya terlihat pergulatan tiga mainstream utama. Pertama, kubu organis yang menginginkan format politik yang mengakomodir kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, etnis, bahasa, budaya dan agama yang berbeda. Kubu ini mengusung ideologi Pancasila sebagai jalan tengah. Peran militer yang diwakili Soeharto, Ali Moertopo dan Abdulkadir Besar, tampak dominan (hlm. 41-67).

Kubu kedua mengusung pluralisme modern sebagai ideologi negara karena sesuai dengan era modern. Dimotori ilmuan sosial yang aktif menulis di Mahasiswa Indonesia, Abadi, Berita Yudha dan Kompas. Diantaranya Soelaiman Soemardi, A. Rahman Tolleng, Soemarno dan Arief Budiman. Mereka sangat kritis terhadap kebijakan Orde Baru dan mengkritik dwifungsi ABRI (hlm. 79-103). Kontestan terakhir berasal dari kubu Islam yang merasa berjasa menganyang komunis dan menurunkan rezim Soekarno tetapi dipinggirkan Orde Baru. Idham Chalid, Buya Hamka, Nurcholish Madjid dan M.S. Mintareja, kerap menyuarakan aspirasi umat Islam melalui tulisan mereka di Harian Kami, Panjimas, Tempo dan lain sebagainya. Dengan dalih stabilitas dan transisi serta dikuatkan Supersemar dan hegemoni ABRI, kubu organis keluar sebagai kampiun (hlm. 113-123).

Bagian kedua memaparkan masa keemasan Orde Baru (1973-1988). Berbekal kemenangan legitimasi politik dan institusional, kubu organis mampu mengendalikan situasi yang bergejolak hingga mencapai kejayaan. Pada masa tersebut Orde Baru kian menancapkan kuku-kuku kekuasaannya di bumi pertiwi dengan cara menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, membuat undang-undang tentang keormasan, menyulap partai politik dalam tiga fusi, penataran P4 dan peraturan pemerintah yang bias lainnya (hlm. 132-1550). Pada masa ini telah muncul benih-benih mosi ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Dari kalangan pluralis lahirlah buku putih mahasiswa ITB, Petisi 1950, dan kritik YLBHI pada pemerintah yang memasukan LSM/ NGO ke dalam ormas. Sementara tokoh-tokoh teras umat Islam seperti Hasbullah Bakry, Sjafruddin Prawiranegara dan Abdurrahman Wahid, dan organisasi kemahasiswaan semisal HMI, menarik dukungannya terhadap Orde Baru. Bahkan ada yang melawan Orde Baru seperti Amir Biki (hlm. 168-207).

Bagian ketiga mengulas aneka tema media di ujung kekuasaan Orde Baru (1990-1997). Sebagai titik balik dari kebijakan Orde Baru yang hegemonik-refresif, lahirlah berbagai LSM, serikat buruh dan gerakan mahasiswa. Beriringan dengan kritisisme para politisi dan akademisi, kritikus sosial dan PRD, yang menghendaki adanya perubahan sosial. Pada masa ini berkembanglah wacana keterbukaan politik, demokratisasi, otonomi daerah, dan agenda reformasi sosio-politik tanah air. Intervensi negara dan hegemoni militer dikritik, kebebasan berpendapat, penegakan hukum dan HAM ditagih. Tulisan-tulisan visioner Gus Dur, Dawam Rahardjo, Romo Mangun bahu membahu dengan lagu heroik Iwan Fals, puisi protes Rendra dan Wiji Thukul dalam menyuarakan timpangnya realitas sosial dan bengis penguasa.

Bagian keempat menguraikan krisis politik Orde Baru dan era reformasi. Didalamnya menyigi tulisan-tulisan Amien Rais di seputar isu suksesi 1998, pemulihan martabat bangsa yang digagas LIPI, mengakhiri kedikatoran yang diusung PRD, proposal pembentukan komite rakyat Indonesia oleh mahasiswa se-Jabodetabek, reformasi total Emil Salim, awal yang baru B.J. Habibie, paradigma baru militer yang diapungkan Agus Wirahadikusumah (hlm. 371-406).

Dilihat dari sisi mana saja, buku ini patut dipertimbangkan dan layak dibaca siapa saja, untuk menilai dan mengevaluasi sepak terjang rezim Orde Baru selama tiga puluh dua tahun memegang tampuk simpul kekuasaan. Apalagi buku ini menawarkan persfektif media massa dalam menggeledah batang tubuh Orde Baru.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar