Selasa, 06 Januari 2009

Kopi Darat Penulis

Yusriandi Pagarah


“Anda yang dari Tanjung Bonai Aur? Bisa datang malam ini ke masjid Nogotirto?” Begitu jawab Bapak Ahmad Syafii Maarif, waktu saya hubungi lewat telpon genggamnya pada suatu sore jelang bedug berbuka puasa bertalu. Sebagai orang biasa, permintaan tersebut membuat hati saya gembira, terharu, dan juga gregetan. Betapa tidak, salah satu sosok yang selama ini saya kagumi tulisannya, terutama otobiografinya yang inspiratif, mengajak ketemuan.

Saya pun berkemas, terutama menata hati yang tak karuan riaknya. Tidak lupa saya mengajak seorang teman, yang hemat saya bernyali besar dan pintar ngomong. Karena saya termasuk orang bermental aneh, yang selalu saja menganggap musuh orang yang lebih, baik dari sisi pengetahuan, pengalaman, pendidikan, usia, lebih-lebih lagi dari segi jabatan dan kekayaan.

Kami sampai saat mimbar masjid Nogotirto sedang dihuni oleh seorang penceramah Ramadan keliling. Saya mengumpulkan segenap kemampuan daya ingat tentang sosok Pak Syafii, mulai dari yang saya lihat di televisi, saya lihat di koran-koran, sampai dari cerita-cerita orang tentang beliau. Setelah menghilir-mudikkan mata melalui kaca nako masjid, sambil berbisik pada teman, saya menunjuk bahwa yang duduk di pojok kiri itu adalah Pak Syafii. Teman saya pun mengangguk, apa ia sungguh-sungguh tahu atau tidak, tak saya hiraukan lagi.

Selesai melaksanakan ritual khas bulan Ramadan tersebut, gemuruh hati saya kian tak terkatakan bentuknya. Saya pun mencuri-curi pandang ke arah Pak Syafii. Menelisik apa yang sedang dilakukannya. Pak Syafii sedang ngalor-ngidul dengan para tetangga dan sahabat-sahabatnya. Sesekali saya lihat Pak Syafii tertawa berderai entah karena cerita apa.

Sementara teman saya mendorong-dorong tubuh saya, untuk lekas-lekas menemui Pak Syafii. Tak lupa teman saya itu “mengatai-ngatai” saya yang tidak mengenakan perasaan, seperti pengecut, penakut, lemah, dan lain-lain. Saya coba berdamai denganya dan juga dengan diri saya sendiri, dengan menimpali bahwa Pak Syafii sedang “sibuk”. Tapi teman saya malahan mengancam, kalau tidak berani menemuinya sekarang lebih baik pulang saja. Tidak sampai di situ, teman saya ini juga mengungkit “kelemahan” saya waktu bertemu dengan sastrawan Gus tf Sakai dalam perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Waktu itu, saya telah “mengikat janji” ketemuan dengan sastrawan asal Payakumbuh tersebut di penginapannya di bilangan Krapyak Wetan. Tak jauh jaraknya dengan lokasi Kedai Forum penyair Saut Situmorang. Masih sekompleks dengan Pondok Pesantren Al-Munawwir yang terkenal dengan produk “Kamus Al-Munawwir” itu. Karena tak mau sendiri, saya pun mengajak seorang teman. Kebetulan teman yang saya ajak menemui Bang Gus tf itu, juga orang yang sekarang saya ajak menemui Pak Syafii. Jadi, ia agak mengenal diri saya luar-dalam. Kelemahan saya itu justeru jadi kartu as baginya.

Jeda beberapa waktu, teman saya itu berinisiatif duluan menghampiri Pak Syafii. Spontan saja Pak Syafii menyambut uluran salamnya dan bertanya, dari Tanjung Bonai Aur? Bukan, jawab teman saya, seraya menunjuk pada saya. Pak Syafii lantas mengenalkan kami pada jamaah lainnya. Tak lama berselang, Pak Syafii mengajak kami mampir ke rumahnya yang hanya beberapa langkah jaraknya dari masjid.

Artistik dan perdu, begitu kesan pertama saya masuk ke rumah Pak Syafii. Dasar pengkhayal, saya pun membayangkan sedang memilah-milah mana di antara sekian banyak tulisan Pak Syafii yang dibuat di rumah ini dan mana yang dibuat di tempat lain. Laiknya penulis zaman baheula, yang dibedakan antara penulis dalam istana dan penulis luar istana. Atau, seperti Imam Syafii yang melahirkan qaul qadim dan qaul jadid, karena kultur Mesir memang berbeda dengan kultur Irak.

Sambil mempersilahkan kami minum di ruang tamu bagian depan, Pak Syafii bertanya kepada kami, di mana saja tulisan kami pernah dimuat? Rona wajah saya memerah, kalau bukannya pucat pasi. Teman saya mencoba menjawab sekadarnya. Sekadar gayung bersambut. Tapi tak cukup menghapus rasa malu yang membuncah. Kemudian kami yang balik bertanya, layaknya jurnalis infotainment. Beragam pertanyaan yang muncul malam itu. Tapi lebih banyak lagi yang terendap di lekuk ingatan. Pada kesempatan itu, Pak Syafii berbaik hati membawa kami ke ruang perpustakaan pribadinya. Beliau bercerita, bahwa koleksi bukunya tersebut banyak yang merupakan hadiah dari teman-temannya. Saya bergumam dalam hati, alangkah indahnya jalinan pertemanan bermotto “ungkapkan sayang dengan buku”. Bukan dengan pamer kemewahan dan perang urat saraf di media. Pak Syafii memberi kami buku yang masih “perawan” karena pembungkusnya masih rapi, juga copyan tulisan terbarunya tentang perekrutan anggota KPK yang sempat heboh itu.

Dari sekeranjang pembicaraan itu, ada tiga hal yang saya garis bawahi. Pertama, ketertarikan Pak Syafii dengan tokoh yang dicap kiri, sesat, atau komunis-sosialis. Pak Syafii bercerita tentang banyaknya alumni pesantren yang condong dengan komunis pada zaman pergerakan. Menurut beliau, ideologi komunis agak dekat dengan ajaran Islam. Maka tidak heran tokoh-tokoh komunis Indonesia banyak yang jebolan pesantren Gontor dan Thawalib Padang Panjang. Misalnya, tokoh-tokoh pemberontakan Silunkang Sumatra Barat dan Madiun Jawa Timur. Beliau sangat menyayangkan, setelah Cokroaminoto, Sutan Syahrir, dan Tan Malaka, tak ada lagi orang yang intens mengeluti Islam dan sosialisme. Padahal tokoh sekaliber Sayyid Quthb dan kelompok militan Ikhwanul Muslimin di Mesir pun tak kurang mengakrabinya.

Dari sini, kemudian Pak Syafii membawa saya pada topik kedua, yaitu kemiskinan. Menurut beliau, agama Islam sesungguhnya anti kemiskinan namun sangat bersimpati pada orang miskin. Beliau menjelaskannya sambil mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Terakhir, secara eksplisit Pak Syafii setuju dan bahkan mendorong metode maudhu’i atau metode tematik dalam penafsiran al-Qur’an. Menurut beliau, metode tematik lebih relevan dan lebih mampu menjawab persoalan zaman dan tantangan kontemporer.

Bersama seorang dosen hukum pidana, saya bersua lagi dengan Pak Syafii pada Malam Minggu. Seperti biasa, setelah shalat tarawih, Pak Syafii beramah-tamah dengan para jamaah. Kami ikut meleburkan diri. Waktu itu hadir seorang Dekan Fisipol yang analisisnya tentang krisis Asia sangat menarik. Juga hadir seorang Dirjen yang malam itu didapuk sebagai penceramah Ramadan. Dari Dirjen ini saya beroleh kabar betapa nakalnya anggota dewan, terutama yang terhimpun dalam Komisi X. Saya jadi galau dengan tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Jangan-jangan, naiknya anggaran untuk pendidikan berarti naik juga “komisi” untuk Komisi X.

Dari dua kali pertemuan dengan Pak Syafii, tak saya jumpai padanya “gaya orang penting”. Saya juga melihat “kegamangan yang sangat” di wajah beliau ketika beroleh kabar yang tidak enak, seperti perihal nakalnya anggota dewan di atas. Namun yang paling saya nantikan, tentu saja, tulisannya yang jujur, blak-blakan, dan tajam tentang berbagai persoalan.

Sungguh, acara kopi darat yang berkesan dengan salah seorang penulis yang saya kagumi. Tidak saja tulisan-tulisannya, tapi juga sikap dan konsistensinya yang tidak tergoda “kue” politik praktis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar